PARA PEMBAHARU INGGERIS YANG MUNCUL KEMUDIAN (1)

penulisan-alkitab Copy

[AkhirZaman.org] Sementara Luther telah membuka Alkitab yang tertutup bagi orang Jerman, Tyndale telah didorong oleh Roh Allah untuk melakukan hal yang sama bagi orang Inggeris. Alkitab Wycliffe telah diterjemahkan dari bahasa Latin, yang berisi banyak kesalahan. Buku itu tidak pernah dicetak, dan harga naskah-naskahnya sangat mahal, sehingga hanya sedikit orang-orang kaya atau bangsawan yang dapat memilikinya. Lebih jauh, sirkulasi peredarannya terbatas, karena dilarang oleh gereja. Pada tahun 1516, setahun sebelum munculnya tesis Luther, Erasmus telah menerbitkan Perjanjian Baru edisi Yunani dan Latin. Sekarang untuk pertama alinya firman Allah dicetak dalam bahasa aslinya Dalam cetakan ini kesalahan-kesalahan yang banyak terdapat pada versi-versi sebelumnya diperbaiki, dan artinya lebih diperjelas. Buku ini menuntun golongan kaum terpelajar untuk mengetahui kebenaran itu lebih baik, dan memberikan dorongan baru bagi pekerjaan pembaharuan. Tetapi orang-orang biasa masih terhalang dari firman Allah. Tyndale meneruskan usaha Wycliffe untuk memberikan Alkitab kepada bangsanya.

Sebagi seorang mahasiswa dan pencari kebenaran yang sungguh-sungguh, ia telah menerima Injil dari buku Perjanjian Baru bahasa Jerman, terjemahan Erasmus. Ia mengkhotbahkan keyakinannya tanpa takut, dan mengajak agar semua doktrin diuji dengan Alkitab. Terhadap tuntutan pengikut paus yang mengatakatn bahwa gereja telah memberikan Alkitab dan gereja sendirilah yang boleh menerangkannya, Tyndale memberikan tanggapannya, “Tahukah kamu siapa yang mengajar burung elang menemukan mangsanya? Ya, Allah yang sama mengajar anak-anak-Nya yang lapar untuk menemukan Bapa mereka di dalam Firman-Nya. Alkitab tidak pernah diberikan kepada kami, bahkan kamu sendirilah yang telah menyembunyikan Alkitab itu dari kami. Kamulah yang membakar mereka yang mengajarkannya, dan kalau kamu dapat, kamu akan membakar Alkitab itu sendiri.” — D’Aubigne, b. 18, ch. 4.

Penajaran Tyndale membangkitkan minat besar orang-orang. Banyak yang menerima kebenaran. Tetapi imam-imam berjaga-jaga. Segera setelah Tyndale meninggalkan tempat itu, mereka berusaha memusnahkan pekerjaan itu dengan ancaman-ancaman dan tafsiran-tafsiran yang salah. Sering-sering mereka berhasil. “Apakah yang harus dilakukan?” serunya. “Sementara saya menabur di suatu tempat, musuh-musuh merusakkan ladang-ladang yang baru saja saya tinggalkan. Saya tidak bisa berada dimana-mana. Oh, jika seandainya orang-orang Kristen memiliki Alkitab dalam bahasanya sendiri, mereka akan dapat bertahan terhadap pemutar-balikan ini. Tanpa Alkitab tidak mungkin memantapkan anggota awam dalam kebenaran.” — Idem, b. 6, ch. 4.

Sekarang ia mempunyai gagasan baru dalam pikirannya. “Nyanyian mazmur dinyanyikan di kaabah Yehovah dalam bahasa Israel”, katanya. “Bukankah seharusnya kabar Injil itu disampaikan dalam bahasa Inggeris di lingkungan kita sendiri? . . . Haruskah gereja mempunyai terang yang kurang di tengah hari daripada waktu fajar? . . . Orang-orang Kisten harus membaca Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa mereka sendiri.” Para doktor dan guru gereja saling tidak setuju. Hanya oleh Alktab orang-orang sampai kepada kebenaran. “Seorang berpegang kepada doktor ini, yang lain kepada yang itu . . . . Sekarang masing-masing pengarang saling bertentangan. Jadi, bgaimanakah kita bisa membedakan dia yang mengatakan benar dari dia yang mengatakan salah? . . . Bagaimana? . . . Sesungguhnya hanya oleh firman Allah.” — Idem, b. 18, ch. 4.

Tidak lama sesudah itu seorang doktor Katolik yang terlibat suatu pertentangan dengan Tyndale, berseru, “Lebih baik kita tanpa hukum Allah daripada tanpa hukum paus.” Tyndale menjawab, “Saya menentang paus dan semua hukum-hukumnya. Dan jikalau Allah memelihara hidupku, dalam beberapa tahun saya akan membuat seorang anak yang kerjanya membajak mengerti lebih banyak Alkitab daripada kamu.” — Anderson, “Annals of English Bible,” p. 19, (rev. ed. 1862).

Tujuan untuk memberikan Perjanjian Baru kepada rakyat dalam bahasa mereka sendiri, sekarang sudah dipastikan. Ia segera bekerja. Ia pergi ke London, karena diusir oleh penganiayaan dari musuh-musuhnya. Dan di sini untuk sementara ia melakukan tugasnya tanpa gangguan. Tetapi sekali lagi, kekuasaan para pengikut paus memaksanya melarikan diri. Kelihatannya seluruh Inggeris tertutup baginya. Ia memutuskan untuk mencari perlindungan di Jerman. Di sini ia mulai mencetak Alkitab Perjanjian Baru bahasa Inggeris. Dua kali pekerjaan itu dihentikan. Tetapi bilamana dilarang mencetak di suatu kota, ia pergi ke kota lain. Akhirnya ia pergi ke Worms, dimana beberapa tahun sebelumnya, Luther mempertahankan kabar Injil dihadapan Mahkamah (Diet). Dalam kota lama ini banyak sahabat-sahabat Pembaharuan, dan di sini Tyndale meneruskan pekerjaannya tanpa hambatatan lebih jauh. Tiga ribu buah Alkitab Perjanjian Baru segera diselesaikan, dan edisi lain menyusul pada tahun itu juga.

Dengan kesungguh-sungguhan yang besar dan kesabaran, ia meneruskan pekerjaannya. Walaupun penguasa Inggeris telah mengawasi pelabuhan-pelabuhannya dengan ketat, firman Allah dikirimkan ke London dengan berbagai cara rahasia dan disebarkan di seluruh negeri. Para pengikut paus berusaha menindas kebenaran itu, tetapi sia-sia saja. Uskup dari Durham pada suatu waktu membeli seluruh Alkitab dari seorang penjual buku, yang adalah teman Tyndale, dengan maksud untuk membinasakan Alkitab tersebut. Dengan demikian ia mengira dapat menghalangi pekerjaan penyebaran kebenaran itu. Tetapi sebaliknya, uang yang diperoleh digunakan untuk membeli bahan untuk mencetak edisi baru dan yang lebih baik, yang tanpa uang itu tak mungkin bisa diterbitkan. Pada waktu kemudian Tyndale ditahan, ia boleh dibebaskan dengan satu syarat bahwa ia harus memberitahukan nama-nama orang yang telah menolongnya membiayai pencetakan Alkitabnya. Ia mengatakan bahwa uskup dari Durham telah membantu melebihi dari orang-orang lain, karena dengan membeli seluruh stok buku-buku yang tersisa telah menyanggupkannya meneruskan pencetakan itu.

Tyndale dikhianati dan diserahkan ke tangan musuh-musuhnya, dan pada suatu ketika dipenjarakan selama delapan bulan. Akhirnya ia menyaksikan imannya dengan mati syahid. Tetapi senjata yang telah disediakannya telah menyanggupkan para pejuang lain meneruskan perjuangan sepanjang abad-abad berikutnya, bahkan sampai ke zaman kita.

Latimer mempertahankan dari mimbar bahwa Alkitab harus dapat dibaca orang-orang dalam bahasanya sendiri. “Pengarang Alkitab yang suci itu,” katanya, “adalah Allah sendiri,” dan Alkitab itu memiliki kuasa dan keabadian Pengarangnya. “Semua raja, kaisar, hakim dan penguasa . . . harus menuruti

. . . firman-Nya yang kudus.” Janganlah kita menyimpang, biarlah firman Allah menuntun kita. Janganlah kita mengikuti . . . nenek moyang kita, atau melakukan apa yang telah mereka lakukan, tetapi melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan.” — Latimer, “First Sermon Preached before King Edward VI.” (ed. Parker Sciety).

Barnes dan Frith sahabat-sahabat setia Tyndale, bangkit mempertahankan kebenaran. Diikuti oleh keluarga Ridley dan Cranmer. Pemimpin-peimpin Pembaharuan Inggeris ini adalah orang-orang terpelajar, dan kebanyakan mereka sangat dihormati oleh karena semangat dan kesalehan mereka dalam persekutuan Romawi. Mereka menentang kepausan oleh karena mengetahui kesalahan-kesalahan “bapa suci,” Sri Paus. Pengetahuan mereka mengenai rahasia-rahasia Baylon memberikan kuasa yang lebih besar kepada kesaksian mereka menentangnya.

“Sekarang saya mau menanyakan pertanyaan aneh,” kata Latimer. “Siapakah uskup dan pejabat tinggi gereja yang paling rajin di Inggeris? . . . Saya melihat Anda mendengarkan dan memperhatikan, mengharapkan saya menyebutkan namanya, . . . Saya akan katakan kepadamu, dia adalah Setan. . . . Ia tidak pernah keluar dari daerah keuskupannya; . . . panggillah dia bilamana engkau mau, ia selalu ada di rumah; . . . ia selalu membajak, . . . Engkau tidak akan pernah melihat dia bermalas-malas, saya jamin . . . . Dimana Setan itu tinggal, . . . di sana buku-buku disingkirkan dan lilin-lilin dinyalakan. Alkitab disingkirkan, dan tasbih atau manik-manik dihitung. Terang kabar Injil disingkirkan, dan lilin-lilin dinyalakan, ya, pada tengah hari; . . . salib Kristus dirubuhkan, dan dompet api penyucian ditinggikan. Tidak perlu memberi pakaian kepada orang yang bertelanjang, orang yang miskin dan yang lemah, tetapi mendirikan patung-patung dan menghiasi gemerlapan kaus kaki dengan batu-batu berharga. Meninggikan tradisi-tradisi mausia dan hukum-hukumnya. Tetapi merendahkan tradisi Allah dan firman-Nya yang Mahakudus. . . . Oh, kalau saja pejabat-pejabat tinggi gereja kita menaburkan bibit doktrin yang baik serajin Setan menaburkan kerang dan lalang!” — Latimer, “Sermon of the Plough,”

Prinsip agung yang dipertahankan oleh para Pembaharu ini ialah wewenang Alkitab yang tidak bisa salah sebagai ukuran iman dan perbuatan, sebagaimana yang juga dipegang oleh orang-orang Waldenses, oleh Wycliffe, John Huss, Luther, Zwingle dan orangoranga yang bergabung dengan mereka. Mereka menolak hak paus, konsili, Paters, dan raja-raja, untuk mengendalikan hati nurani dalam masalah-masalah agama. Alkitab adalah otoritas mereka, dan dengan pengajarannya mereka menguji semua doktrin dan tuntutan. Percaya pada Allah dan firman-Nya memelihara orang-orang saleh ini pada waktu mereka menyerahkan hidup mereka di tiang pembakaran. ‘Terhiburlah,” seru Latimer kepada rekan-rekan syuhadanya sementara api sudah hampir membungkan suara mereka, “karena pada hari ini kita menyalakan lilin di Inggeris, oleh kasih karunia Allah yang saya yakin tidak akan pernah bisa dipadamkan.” — “Works of Hugh Latimer,” Vol. I, p. xiii (ed. Parker Society).

Dis Scotlandia bibit kebenaran yang ditaburkan oleh Columba dan rekan sekerjanya tidak pernah seluruhnya dibinasakan. Ratusan tahun sesudah gereja-gereja Inggeris menyerah kepada kekuasaan Roma, gereja-gereja di Scotlandia tetap mempertahankan kemerdekaan. Namun, pada abad ke dua belas, kepausan berdiri disini, dan menjalankan kekuasaan sewenang-wenang yang lebih dibandingkan di negara-negara lain. Dimana-mana keadaan semakin gelap. Tetapi masih ada seberkas sinar terang yang menembusi kekelaman, yang menjanjikan fajar yang akan menyingsing. Keluarga Lollards yang datang dari Inggeris dengan Alkitab dan ajaran-ajaran Wycliffe, berbuat banyak untuk memelihara pengetahuan akan kabar Injil. Dan pada setiap zaman mempunyai para saksinya dan para syuhadanya.

Dengan dimulainya Pembaharuan Besar, datanglah tulisan-tulisan Luther dan Alkitab Perjanjian Baru bahasa Inggeris Tyndale. Tanpa disadari oleh hirarki, jurukabar-jurukabar ini menjelajahi bukit-bukit dan lembah-lembah, menyalakan kembali obor kebenaran yang hampir padam di Skotlandia, dan meruntuhkan pekerjaan yang telah dilakukan oleh Roma selama empat abad penindasan.

Kemudian darah para syuhada itu memberikan dorongan segar kepada pergerakan. Para pemimpin pengikut kepausan, tiba-tiba bangkit karena menyadari bahaya yang mengancam kepentingan mereka, dan membawa ke tiang pembakaran putra-putra terbaik dan terhormat Skotlandia. Mereka mendirikan mimbar, dari mana kata-kata perpisahan para saksi yang mau mati ini diperdengarkan ke seluruh megeri, menggetarkan jiwa orang-orang dengan tujuan yang tidak pernah mati untuk melepaskan belenggu Roma.

Api Unggun CopyHamilton dan Wishart, yang mempunyai tabiat dan kelahiran bangsawan, dengan barisan panjang murid-murid yang lebih sederhana, menyerahkan hidup mereka di tiang pembakaran. Tetapi dari api yang berkobar-kobar membakar Wishart muncul seorang yang tidak bisa didiamkan oleh nyala api, seorang yang dengan pertolongan Allah memukul lonceng kematian kepausan di Skotlandia.

John Knox telah beralih dari tradisi dan ketakhyulan gereja dan mengecap kebenaran firmn Allah. Dan ajaran Wishart telah memastikan keputusannya untuk memutuskan persekutuannya dengan Roma, dan menggabungkan diri dengan para Pembaharu yang dianiaya itu.

Ia dibujuk oleh sahabat-sahabatnya untuk menjadi seorang pengkhotbah, tetapi ia menolak dengan takut, mengingat akan tanggungjawabnya. Hanya setelah menyendiri beberapa hari dan bergumul keras dengan dirinya sendiri ia akhirnya setuju. Tetapi sekali ia menerima jabatan itu, ia maju terus dengan tekad yang tidak goyah dan keberanian yang tidak gentar sepanjang umur hidupnya. Pembaharu yang berhati jujur ini tidak takut kepada manusia. Api mati syahid yang berkobar disekitarnya hanya untuk membangkitkan semangatnya untuk bekerja dengan lebih intensif. Dengan kampak kelaliman mengancam di atas kepalanya, ia berdiri teguh memukul dengan kuat ke kiri dan ke kanan untuk menghancurkan penyembahan berhala.

Ketika ia dibawa berhadapan muka dengan muka dengan ratu Skotlandia, John Knox memberikan kesaksian mengenai kebenaran dengan gagah berani. Di hadapan ratu Skotlandia banyaklah pemimpin Protestan yang kalah semangat. Ia tidak bisa dimenangkan dengan bujuk rayu, ia tidak takut ancaman-ancaman. Ratu menuduhnya dengan tuduhan bida’ah. Ia telah mengajar orang-orang menerima agama yang dilarang oleh negara, kata ratu, dan dengan demikian melanggar perintah Allah yang menyuruh rakyat menuruti raja. Knox menjawab dengan tegas,

“Oleh karena agama yang benar tidak mendapatkan kekuatan azasinya atau wewenangnya dari raja-raja dunia, tetapi hanya dari Allah yang kekal, maka rakyat tidak terikat untuk menjalankan agamanya sesuai dengan selera raja mereka. Karena sering bahwa rajalah yang paling bodoh dari semua orang mengenai agama Allah yang benar . . . . Jika semua benih Abraham menuruti agama Firaun, yang telah lama memerintah mereka, saya memohon, Sri Ratu, agama apakah yang akan ada di atas dunia ini? Atau jikalau semua manusia pada zaman rasul-rasul menuruti agama kaisar-kaisar Roma, agama apakah yang akan terdapat di muka bumi ini? . . . Jadi, Sri Ratu dapat melihat, bahwa rakyat tidak terikat kepada agama raja-raja mereka, walaupun mereka diperintahkan untuk menuruti raja-raja mereka.”

Ratu Mary berkata, “Engkau menafsirkan Alkitab itu dalam satu cara, dan mereka [guru-guru Katolik Roma] menafsirkannya dengan cara yang lain, siapakah yang saya harus percaya, dan siapakah yang menjadi hakim?”

“Sri Ratu harus percaya kepada Allah, yang berbicara dengan jelas di dalam firman-Nya,” jawab Pembaharu itu, “dan lebih jauh dari pada yang diajarkan oleh Firman itu kepadamu, engkau tidak boleh mempercayai baik yang satu maupun yang lainnya. Firman Allah itu sendiri cukup jelas, dan jikalau ada muncul yang tidak jelas di suatu tempat, Roh Suci, yang tidak pernah bertentangan dengan Allah, menerangkan dengan lebih jelas di tempat lain, sehingga tidak ada lagi keragu-raguan, kecuali kepada mereka yang keras kepala tetap tidak mau perduli.” — Laing, “Works of John Knox,” Vol. II, pp. 281, 284 (ed. 1895).

Itulah kebenaran yang dikatakan oleh Pembaharu yang berani itu, ke telinga keluarga kerajaan, pada saat bahaya mengancam hidupnya. Dengan keberanian yang tidak mengenal gentar seperti itu ia tetap pada maksudnya, berdoa dan berjuang dalam peperangan Tuhan, sampai Skotlandia bebas dari kepausan.

Di Inggeris penetapan Protestantisme sebagai agama nasional, mengurangi penganiayaan, tetapi tidak seluruhnya berhenti. Walaupun banyak doktrin Roma yang telah ditinggalkan, tetapi tidak sedikit yang masih terus dipertahankan. Supremasi paus ditolak, tetapi sebagai gantinya raja dinobatkan sebagai kepala gereja. Dalam upacara gereja masih terdapat penyimpangan dari kemurnian kesederhanaan Injil. Prinsip utama kebebasan beragama belum dimengerti. Walaupun kekejaman yang mengerikan yang dilakukan oleh Roma kepada para bida’ah tidak dilakukan atau jarang dilakukan oleh penguasa-penguasa Protestan, namun hak setiap orang untuk menyembah Allah sesuai dengan bisikan hati nuraninya belum sepenuhnya diakui. Semuanya diharuskan menerima doktrin-doktrin dan melakukan bentuk-bentuk perbaktian yang ditetapkan oleh gereja yang sudah ada. Orang yang tidak setuju menderita penganiayaan, sedikit banyaknya, selama ratusan tahun.

Pada abad ke tujuh belas, ribuan orang pendeta dipecat dari jabatan mereka. Orang-orang dilarang menghadiri sesuatu perkumpulan agama kecuali yang sudah ditentukan oleh gereja. Pelanggaran kepada ketentuan itu diancam dengan denda yang berat, hukuman penjara dan pembuangan. Jiwa-jiwa yang setia, yang tidak bisa berhenti berkumpul berbakti kepada Allah, terpaksa bertemu di gang-gang sempit yang gelap, di loteng-loteng yang tersembunyi, dan pada musim-musim tertentu, di hutan pada waktu tengah malam. Di tempat perlindungan di hutan lebat, kaabah Allah yang didirikan-Nya sediri, anak-anak Tuhan yang tercerai berai dan dianaiaya itu berkumpul untuk mencurahkan isi jiwa mereka di dalam doa dan puji-pujian. Tetapi sekalipun mereka waspada dan berjaga-jaga, banyak juga yang menderita karena iman mereka. Kamar-kamar penjara penuh sesak. Keluarga-keluaga terpecah-pecah. Banyak yang diasingkan ke negeri asing. Namun, Allah menyertai umat-Nya, dan penganiayaan tidak akan berhasil mendiamkan kesaksian mereka. Banyak yang diusir menyeberangi laut ke Amerika. Dan di sini diletakkanlah dasar kebebasan sipil dan kebebasan beragama, yang telah menjadi benteng dan kemuliaan negeri ini.

Sekali lagi, sebagaimana pada zaman rasul-rasul, penganiayaan berubah menjadi kemajuan dan peningkatan kabar Injil. Dalam sebuah penjara bawah yang sangat menjijikkan, yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak bermoral dan penjahat, John Bunyan bernafaskan suasana Surga. Di sana ia menulis cerita kiasannya yang ajaib mengenai perjalanan para musafir dari tanah kebinasaan ke kota Surgawi yang mulia. Selama lebih dari dua ratus tahun suara dari penjara Bedford itu telah berbicara dengan kuasa yang luar biasa kepada hati orang-orang. Buku Bunyan, “Pilgrim’s Progress” dan “Grace Abounding to the Chief of Sinners” telah menuntun langkah banyak orang kepada jalan kehidupan.

Baxter, Flavel, Alleine, dan orang-orang berbakat lainnya, yang berpendidikn dan mempunyai pengalaman Kristen yang mendalam, berdiri teguh untuk mempertahankan iman yang pernah disampaikan kepada orang-orang kudus. Pekerjaan yang dicapai orang-orang ini, meskipun dilarang dan diharamkan oleh penguasa-penguasa dunia, tidak pernah binasa. Buku tulisan Flavel, “Fountain of Life,” dan “Method of Grace” telah mengajar ribuan orang bagaimana mempertahankan pemeliharaan jiwa mereka kepada Kristus. Buku karangan Baxter, “Reformed Pastor” telah terbukti menjadi berkat bagi banyak orang yang rindu kepada kebangunan pekerjaan Allah, dan bukunya, “Saint’s Everlasting Rest” telah menuntun jiwa-jiwa kepada “perhentian yang menanti umat Allah.”

Seratus tahun kemudian pada hari kegelapan rohani yang besar, Whitefield dan Wesley bersaudara muncul sebagai pembawa-pembawa terang bagi Allah. Di bawah pemerintahan gereja yang sudah berdiri, rakyat Inggeris telah kembali kepada keadaan kemunduran keagamaan yang sulit dibedakan dari kekafiran. Agama alamiah adalah pelajaran yang paling disukai oleh para ulama, dan dimasukkan menjadi bagian terbesar dari teologia mereka. Golongan-golongan masyarakat yang lebih tinggi mencemoohkan kesalehan, dan meyombongkan diri berada di atas apa yang dinamakan kefanatikan. Golongan-golongan yang lebih rendah kebanyakan bersikap masa bodoh dan menyerah kepada kejahatan, sementara gereja tidak lagi mempunyai keberanian atau keyakinan untuk mendukung kepentingan kebenaran yang telah jatuh itu.

Doktrin agung pembenaran oleh iman, yang begitu jelas diajarkan oleh Luther, sudah hampir seluruhnya tidak tampak lagi, dan prinsip Romawi yang mempercayai pekerjaan-pekerjaan baik untuk keselmatan sudah menggantikannya. Whitefield dan Keluarga Wesley, yang menjadi anggota gereja yang sudah berdiri, adalah orang-orang yang sungguh-sungguh mencari kehendak Allah. Dan seperti yang diajarkan kepada mereka, harus diperoleh melalui kehidupan yang saleh dan penurutan kepada peraturan-peraturan agama.

Bilamana Charles Wesley, pada suatu waktu jatuh sakit, dan diperkirakan akan meninggal, ia ditanya di atas dasar apa pengharapan hidup kekalnya diletakkan. Jawabnya ialah, “Saya telah berusaha sebaik-baiknya melayani Allah.” Oleh karena teman yang menanyakan pertanyaan itu tampaknya tidak puas, Wesley berpikir, “Apa! apakah usaha saya itu bukan suatu landasan pengaharapn yang cukup? Apakah usaha saya itu sia-sia? Tak ada lagi yang saya percayai.” — Whitehead, John, “Life of the Rev. Charles Wesley,” p. 102 (2d Am. ed. 1845). Demikianlah kegelapan pekat yang telah menutupi gereja, yang menyembunyikan penyucian, merampok Kristus dari kemulian-Nya, mengalihkan pikiran manusia dari pengharapan keselamatan satu-satunya, — darah Penebus yang telah disalibka itu.

Wesley dan rekan-rekannya telah dituntun untuk melihat bahwa agama yang benar ada di dalam hati, dan bahwa hukum Allah mencakup pikiran serta perkataan dan tindakan. Setelah diyakinkan oleh perlunya kesucian hati serta tepatnya tingkah laku luar, mereka bertekad menghidupkan suatu hidup baru. Dengan usaha dan doa yang tekun mereka berusaha menundukkan kejahatan hati alamiah. Mereka menghidupkan suatu kehidupan penyangkalan diri, kedermawanan dan kerendahan hati, menuruti dengan seksama setiap peraturan yang mereka anggap dapat menolong mereka untuk memperoleh apa yang paling mereka rindukan, yaitu kesucian, yang berkenan kepada Allah. Namun, sia-sia usaha mereka untuk membebaskan mereka dari hukuman dosa atau menghancurkan kuasa dosa itu. Pergumulan yang sama seperti itulah yang dialami Luther di selnya di Erfurt. Pertanyaan yang sama itulah yang telah menyiksa jiwanya — “Masakan manusia benar dihadapan Allah” ( Ayub 9:2).

Api kebenaran ilahi yang hampir padam di atas mezbah Protestantisme, akan dinyalakan kembali dari obor terdahulu yang diteruskan sepanjang zaman oleh orang-orang Kristen Bohemia. Sesudah Pembaharuan, Prostestantisme di Bohemia telah diinjak-injak oleh sekelompok orang-orang Roma. Semua orang yang menolak meninggalkan kebenaran dipaksa untuk melarikan diri. Beberapa dari mereka mendapat perlindungan di Saxony, dimana mereka meneruskan memelihara imannya yang dahulu itu. Dari keturunan orang-orang Kristen inilah terang kebenaran datang kepada Wesley dan rekan-rekannya.

John dan Charles Wesley, setelah diurapi kepada kependetaan, telah dikirim dalam sebuah misi ke Amerika. Di dalam kapal ada serombongan orang-orang Moravia. Dalam pelayaran itu mereka dipukul oleh angin topan, dan John Wesley, yang berhadapan muka dengan muka dengan kematian, merasa bahwa ia tidak mempunyai jaminan kedamaian dengan Allah. Orang-orang Jerman itu — orang-orang Moravia — sebaliknya menunjukkan ketenangan dan pengharapan, yang bagi Wesley hal itu masih asing.

“Sudah sejak lama,” katanya, “saya memperhatikan kesungguh-sungguhan tabiat mereka. Mereka telah membuktikan secara terus menerus kerendahan hati mereka oleh melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada penumpang-penumpang lainnya, yang tak seorang orang Inggerispun akan mau melakukannya. Untuk pelayanan ini mereka tidak menerima pembayaran. Mereka mengatakan adalah baik bagi hati mereka yang sombong, dan bagi Juru Selamat yang telah berbuat lebih banyak bagi mereka. Dan setiap hari ada saja kesempatan untuk menunjukkan kelemah-lembutan dan kesabaran mereka, yang tidak bisa dipengaruhi oleh sesuatu gangguan. Jika mereka terdorong, terpukul atau terpelanting, mereka bangkit kembali dan pergi berlalu. Tidak ada keluhan dari mulut mereka. Sekarang ada kesempatan untuk mencobai apakah mereka telah terlepas dari ketakutan serta kesombongan, angkara murka dan balas dendam. Di tengah-tengah suasana menyanyikan lagu pujian pada awal acara dimulai, lautan kembali bergelora, merobek layar utama dan menutupi kapal. Air tercurah ke atas geladak kapal seolah-olah lautan yang dalam telah menelan kami semua. Jeritan yang mengerikan terdengar dari antara orang-orang Inggeris. Orang-orang Jerman dengan tenang terus menyanyi. Setelah kejadian itu saya bertanya kepada seorang dari mereka, ‘Apakah engkau tidak takut?’ Ia menjawab, ‘Terimakasih kepada Tuhan, tidak.’ Saya bertanya lebih lanjut, ‘Tetapi, apakah wanita-wanita dan anak-anakmu takut?’ Ia menjawab dengan lembut, ‘Tidak. Wanita-wanita dan anak-anak kami tidak takut mati.'” — Whitehead, “Life of the Rev. John Wesley,” p. 10 (Am. ed. 1845).

 

-Buku Kemenangan Akhir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *