The Tragedy of Compromise (bagian 3)

Membangun Sikap Netral, Awal dan Perkembangan Injili Baru

Prinsip-prinsip Injili Baru

[AkhirZaman.org] Bagaimana para pendiri Injili Baru memandang diri mereka sendiri? Prinsip-prinsip apakah yang ingin mereka bangun? Salah satu penilaian yang lebih tajam mengenai Injili Baru yang sedang berkembang saat itu ditemukan di dalam majalah liberal, Christian Century. Penulisnya mencatat dengan rasa kagum mengenai awal-mula gerakan tersebut. Secara khusus ia menunjuk perbedaan mood antara kaum fundamentalis dan Injili Baru.

Sebuah generasi baru intelektual yang saleh muncul di dalam jajaran kelompok-kelompok fundamentalis dan lembaga-lembaga pendidikan yang diakui. Para pemikir tersebut secara pribadi tidak pernah merasakan goresan peperangan yang menoreh para pemimpin yang terlibat peperangan sebelumnya, yang gagal untuk menghentikan ‘modernisme”, dan mereka sendiri kini terlibat di dalam pergumulan mengenai politik ekklesiastikal (gerejawi). Seuntai irenicism (keinginan untuk berdamai dengan semua kalangan – penerjemah) merasuk ke pikiran mereka. Mereka bisa melihat kelompok theologi yang lain dengan lebih obyektif dan lebih respek dibandingkan dengan para pendahulu mereka… Fleksibilitas baru berkembang di dalam pernyataan-ulang mengenai orthodoksi Protestan mereka yang di dalamnya terdapat kapasitas untuk membuat permasalahan yang dimaksud lebih sensitif dengan integritas pemikiran modern.[7]

Harold Ockenga menyimpulkan tujuan Injili Baru sebagai berikut:

1. Mereka prihatin dengan budaya kontemporer yang telah kehilangan sentuhan dengan Tuhan yang sejati dan ingin melihat suatu kebangkitan iman Kristen yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap budaya sekuler.

2. Mereka mengeluh kurangnya respek terhadap injili (evangelikalisme) di kalangan akademisi dan ingin mendapatkan kembali respek itu melalui usaha para cendekiawan yang mampu mempertahankan Kekristenan berdasarkan intelektual.

3. Mereka ingin merebut kembali kepemimpinan atas denominasi dari tangan kaum liberal.

4. Mereka ingin melihat gereja menjadi alat yang menghasilkan reformasi masyarakat.[8]

Butir ketiga perlu diberi perhatian khusus. Proses ‘penyusupan’ (usaha merebut kendali denominasi dari kaum liberal secara bertahap) tidak didukung oleh Firman Tuhan. Perintahnya sudah jelas. Apakah ada orang yang memiliki suatu “bentuk ketuhanan” (mengaku beriman Kristen secara luar), namun yang “menyangkal kuasa daripadanya”? Jika demikian, apa yang harus kita lakukan? “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!” (2 Tim. 3: 5). Kegagalan tragis Injili Baru pada masa kini terlihat dimana-mana. Denominasi-denominasi yang tetap berpijak di posisi mereka, sama sekali bukan lagi berposisi orthodoks seperti tahun-tahun sebelumnya. “Sedangkan orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan disesatkan” (2 Tim. 3: 13). Kita tidak bisa menghentikan arus pasang orang yang tidak percaya; ia akan terus bergulir mencapai puncaknya sebagai Pelacur masa depan yang dahsyat (Why. 17).

Garis besar lain yang lebih terperinci mengenai prinsip-prinsip Injili Baru diberikan di dalam Christian Life pada Maret 1956. Artikel tersebut menyebutkan delapan hal tentang gerakan yang muncul itu:
1. “sikap bersahabat terhadap ilmu pengetahuan sekuler”

2. “keterbukaan untuk menguji-ulang keyakinan yang berkaitan dengan pekerjaan Roh Kudus”

3. “sikap yang lebih toleran terhadap berbagai pandangan mengenai eskhatologi”

4. “bergeser dari apa yang disebut dengan dispensasionalisme ekstrim”

5. “meningkatnya penekanan terhadap kecendekiawanan”

6. “pengakuan yang lebih definitif terhadap tanggungjawab sosial”

7. “membuka kembali masalah mengenai penginspirasian Alkitab”

8. “semakin berkembangnya kehendak dari para theolog injili untuk berdialog dengan para theolog liberal.”

Karena hal-hal tersebut mencerminkan kesimpulan mengenai prinsip-prinsip Injili Baru yang paling awal, beberapa komentar perlu dibereskan.

Permasalahan Ilmu Pengetahuan

Berbagai usaha dilakukan untuk menyatukan pengajaran Alkitab dengan berbagai teori ilmu-pengetahuan yang sedang berkembang. Para cendekiawan Injili Baru kelihatannya malu melihat bahwa alam pemikiran kaum fundamentalis sangat bertentangan dengan alam pemikiran kaum liberal. Karena itu, mereka merasa harus mempersempit kesenjangan itu. Carl Henry, salah satu arsitek orisinil Injili Baru di tahun-tahun kemudian mengeluh tentang kenyataan bahwa orang-orang yang lebih muda sudah bertindak terlalu jauh berusaha untuk meredakan pemberhalaan.

“Kompromi saling pengertian” terdapat di antara generasi cendekiawan injili yang lebih muda, di antara mereka terdapat Edward John Carnell di Fuller Seminary… dan Arthur Holmes di Wheaton College… [Sebuah buku yang ditulis oleh Holmes], dalam menyajikan evolusi theistik, tidak mengindahkan kritik serius terhadap teori evolusi Darwin yang bahkan berasal dari para ilmuwan kontemporer. Wheaton memodifikasi pernyataan mereka yang sebelumnya mengenai penciptaan illahi untuk mengakomodasi evolusi theistik, walaupun mereka menekankan bahwa asal-usul manusia berkaitan dengan intervensi mujizat illahi.[9]

Usaha-usaha untuk menyatukan pengajaran alkitabiah tentang alam semesta fisik dengan menggantikannya dengan pengajaran iblis sama sekali tidak didukung oleh eksegesis yang alkitabiah, tetapi didorong oleh keinginan untuk membuat pandangan Kristen menjadi lebih bisa menerima para intelektual yang fasik. Paulus memperingati kita bahwa “perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging” (Gal. 6: 12). Frase ini mempunyai arti “jangan mengandalkan penampilan hebat dari luarnya saja,’ yaitu berusaha mengesankan manusia, sehingga menghinakan salib.

Pekerjaan Roh Kudus

“Keterbukaan untuk menguji-ulang keyakinan yang berkaitan dengan pekerjaan Roh Kudus” membuka lebar jalan bagi arus besar pengajaran kharismatik yang akhir-akhir ini melanda gereja. Pembentukan kelompok seperti NAE menyebabkan Pentakostalisme dan gerakan kharismatik baru mendapat ‘perhatian penuh’ yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya. Walaupun banyak cendekiawan Injili Baru tidak mendukung pandangan-pandangan tersebut, namun fakta yang menunjukkan bahwa mereka memberi toleransi tanpa menegur memberi pandangan-pandangan tersebut suatu batu-loncatan di dalam masyarakat injili.

Penafsiran Profetik

Toleransi terhadap berbagai pandangan tentang eskhatologi juga disebutkan sebagai sebuah tanda posisi Injili Baru. Sampai tahun 1950-an mayoritas fundamentalis merupakan penganut pra-millennialis dan sejumlah besar dispensasionalis (meskipun ada juga fundamentalis yang bukan penganut kedua-duanya, seperti misalnya T. T. Shields). Kini sikap yang semakin terbuka dielu-elukan sebagai sebuah tanda kedewasaan yang makin bertumbuh. Beberapa tahun yang lalu penulis diundang untuk memberi ceramah tentang “Mengapa Saya Menjadi Seorang Fundamentalis” di sebuah seminari Injili Baru. Setelah ceramah dan sesi tanya-jawab, saya diajak minum kopi di fakultas tersebut. Ketika mengobrol di ruang duduk fakultas, saya bertanya kepada dosen theologinya tentang pola eskhatologi apa yang didukung dan diajarkan oleh seminari tersebut di dalam kelas. Ia tertawa dan menjawab, “Saya mengajarkan semuanya. Dan ketika kami menyelesaikan pelajaran, para mahasiswa bahkan tidak tahu apa yang saya yakini.” Ia menganggap hal ini sebagai pelajaran yang bagus sekali. Namun kita diingatkan oleh pengajaran dari Tuhan, dimana dikatakan, bahwa “Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka” (Mat. 7: 29). Dalam menanggapi kutipan Alkitab, ahli-ahli Taurat biasa menggunakan logika yang memutar-mutar, mengutip berbagai cendekiawan, dan menghindari dogmatisme hal-hal yang diperdebatkan. Sebaliknya Kristus berbicara dengan sangat jelas dan dengan penuh otoritas.

Dispensasionalisme

Seperti yang sudah disebutkan, sejumlah besar fundamentalis mula-mula adalah dispensasionalis. (Tetapi tidak semua fundamentalis merupakan dispensasionalis.) Sistem pengajaran yang dikenal sebagai dispensasionalisme dipopulerkan oleh Alkitab terjemahan Scofield dan juga melalui pendidikan yang diberikan oleh banyak sekolah tinggi theologi dan seminari. Injili Baru tidak menyukai dispensasionalisme. Salah satu penyebab utama ketidaksukaan mereka adalah apa yang mereka istilahkan dengan pemikiran ‘pesimistis’ tentang sejarah dunia, terutama mengenai sejarah gerejawi. Kaum dispensasionalis memegang pengajaran bahwa akan berkembang kesesatan di dalam gereja yang tidak ada obatnya, kecuali separasi (pemisahan diri). Injili Baru bukanlah kaum separatis, sehingga menolak kesimpulan tak terhindarkan yang timbul sebagai konsekwensi pemikiran dispensasionalis. Injili Baru menentang apa yang mereka lihat sebagai pandangan dispensasionalis gereja – yaitu “berlindung di dalam sebuah budaya yang sudah hancur.”[10]Mereka lebih cenderung mengadopsi “pandangan Puritan-Calvinis bahwa gereja harus memainkan peran utama pembangunan-kemasyarakatan.”[11]Dalam membahas peperangan kaum fundamentalis mula-mula dengan liberalisme, Marsden mencatat bahwa banyak di antara mereka yang mulai menolak pemikiran bahwa penyesatan dapat dienyahkan dan semakin mempertahankan keyakinan bahwa orang Kristen yang taat harus memisahkan diri dari kesesatan. “Penafsiran dispensasional-premillenial terhadap sejarah, yang telah tersebar luas di antara kaum fundamentalis, mendorong kecenderungan separatis ini… Pada tahun 1930-an kalangan fundamentalis garis keras yang semakin meningkat, menyatakan kewajiban untuk melakukan separasi ekklesiastikal.”[12]Dalam pembahasan berikutnya ia menambahkan: “Pandangan pesimistis dispensasionalisme terhadap budaya yang berlaku mendorong berkurangnya penekanan terhadap masalah sosial di dalam gerakan itu. Penilaian negatif dispensasionalisme terhadap gereja-gereja besar mendorong separatisme”.[13]

Ke cendekiawan

Injili Baru yang sedang naik-daun menjadi gelisah karena kontribusi mereka benar-benar dikesampingkan oleh kalangan cendekiawan. Namun, kita tidak perlu merasa heran, jika kaum cendekiawan fundamentalis yang tetap setia terhadap ketiadasalahan (inerrancy) Alkitab dan secara intelektual tunduk kepada otoritas Firman Tuhan, tidak terlalu antusias jika karya mereka akan diterima di antara para penyokong kesalahan. Firman Tuhan melalui Yeremia (yang jelas merupakan sebuah karya “ilmiah” karena dihasilkan oleh Roh Kudus) meskipun dikoyak-koyak dengan pisau raut sang raja (Yer. 36: 23-24). Kebenaran Alkitab senantiasa merupakan “kebodohan” bagi mereka yang tidak percaya, lebih-lebih bagi orang tidak percaya yang berpendidikan (1 Kor. 1: 18). Paulus tidak memberitakan Firman Tuhan dengan “kata-kata hikmat yang meyakinkan” (1 Kor. 2: 4), tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh.

Injili Baru cenderung memandang kaum fundamentalis sebagai suatu ketidakjelasan dan anti-intelektual. Pendapat ini tak pelak lagi muncul karena fakta bahwa kaum fundamentalis mencurigai benteng kuat dan para pemimpin terpelajar yang hampir semuanya merupakan lawan radikal atas kebenaran Alkitab. Dunia intelektual, pada umumnya, adalah sebuah dunia yang dikendalikan oleh penguasa kejahatan, yakni Setan sendiri. Kaum fundamentalis menerima pengajaran Alkitab yang jelas tentang mereka: “…dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka” (Ef. 4: 18). Kebanyakan orang yang mengejar kehormatan intelektual sebagai keyakinannya pada masa yang lalu terbukti merupakan musuh berat gereja.

Peran kaum intelektual dalam merusak ideologi-ideologi yang sudah mapan (sekalipun tidak disengaja), setidak-tidaknya sejak Pencerahan, terdokumentasi dengan baik… Ironinya kasus Injili adalah penekanan yang ditujukan untuk mendapatkan kredibilitas intelektual dalam menyokong posisi Injili (sejak tahun 1940-an sampai kini), pada akhirnya secara tidak sengaja membawa konsekwensi merusak posisi Injili. Apa yang dimulai sebagai sebuah keberanian untuk mempertahankan orthodoksi secara terbuka dan dengan integritas intelektual, bisa mengakibatkan pelemahan atau bahkan kematian orthodoksi seperti yang telah ditegaskan di bagian lain masa ini. Dengan semakin mengkristalnya pelemahan akal-sehat pendekatan tradisional atas Alkitab di antara para intelektual Injili, sehingga menandakan dinamika yang sama di antara populasi Injili yang lebih luas. Pola itu terdokumentasi dengan baik. Inovasi dan pemikiran filosofis yang umumnya berasal dari suatu eselon elitis di dalam masyarakat mempunyai ciri kecenderungan untuk merembes ke dalam seluruh masyarakat yang ada.[14]

Namun dengan jujur harus kita akui, bahwa memang ada kalangan fundamentalis yang terbukti mempunyai sikap anti-intelektual. Orang-orang demikian dijauhi atau dicela oleh kaum fundamentalis yang saleh yang sungguh-sungguh berusaha menyelidiki Alkitab yang penuh kekayaan. Kaum fundamentalis demikian memuaskan diri mereka dengan pendekatan pada ‘luarnya’ saja.

Ada keseimbangan yang patut kita cari. Pikiran kita harus sepenuhnya berserah kepada Tuhan dan otoritas wahyuNya. Kita harus “menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus” (2 Kor. 10: 5). Tuhan telah memberikan kita akal-budi untuk dipakai demi kemuliaanNya. “Sebab itu siapkanlah akal-budimu” (1 Ptr. 1: 13) adalah perintah Tuhan. Perikop ini memberitahukan dengan jelas bahwa akal-budi kita adalah penting dan bahwa iman Kristen jelas mempunyai ekspresi intelektual.

Keterlibatan Sosial

Carl Henry merupakan salah seorang penyumbang utama konsep bahwa jemaat Kristus harus lebih banyak terlibat dalam aksi sosial. Dalam mempertahankan konsep ini, Henry menulis,

Sejak masa penarikan diri dari masyarakat dan politik sampai masa pendukung Katolik konservatif yang suka berperang dan bangsa Amerika lainnya mengalami masa yang panjang, namun beberapa jurubicara injili tidak sabar mendesak pengharapan tersebut, meski kontroversi itu mengandung resiko.

Yang tertinggal sangat jauh adalah kaum fundamentalis pada era 1930-50an yang pandangan sejarah pesimistisnya membuat mereka melepaskan diri dari keterlibatan sosial-politik dan keterikatan kultural agar bisa berkonsentrasi pada penginjilan pribadi dalam menantikan kedatangan kembali Kristus yang sudah dekat. … Pandangan ini masih memiliki dukungan di dalam kalangan Bob Jones dan konstituensi Dallas Seminary yang lebih tua… Kebanyakan injili mengganggap bahwa kita harus terlibat aktif dalam urusan publik.[15]

Bagaimana caranya kita menilai usaha Injili Baru yang menggalang program sosial yang ditujukan untuk mengatasi penyakit masyarakat itu? Memang masyarakat modern kita memiliki banyak permasalahan menyedihkan yang memilukan hati orang percaya. Namun kita harus mengikuti Alkitab, bukan mengikuti perasaan kita. Dalam Perjanjian Baru tidak diperoleh bukti adanya suatu program sosial yang disponsori jemaat untuk tujuan mengurangi penderitaan manusia di dalam dunia yang tidak aman ini. Penelitian yang seksama terhadap Perjanjian Baru akan menyingkapkan bahwa usaha untuk memenuhi kebutuhan sosial lebih diutamakan untuk sesama orang percaya (Kis. 4: 32-37). Yakobus mendesak kita untuk menunjukkan iman kita dengan membantu saudara seiman yang tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari (Yak. 2: 15). Ilustrasi tersebut dan yang lainnya menunjukkan kepada kita bahwa perhatian sosial orang-orang percaya mula-mula terutama ditujukan kepada sesama orang percaya dan bukan kepada dunia secara umum. Ini bukan berarti bahwa pribadi-pribadi orang percaya tidak bisa dan tidak boleh menunjukkan kebaikan dan kemurahan kepada dunia yang memerlukannya. Tentu saja perilaku demikian sesuai dan mencerminkan semangat Kristus. Tetapi Injili Baru, sebagai reaksi terhadap genderang kritik kaum liberal yang mengatakan bahwa kaum fundamentalis tidak mempunyai perhatian terhadap orang lain, telah bertindak terlalu jauh di dalam dukungan program sosial mereka. Tugas utama jemaat-jemaat Kristus bukan melayani kebutuhan manusia dari segi luar dan lahiriah, namun untuk memberitakan Injil Anak Allah yang berbicara tentang kebutuhan yang lebih mendalam dan lebih kekal – yakni keselamatan jiwa. Supaya fair, harus juga dicatat bahwa kaum fundamentalis selama bertahun-tahun telah menunjukkan kebaikan dan kasih kepada orang-orang yang hidup di dalam dosa, kerapkali perbuatan baik tersebut diiringi dengan pemberitaan Injil (misalnya seperti di dalam misi pelayanan penyelamatan).

Alkitab Yang Diinspirasikan

Kesediaan untuk menetapkan kembali dan mengevaluasi kembali posisi historis jemaat mengenai inspirasi verbal Alkitab sebenarnya adalah membuka sebuah kotak Pandora, seperti yang kini bisa dilihat setelah beberapa generasi kemudian. Dalam artikel Christian Life yang orisinil, pembukaan kembali permasalahan inspirasi Alkitab digambarkan sebagai “hanya sebuah kerikil di dalam kolam theologi konservatif” yang bisa “berkembang menjadi sesuatu yang amat mengejutkan evangelikalisme abad pertengahan.”[16] Sungguh tepat perkataan tersebut! Dengan sangat cepat semakin banyak pemimpin yang menyatakan diri “injili” menyimpang dari posisi solid ketiadasalahan Alkitab yang berlaku sepanjang zaman menjadi suatu posisi yang berubah total. Sampai kinipun adalah benar bahwa “segala tulisan [setiap dan semua tulisan] diilhamkan Allah” (2 Tim. 3: 16). Hal ini mencakup segala sesuatu – rujukan geografis, rujukan historis, dan rujukan ilmu pengetahuan maupun pengajaran theologis. Beberapa tahun yang lalu, Ronald Nash berbicara mendukung pergeseran pandangan Injili Baru terhadap bibliologi: “Jika injili telah mengubah pandangan pengilhaman (penginspirasian) fundamentalis, dengan cara apapun, maka perubahan tersebut adalah sebuah langkah yang benar. Maksud saya, dengan demikian tindakan itu merupakan langkah positif yang mengarah kepada posisi pengilhaman Alkitab yang lebih bisa dipahami dan dapat dipertahankan”.[17]

Tetapi Nash salah. Perhatikan kebebasan besar yang kini diperoleh oleh para cendekiawan “injili” terhadap teks Alkitab. Hal tersebut telah menjadi seperti sebongkah tanah liat yang bisa ditekuk menjadi bentuk yang sangat aneh dan kemudian dinyatakan sebagai sesuatu yang sangat normal.

Akhirnya Injili Baru bertekad untuk mengajak para theolog liberal untuk mengadakan pembicaraan yang ‘penuh arti’. Vernon Grounds, yang pada saat itu menjadi Pimpinan Conservative Baptist Seminary di Denver, mengajukan pemikiran ini: “Seorang injili secara organisasional dapat memisahkan diri dari persekutuan yang menyangkal Kristus, tetapi juga bisa memperoleh manfaat dengan mengadakan tukar-pikiran dengan orang yang bukan injili”.[18] Grounds memiliki gagasan bahwa persaudaraan dengan cendekiawan yang menolak Alkitab bagaimanapun juga mempunyai suatu pengaruh positif terhadap orang-orang yang melakukannya.

Sebagian masalah yang terjadi dengan banyak Injili Baru adalah bahwa mereka tidak mengakui para penganut theologi liberal sebagai jiwa-jiwa tersesat yang menggapai-gapai di dalam kegelapan rohani, “mata air yang kering, seperti kabut yang dihalaukan taufan; bagi mereka telah tersedia tempat dalam kegelapan yang paling dahsyat” (2 Ptr. 2: 17). Banyak injili dengan enteng memandang kaum liberal sebagai kalangan yang salah arah, namun merupakan orang Kristen yang bermaksud baik yang membutuhkan kasih dan persekutuan kita. Karena itu, kita dapat menuntun mereka berbalik dari jalan mereka yang salah. Bloesch, ketika mengomentari beberapa aspek fundamentalisme mula-mula, bertentangan dengan cendekiawan hebat J. Gresham Machen yang menulis buku klasik, Christianity and Liberalism. Machen, dalam penilaian Bloesch, “tidak cukup memberi pengakuan atas fakta bahwa kaum liberal tetap masih bisa menjadi manusia yang memiliki iman pribadi yang mendalam, meskipun pemikiran mereka salah”.[19] Selain orang-orang yang dipersoalkan tersebut, kita sedang membicarakan sesuatu yang jauh lebih luas dari sekedar beberapa intektual yang salah. Kita sedang bicara mengenai pemberontakan yang menyolok terhadap Tuhan yang maha kuasa dan otoritas FirmanNya yang kudus. Bloesch melanjutkan, “Injili tidak boleh menolak persekutuan dengan kaum ekumenis dan liberal yang mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Liberalisme sebagai suatu sistem theologis tentu saja harus ditolak, namun tidak bolehkah kita berusaha berdamai dengan orang liberal selaku pribadi?”[20] Namun memang haruskah kita melakukannya? Tuhan dengan jelas memberitahukan apa yang harus kita lakukan terhadap mereka yang – “pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!” (2 Tim. 3: 5). Sayangnya, Injili Baru tidak memperhatikan peringatan itu. Bloesch menyimpulkan pembahasan atas masalah itu dengan menyatakan, “Adalah membesarkan hati melihat sebuah semangat baru keterbukaan yang berasal dari kaum injili, yang kebanyakan merupakan anak-anak fundamentalisme”.[21] Kecenderungan ini, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai sebuah langkah maju, jika dipandang dari sudut wahyu alkitabiah hanya bisa dipandang sebagai sebuah langkah mundur. (bersambung ke bagian 4)

Dari buku: the Tragedy of Compromise: The Origin and Impact of the New Evangelicalism

By: Ernest D. Pickering

Sumber: http://dedewijaya.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *