The Tragedy of Compromise (bagian 4)

Masalah Khusus – Separasi Gereja

[AkhirZaman.org]Salah satu perbedaan utama antara Injili Baru dan fundamentalis mengenai pandangan masing-masing pihak adalah apa yang dikenal dengan “separasi (pemisahan diri) gereja” (“ecclesiastical separation”). Kaum fundamentalis separatis percaya bahwa harus ada separasi sepenuhnya dari semua gereja dan persekutuan gereja-gereja yang mentoleransi kefasikan atau kompromi dengan kesalahan. Dalam memperbandingkan fundamentalisme dan injili, Peterson melihat, “Semangat injili… lebih ramah. Kita menganggap adalah penting untuk memelihara persekutuan dengan orang Kristen lainnya, meskipun mereka salah dalam hal-hal tertentu, terutama jika mereka bisa bergabung dengan kita dalam mengembangkan injil”.[22] Pengamatan ini sangat cocok dengan sikap umum Injili Baru – “mari kita mengkompromikan masalah doktrin demi penginjilan”. Hal ini akan dibahas lebih jauh di bagian belakang nanti.

Beberapa tahun yang lalu, ketika perpecahan muncul di antara Asosiasi Injili Nasional (NAE) dan Dewan Gereja-gereja Kristen Amerika (The American Council of Christian Churches/ACCC), terbukti ada perpecahan besar mengenai masalah separasi dari kesesatan. J. Elwin Wright, salah seorang pimpinan awal NAE, menjelaskan posisi NAE berkenaan dengan masalah separasi gereja, di dalam komentarnya terhadap apa yang dipahaminya sebagai perikop kunci – 2 Korintus 6: 17, “Saya yakin… bahwa surat Korintus sama sekali bukan menganjurkan penarikan diri dari suatu gereja yang dihinggapi para pendosa, bidat, atau yang telah bergeser dari standar doktrin dan moral Firman Tuhan. (Meskipun) Surat itu memang mengajarkan bahwa orang-orang beriman harus membersihkan gereja dari orang-orang fasik tersebut”.[23] Untuk lebih mendukung pandangannya, Wright memunculkan kesaksian dari Perjanjian Lama ketika menuliskan, “Penelitian terhadap Perjanjian Lama dari Kejadian sampai Maleakhi sama sekali tidak mengungkapkan suatu contoh gerakan pemisahan diri (schismatic) di Israel yang diizinkan Tuhan”.[24]

Ada dua hal yang perlu dicatat mengenai posisi Wright, yang masih mencerminkan posisi NAE. Dengan jelas ia menyatakan bahwa meskipun sebuah tubuh telah meninggalkan “doktrin…. Firman Tuhan”, sebagai orang Kristen kita tidak diharuskan memisahkan diri dari tubuh tersebut. Kedua, ia mempertahankan posisi ini dengan menyatakan bahwa tidak ada separasi yang ditetapkan Tuhan dari bangsa Israel. Wright tidak memahami fakta bahwa Israel dan gereja (jemaat) adalah tidak sama dan bahwa demikian juga halnya, prinsip persekutuan yang mengatur sebuah theokrasi berbeda penerapannya bagi jemaat Yesus Kristus. Bangsa Israel bukan merupakan kumpulan orang percaya yang dengan kehendak sendiri berkumpul membentuk sebuah jemaat lokal. Ia adalah sebuah entitas nasional, politis dan ekonomis, dimana seseorang secara jasmaniah dilahirkan. Jemaat-jemaat Perjanjian Baru berbeda di dalam susunannya. Mereka adalah entitas berdaulat yang mempunyai tanggungjawab untuk memelihara kekudusan mereka sendiri dengan menaati pengajaran Perjanjian Baru.

Mengapa manusia menolak perintah Alkitab untuk memutuskan hubungan dengan mereka yang menyangkal iman dan mengembangkan posisi yang tidak alkitabiah? Tak pelak lagi, salah satu alasannya adalah fakta bahwa mengambil sikap menentang orang fasik sangat mahal harganya. Hal ini terlihat jelas di dalam konflik yang muncul di dalam beberapa denominasi beberapa tahun yang lalu. Kebanyakan orang melayani di dalam lingkungan kelompok denominasi tertentu. Mereka memiliki persahabatan, dan lebih dari itu, mereka memiliki investasi finansial disitu. Mereka terikat dengan program pensiun denominasional, dan jika mereka keluar maka mereka akan kehilangan paket tersebut. Hal tersebut merupakan harga sangat mahal yang harus dibayar oleh beberapa kalangan.

Barangkali sebuah alasan yang bahkan lebih kuat adalah fakta bahwa ada prestise dan pengaruh tertentu yang dapat dimiliki di dalam posisi kepemimpinan denominasional yang tidak bisa didapatkan jika menjadi seorang independen di luar struktur organisasi denominasi-denominasi. Dalam menganalisis perkembangan Injili Baru, Marsden mengatakan bahwa masalah paling eksplosif yang dihadapi para pemimpin Injili Baru adalah masalah tentang pemisahan diri dari afiliasi mereka. Pendapatnya sangat mudah dipahami dan tentu saja bisa menjelaskan mengapa banyak orang tidak mau memisahkan diri dari denominasi dimana mereka berada.

Haruskah mereka memisahkan diri dari denominasi-denominasi yang sudah menyeleweng? Injili baru bukan saja berusaha mereformasi fundamentalisme, pada saat yang sama mereka tetap merupakan fundamentalis loyal yang menganggap misi mereka yang lebih mendasar sebagai reformasi atas Protestanisme yang sudah merosot. Apakah mereka yang bersaksi menghadapi kesesatan berat yang merupakan jemaat-jemaat yang menyenangkan dan secara kultural dihormati harus memisahkan diri dari kesesatan?… Haruskah mereka keluar dan menjadi suara sayup-sayup di padang gurun, atau bertahan dan terus bekerja untuk mereformasi dari dalam dengan posisi mereka yang lebih berpengaruh?[25]

Pengaruh. Posisi. Penghargaan. Apakah semua itu lebih penting daripada ketaatan kepada Tuhan? Bukankah selama berabad-abad sudah banyak “suara sayup-sayup”, baik yang di luar pengaruh dan kuasa duniawi maupun yang berasal dari ekklesiastikal yang berkuasa? Bukankah ada seorang bernama Henokh yang berjalan mengiringi Tuhan tanpa mendapat restu dan persetujuan dari orang-orang sezamannya? Dan bukankah ada Nuh yang telah berusaha dengan hanya didukung tujuh orang? Dan bagaimana dengan Yeremia yang mempunyai keberanian untuk menegur orang-orang berdosa yang hidup pada zamannya dan menerima penderitaan caci-maki terbuka dan penganiayaan fisik? Pertimbangkan juga Rasul Paulus yang bekerja di dalam keletihan, sakit, dan berbagai bahaya, serta merana di dalam banyak penjara demi Yesus. Atau bagaimana dengan kelompok hebat “bersuara sayup-sayup” yang ditinggikan di dalam Kitab Suci karena “dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang, dan menderita …” (Ibr. 11: 37), mengembara di padang gurun dan di pegunungan, dalam gua-gua dan celah-celah gunung, melepaskan segala sesuatu yang dianggap penting di dalam hidup ini demi Tuhan. Tidak ada posisi ‘berpengaruh’ disini. Mereka seperti Yohanes Pembaptis yang merupakan “suara yang berseru-seru di padang gurun”, “orang-orang yang lain”, “suara sayup-sayup di padang gurun” yang demikian dijauhi oleh para pemimpin Injili Baru.

Mari kita berterus terang. Berdiri teguh untuk kebenaran dan bersikap benar adalah sangat mahal harganya. Beberapa orang telah membayar harga yang mahal untuk bersikap benar di hadapan Tuhan. Pada masa ini banyak orang Injili Baru menghormati Charles Haddon Spurgeon, namun jika mereka benar-benar membawa filosofi mereka, maka tak seorangpun akan berdiri di pihaknya ketika Persatuan Baptis Inggris (The British Baptist Union) mengucilkannya, karena sikap militannya dalam menentang kesesatan yang ditoleransi di dalam persekutuan tersebut. Dalam kasus “Pertentangan Downgrade” (“Downgrade Controversy”) yang mengguncangkan Baptis Inggris Raya, para bekas mahasiswa Spurgeon-pun bahkan bersikap menentangnya. Ia telah memberikan mereka pakaian, menyediakan makanan di atas meja mereka, dan mengantarkan mereka ke pendidikan pelayanan. Namun, kesetiaan denominasional terbukti terlalu kuat bagi kebanyakan dari mereka. Guru mereka terlalu militan, sehingga mereka memberikan suara mereka untuk menentangnya dan Spurgeon benar-benar ditinggalkan sendiri. Tetapi tangan Tuhan menyertainya, dan gerejanya jauh lebih cemerlang dibandingkan mereka yang ambruk menjadi musuh Tuhan. Beberapa tahun yang lalu, D. M. Panton mengatakan, “Mengidentifikasikan seseorang dengan kebenaran adalah menempatkan diri seseorang ke dalam sebuah pusat badai yang tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri”.

Selanjutnya dalam menyingkapkan alasan bahwa Injili Baru bergeser dari prinsip separasi ekklesiastikal, kita perlu mencatat fakta bahwa konsep mereka tentang tujuan berjemaat adalah berbeda dengan yang dipegang oleh kaum fundamentalis. Kaum fundamentalis umumnya mempertahankan apa yang disebut dengan konsep gereja “Donatist” (Donatis) di atas konsep “Augustinian”, yakni mereka menempatkan kekudusan gereja (jemaat) yang kelihatan (visible) sebagai hal yang paling utama daripada persatuan gereja (jemaat) yang kelihatan. Augustine, seorang pemimpin dan cendekiawan gereja mula-mula, menentang kaum Donatis yang merupakan separatis dan yang tidak mau bersekutu dengan unsur-unsur gereja yang kelihatan yang mereka anggap sebagai kompromi. Perhatian Augustine terhadap persatuan di dalam gereja cenderung merusak tujuan kemurnian alkitabiah di dalam gereja. Kaum separatis fundamentalis masa kini percaya bahwa tujuan dari sebuah gereja yang kelihatan sama sekali bukanlah sekedar untuk memelihara persatuan dari segi luarnya, tetapi untuk memelihara dan mempertahankan kebenaran Tuhan dan kemurnian tubuh Kristus.

Selanjutnya, para cendekiawan injili mula-mula, meletakkan dasar bagi gerakan yang lebih hebat, yaitu bangkit dan memandang misi gereja sebagai alat untuk menembus dunia dengan nilai-nilai Kristen. Mereka mengatakan bahwa kaum fundamentalis sudah cukup puas jika memenangkan jiwa bagi Kristus dan memuridkan mereka. Ini belum cukup. Gereja harus bangkit dan berusaha mempengaruhi bidang sosial, politik dan ekonomi masyarakat dengan prinsip-prinsip Kristen. Misi gereja tidak hanya terbatas pada pemberitaan Injil dan bertujuan sebagai santapan rohani saja, namun diperluas mencakup suatu tanggungjawab untuk mempengaruhi masyarakat dengan standar Kristen. Salah seorang penulis mengatakannya demikian:

Penolakan injili baru terhadap separatisme sebagai suatu keyakinan berkaitan dengan konsepsi mereka terhadap peranan budaya fundamentalisme atau evangelikalisme. Mereka lebih dekat dengan warisan gubernur Massachusetts yang puritan, John Winthrop, yang bercita-cita ingin membangun suatu masyarakat Kristen, sehingga mereka berselisih dengan Roger Williams, yang menekankan suatu jemaat separatis murni dan menganggap negara sebagai hal sekuler yang tidak berpengharapan… Karena itulah, para reformator injili baru memberi lebih banyak penekanan kepada … transformasi budaya.[26]

Pengkajian Perjanjian Baru yang dilakukan dengan seksama tidak bisa menemukan satupun amanat yang ditujukan kepada gereja untuk melaksanakan “transformasi budaya”.  Amanat Agung Tuhan sama sekali tidak mengandung perintah demikian. Penguasa kegelapan merupakan pemimpin politis dan religius sistem duniawi ini dan akan terus berlangsung demikian hingga tiba saatnya ia sepenuhnya dikalahkan oleh Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 16: 11; 2 Kor. 4: 4). Tidak ada bukti di dalam surat-surat Perjanjian Baru, bahwa jemaat harus mereformasi kebudayaan dunia ini. Roh Kudus Tuhan masa kini bergerak di antara bangsa-bangsa di bumi “dengan memilih suatu umat dari antara mereka bagi namaNya” (Kis. 15: 14). (bersambung ke bagian 5)

Dari buku: the Tragedy of Compromise: The Origin and Impact of the New Evangelicalism

By: Ernest D. Pickering

Sumber: http://dedewijaya.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *