FAITH vs PRESUMPTION (edisi Covid – 19)

ibadah

[AkhirZaman.org] Di tengah merebaknya issue Corona yang merajalela, maka muncul diskusi di mana sebaiknya kita beribadah: “Di gereja/tempat ibadah atau di rumah?” Adu argument bermunculan untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Mereka yang menyatakan ibadah di rumah karena berdasarkan pengetahuan medis dan anjuran dari beberapa pemerintah dan instasi terkait, sedang yang yang memilih di gereja/tempat ibadah mengatakan bahwa sebagai anak Tuhan pasti akan terlindungi (bahkan hingga mengutip ayat Firman Tuhan mengenai beribadah, meskipun dikutip di luar konteks).

Di tengah-tengah perbincangan/diskusi di atas, coba kita renungkan FAITH vs PRESUMPTION. Dua hal yang mirip namun sungguh berbeda.

Definisi FAITH (iman), Roma 10:17 – “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Penulis yang sama menulis kitab Roma juga menuliskan definisi iman dari sudut pandang lain yang terdapat di dalam Ibrani 11:1 – “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Lalu berbicara mengenai Abraham saat menyikapi janji Allah untuk memberikannya keturunan di waktu tua, Paulus menuliskan demikian mengenai Abraham di dalam Roma 4:19, 21 – “Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup. . . dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.”

Jadi iman adalah sesuatu yang kita yakini kebenarannya akan terjadi, bukan karena perasaan kita mengatakan demikian, namun karena ada jaminan dari firman Tuhan yang mengatakan “Ada tertulis”.

Bagaimana dengan PRESUMPTION ? Ini sejenis ‘iman’ namun sebenarnya bukan iman. Jadi secara perasaan mengatakan dengan keyakinan seolah tanpa keraguan tapi ternyata tidak ada jaminan dari firman Tuhan “Ada tertulis.”

Contoh nyata PRESUMPTION. Bagi kita yang penggemar tinju mungkin 2 dekade lalu tidak asing dengan Evander Holyfield. Tahukah saudara bahwa di celananya kadang tertulis Filipi 4:13 “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” Dia pakai ayat itu untuk memukul lawannya. Saat dia menang mungkin sebagian orang Kristen berkata bahwa Filipi 4:13 benar, tapi coba renungkan: Apakah ini tujuan Paulus saat menuliskan ayat tersebut? Tentu saja tidak. Ayat ini mengenai sesuatu yang lebih luas dalam perkara kekekalan.

Contoh lain PRESUMPTION adalah kisah tahun 70 M tatkala sekelompok orang Yahudi merasa sedang “mati syahid” ketika tentara Romawi menyerang Yerusalem dan menghancurkan Bait Suci. Mereka dengan sungguh-sungguh merasa sedang beribadah, membela Tuhan dan mempertahankan Rumah Tuhan sehingga menolak meninggalkan Yerusalem saat ada kesempatan untuk lari dan menyelamatkan diri. Padahal sudah sangat jelas Yesus pernah bernubuat dalam Matius 24:2 “Ia berkata kepada mereka: “Kamu melihat semuanya itu? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak satu batu pun di sini akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan.”” Dan juga terdapat di dalam Lukas 21:20-22 “Apabila kamu melihat Yerusalem dikepung oleh tentara-tentara, ketahuilah, bahwa keruntuhannya sudah dekat. Pada waktu itu orang-orang yang berada di Yudea harus melarikan diri ke pegunungan, dan orang-orang yang berada di dalam kota harus mengungsi, dan orang-orang yang berada di pedusunan jangan masuk lagi ke dalam kota, sebab itulah masa pembalasan di mana akan genap semua yang ada tertulis.”

Bahkan sebelum hari malang itu tiba Paulus pernah berkata dan berdoa mengenai mereka di dalam Roma Roma 10:1-2 “Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan. Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar.” Jadi pada akhirnya kita perlu memperhatikan ajaran doa Tuhan Yesus di dalam Matius 6:13 “Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.”

Dari presumption kembali kepada iman. Contoh tindakan iman dalam Alkitab. Saat orang Israel menyeberang sungai Yordan. Bukankah itu tindakan gila. Saat itu sedang musim menuai dan arus “sungai Yordan itu sebak sampai meluap sepanjang tepinya selama musim menuai” (Yosua 3:15). Tentunya kalau mengacu pada pernyataan Yesus “jangan membawa kami ke dalam pencobaan” maka masuk akal untuk tidak melangkah menyeberang sungai Yordan. Tapi orang Israel nekat menjejakkan kakinya masuk air, dan apa hasilnya? Yosua 3:16 “Maka berhentilah air itu mengalir. Air yang turun dari hulu melonjak menjadi bendungan, jauh sekali, di dekat Adam, kota yang terletak di sebelah Sartan, sedang air yang turun ke Laut Araba itu, yakni Laut Asin, terputus sama sekali. Lalu menyeberanglah bangsa itu, di tentangan Yerikho.” Alkitab mencatat ini sebagai tindakan iman.

Mengapa bisa ‘kenekatan’ mereka disebut sebagai tindakan iman? Karena sebelumnya Tuhan berkata dalam Yosua 3:7-8 menuliskan, “Dan TUHAN berfirman kepada Yosua: “Pada hari inilah Aku mulai membesarkan namamu di mata seluruh orang Israel, supaya mereka tahu, bahwa seperti dahulu Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau. Maka kauperintahkanlah kepada para imam pengangkat tabut perjanjian itu, demikian: Setelah kamu sampai ke tepi air sungai Yordan, haruslah kamu tetap berdiri di sungai Yordan itu.”

Ada jaminan perlindungan Tuhan karena semuanya bertujuan untuk memberi bukti bahwa “seperti dahulu Aku (Tuhan) menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau.” Jadi tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Tuhan ADA dan Dia bersama mereka. Tapi untuk saat ini Anda jangan coba-coba menyeberang Bengawan Solo, maka Anda akan tenggelam. Jika orang Israel menyeberang Sungai Yordan karena iman, kalau kita nekat menyeberang Bengawan Solo karena presumption.

Tapi Alkitab juga bercerita mengenai tindakan iman namun berujung kepada kematian. Perhatikan cerita berikut. Kisah Para Rasul 21:10-14 “Setelah beberapa hari kami tinggal di situ, datanglah dari Yudea seorang nabi bernama Agabus. Ia datang pada kami, lalu mengambil ikat pinggang Paulus. Sambil mengikat kaki dan tangannya sendiri ia berkata: “Demikianlah kata Roh Kudus: Beginilah orang yang empunya ikat pinggang ini akan diikat oleh orang-orang Yahudi di Yerusalem dan diserahkan ke dalam tangan bangsa-bangsa lain.” Mendengar itu kami bersama-sama dengan murid-murid di tempat itu meminta, supaya Paulus jangan pergi ke Yerusalem. Tetapi Paulus menjawab: “Mengapa kamu menangis dan dengan jalan demikian mau menghancurkan hatiku? Sebab aku ini rela bukan saja untuk diikat, tetapi juga untuk mati di Yerusalem oleh karena nama Tuhan Yesus.” Karena ia tidak mau menerima nasihat kami, kami menyerah dan berkata: “Jadilah kehendak Tuhan!”

Agabus adalah nabi Tuhan dan menubuatkan jika Paulus nekat ke Yerusalem maka dia akan ditangkap. Namun saat Paulus diingatkan dia kemudian berkata bahwa dia siap mati demi Tuhan. Dan betul saja hal itu terjadi sehingga dia akhirnya ditangkap di Yerusalem, dibawa ke Roma dan akhirnya mati di sana. Berbeda ‘kenekatan’ Paulus dengan ‘kenekatan” orang Israel/Yahudi yang mati di Yerusalem saat tentara Romawi menyerang mereka tahun 70 M. Sama-sama mati, namun kematian Paulus untuk kemuliaan Tuhan dan kemajuan pekerjaan Injil. Sedang kematian orang Israel adalah sesuatu yang konyol.

Jadi Faith vs Presumption adalah “saudara kembar” namun beda. Yang satu atas dasar “Ada tertulis” sedang yang lain atas dasar “perasaan, kesembronoan, kenekatan, dsb.”

Ingat nasihat Tuhan dalam 2 Petrus 1:5-8 “Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita.”

Dalam iman terkandung kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, kasih kepada saudara dan semua orang. Seandainya jika kita melakukan sesuatu dan berkata bahwa ini atas dasar iman namun tanpa pengetahuan yang memadai, maka itu mempermalukan Tuhan. Tetapi jika semua unsur ini ada maka kita menggenapi yang Paulus katakan dalam 1 Korintus 10:31 “… jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Jadi untuk saat ini di tengah-tengah issue hangat Covid-19 dan diskusi mengenai di mana baiknya kita menghadiri jam-jam perbaktian: “Di gereja/tempat ibadah atau di rumah?” Jika Anda memiliki imunitas tubuh yang baik dan dengan jujur tahu cara perlindungan yang tepat, sehingga dalam hubungan sosial Anda tidak berpotensi menjadi ‘kendaraan’ virus berpindah ke orang lain maka menghadiri perbaktian secara umum adalah berdasar iman (jangan lupa sedia masker, handsanitizer, dll). Tetapi jika Anda hadir ke perbaktian dengan sebuah keyakinan bahwa “Corona tidak mungkin menyerang karena saya anak Tuhan” dan dilakukan tanpa pertimbangan medis yang memadai, maka bisa saja Anda melakukannya atas dasar presumption. Juga bagi Anda yang secara imunitas tubuh lemah, dan pemahaman medis Anda tidak cukup mengerti maka tinggal di rumah akan menjadi opsi yang menguntungkan, karena paling tidak virus tidak mendapatkan ‘tumpangan gratis’ untuk menuju korban lain.

Sebagai penutup kita baca Keluaran 23:25 – “Tetapi kamu harus beribadah kepada TUHAN, Allahmu; maka Ia akan memberkati roti makananmu dan air minumanmu dan Aku akan menjauhkan penyakit dari tengah-tengahmu.” Frase ‘beribadah’ dalam terjemahan KJV adalah serve yang bisa diartikan melayani, mengabdi. Dalam bahasa aslinya bahkan bisa diterjemahkan bekerja, melakukan pekerjaan, melayani. Sehingga arti ‘beribadah kepada Tuhan’ tidak terbatas pada jam-jam perbaktian di tempat ibadah, namun apakah keseharian kita menunjukkan bahwa kita adalah pelayan Tuhan yang mengabdi kepada-Nya 24 jam penuh. Sehingga di tengah-tengah merebaknya wabah Covid-19 ini, entah Anda mau menjalani jam perbaktian di tempat ibadah atau di rumah, bukanlah faktor tunggal apakah yang akan menentukan apakah Anda sedang beribadah kepada Tuhan atau sebaliknya. Kondisi sekarang ini tidaklah mencerminkan kita punya iman atau tidak tatkala kita memilih menjalani jam-jam ibadah di rumah atau di gereja/tempat ibadah.

Sehingga seperti yang kita singgung di atas, pilihan kita menjalani jam perbaktian di rumah atau gereja haruslah berdasar pertimbangan medis. Juga Alkitab menunjukkan secara jelas bahwa kesehatan adalah bagian dari iman. Sehingga pengetahuan dan kepedulian kita akan kondisi saat ini di tengah merebaknya wabah Covid-19 ini menunjukkan apakah kita beriman atau tidak, terlepas dari pilihan kita memilih menjalani jam perbaktian di rumah atau gereja/tempat ibadah.

Tuhan Memberkati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *