~40~
UMAT ALLAH DILEPASKAN
Bilamana perlindungan hukum manusia ditarik dari mereka yang menghormati hukum Allah, akan ada suatu gerakan yang serentak untuk kebinasaan mereka di berbagai negeri. Sementara waktu yang ditetapkan di dalam surat keputusan semakin dekat, orang-orang akan berkomplot untuk menghancurkan sekte yang dibenci itu. Akan ditentukan untuk melancarkan serangan yang mematikan pada suatu malam, yang akan membungkam sama sekali suara pendapat yang berbeda dan teguran itu.
Umat Allah — yang sebagian di dalam penjara, sebagian bersembunyi di daerah-daerah terpencil di hutan-hutan dan gunung-gunung — masih memohon perlindungan ilahi, sementara di markas pasukan-pasukan bersenjata, yang didorong oleh malaikat-malaikat jahat, sedang dipersiapkan pelaksanaan pembunuhan. Sekaranglah, pada saat yang sangat penting ini, Allah Israel akan campur tangan untuk melepaskan umat-Nya. Tuhan bersabda, “Kamu akan menyanyikan suatu naynyian seperti pada waktu malam ketika orang menguduskan diri untuk perayaan, dan kamu akan bersuka hati seperti pada waktu orang berjalan diringi suling hendak naik ke gunung Tuhan, ke Gunung Batu Israel. Dan Tuhan akan memperdengarkan suara-Nya yang mulia, akan memperlihatkan tangan-Nya yang turun menimpa dengan murka yang hebat dan nyala api yang membakar habis, dengan hujan lebat, angin ribut dan hujan batu.” (Yes. 30:29,30).
Dengan pekik kemenangan, ejekan dan kutukan, rombongan orang-orang jahat hampir menyerang menerkam mangsa mereka, pada waktu tiba-tiba kegelapan, yang lebih gelap dari kegelapan malam, turun ke atas bumi. Pelangi yang bersinar dengan kemuliaan dari takhta Allah, meliputi segala langit dan seolah-olah mengelilingi setiap kelompok orang yang sedang berdoa. Orang banyak yang marah itu tiba-tiba terdiam. Teriak ejekan mereka terhenti. Tujuan kegeraman mereka hendak membunuh telah dilupakan. Dengan penuh rasa takut mereka memandang lambang perjanjian Allah, dan ingin agar terlindung dari cahayanya yang luar biasa itu.
Suatu suara yang jelas dan merdu di dengar oleh umat Alla, yang berkata, “Lihat ke atas,” dan mengangkat mata mereka melihat ke langit, mereka melihat pelangi perjanjian. Awan hitam yang murka yang menutupi cakrawala terbelah, dan seperti Stefanus, mereka menatap ke dalam Surga dan melihat kemuliaan Allah dan Anak Manusia yang duduk di atas takhta-Nya. Dalam rupa ilahinya mereka melihat dengan jelas tanda-tanda kehinaan-Nya, dan dari bibir-Nya mereka mendengar permohonan yang disampaikan kepada Bapa dan malaikat-malaikat suci, “ya Bapa, Aku mau supaya dimanapun Aku berada, mereka juga bersama-sama dengan Aku.” (Yoh. 17:24). Sekali lagi suatu suara musik yang merdu dengan nada kemenangan, terdengar mengatakan, “Mereka datang! mereka datang! kudus, tidak bercela dan tidak bernoda. Mereka telah memelihara firman-Ku, mereka akan berjalan di antara malaikat-malaikat.” dan bibir yang pucat dan gemetar dari mereka yang berpegang teguh dalam imannya meneriakkan suatu sorak kemenangan.
Pada tengah malamlah Allah menyatakan kuasa-Nya untuk kelepasan umat-Nya. Matahari tampak, bercahaya dalam keperkasaannya. Tanda-tanda dan mujizat-mujizat menyusul silih berganti dengan cepat. Orang-orang fasik melihat pemandangan itu dengan ketakutan dan keheranan, sementara orang-orang benar memandang kesukaan besar itu sebagai tanda kelepasan mereka. Segala sesuatu di alam ini kelihatannya berubah. Sungai-sungai berhenti mengalir. Awan-awan hitam tebal muncul dan saling berbenturan satu sama lain. Di tengah-tengah langit yang sedang marah itu ada suatu ruang terbuka dengan kemuliaan yang tak tergambarkan, dari sana datang suara Allah bagaikan suara gemuruh air, yang berkata, “Sudah terlaksana!” (Wah. 16:17). Suara itu mengguncangkan langit dan bumi. Terjadilah gempa bumi yang dahsyat, “seperti belum pernah terjadi sejak manusia ada di atas bumi. Begitu hebatnya gempa bumi itu.” (Wah. 16:17,18). Cakrawala tampak terbuka dan tertutup. Kemuliaan dari takhta Allah tampak memancar bagaikan kilat. Gunung-gunung bergoncang bagaikan alang-alang yang ditiup angin, dan batu-batu berserakan ke segala sudut. Ada suatu gemuruh bagaikan datangnya angin topan. Lautanpun bergelora dengan ganasnya. Terdengar jeritan angin ribut bagaikan suara iblis-iblis dalam misi penghancuran. Seluruh dunia bergelora bagaikan gelombang laut. Permukaannya terbelah-belah. Dasarnya tempaknya hancur. Barisan gunung-gunung tenggelam. Pulau-pulau yang berpenduduk lenyap. Pelabuhan-pelabuhan laut yang telah menjadi seperti Sodom dalam kejahatan, ditelan oleh laut yang mengamuk. Babilon yang besar itu telah menjadi peringatan di hadirat Allah, “untuk memberikan kepadanya cawan yang penuh dengan anggur kegeraman murka-Nya.” Hujan es batu yang besar, masing-masing beratnya “kira-kira seberat satu talenta” atau “seratus pon” melakukan penghancuran. (Wah. 16:19,21). Kota-kota megah kebanggan dunia diruntuhkan. Istana-istana para bangsawan, di mana orang-orang besar dunia telah memboroskan harta kekayaan mereka untuk memuliakan diri sendiri, hancur dan musnah di depan mata mereka. Tembok-tembok penjara rubuh berkeping-keping, dan umat Allah yang dipenjarakan oleh karena iman mereka dibebaskan .
Kuburan-kuburan terbuka, dan “banyak dari antara orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal.” (Dan. 12:2). Semua yang telah mati di dalam iman kepada pekabaran malaikat yang ketiga, yang akan keluar dari kuburan dengan dimuliakan, akan mendengar perjanjian damai Allah dengan mereka yang telah memelihara hukum-Nya. “Juga yang telah menikam Dia,” (Wah. 1:7), mereka yang mengejek dan mencemoohkan derita kematian Kristus, dan penentang paling keras kebenaran-Nya dan umat-Nya, dibangkitkan untuk memandang Dia dalam kemuliaan-Nya, dan memandang penghormatan yang diberikan kepada mereka yang setia dan menurut.
Awan tebal masih menutupi langit, namun matahari kadang-kadang menembusinya, tampak bagaikan mata Yehovah yang penuh dendam. Kilat yang dahsyat memancar dari langit membungkus dunia ini dengan nyala api. Di atas gemuruhnya guntur dan suara-suara yang misterius dan mengerikan, diumumkanlah kebinasaan orang-orang fasik itu. Kata-kata yang diucapkan tidak dimengerti oleh semua orang, tetapi dimengerti dengan jelas oleh guru-guru palsu. Mereka yang sesaat sebelumnya begitu semberono, begitu sombong dan membangkang, begitu bersuka dalam melakukan kekejaman kepada umat Allah yang memelihara hukum-Nya, sekarang dipenuhi dengan ketakutan dan gemetar dalam kengerian. Ratapan mereka terdengar mengatasi suara unsur-unsur bumi. Iblis mengakui keilahian Kristus, dan gemetar di hadapan hadirat-Nya, sementara manusia memohon belas kasihan dan menyembah dalam ketakutan yang menyedihkan.
Nabi-nabi zaman dahulu berkata, sementara mereka memandang penglihatan kudus dari Allah, “Merataplah, sebab hari Tuhan sudah dekat, datangnya sebagai pemusnahan dari Yang Mahakuasa.” (Yes. 13:6). “Masuklah di sela gunung batu dan bersembunyilah di dalam liang tanah terhadap kedahsyatan Tuhan dan terhadap semarak kemegahan-Nya! Manusia yang sombong akan direndahkan, dan orang yang angkuh akan ditundukkan, dan hanya Tuhan sajalah yang maha tinggi pada hari itu. Sebab Tuhan semesta alam menetapkan suatu hari untuk menghukum semua yang congkak dan angkuh serta menghukum semua yang meninggikan diri supaya direndahkan.” “Pada hari itu berhala-berhala perak dan berhala-berhala emas yang dibuat manusia untuk sujud menyembah kepadanya akan dilemparkannya kepada tikus dan kelelawar, dan ia akan masuk ke dalam lekuk-lekuk di gunung batu dan ke dalam celah-celah di bukit batu terhadap kedahsyatan Tuhan dan terhadap semarak kemegahan-Nya pada waktu Ia bangkit menakut-nakuti bumi.”(Yes. 2:10-12, 20,21).
Melalui celah-celah di awan-awan bersinarlah sebuah bintang yang kecermelangannya bertambah empat kali lipat dibandingkan dengan kegelapan. Ia membawa harapan dan sukacita kepada orang-orang yang setia, tetapi kekerasan dan murka kepada pelanggar-pelanggar hukum Allah. Mereka yang telah mengorbankan segalanya bagi Kristus sekarang merasa aman, terlindung bagaikan berada di tempat tersembunyi di rumah Tuhan. Mereka telah diuji dan di hadapan dunia ini dan di hadapan mereka yang membenci kebenaran mereka telah memperlihatkan kesetiaan mereka kepada Dia yang telah mati bagi mereka. Suatu perobahan yang menakjubkan telah terjadi pada mereka yang telah memegang teguh integritas mereka di hadapan maut sekalipun. Dengan tiba-tiba mereka telah dilepaskan dari kelaliman manusia yang gelap dan mengerikan yang telah berubah menjadi Iblis. Wajah-wajah mereka yang tadinya pucat, cemas dan lesu, sekarang bercahaya dengan ajaib, iman dan kasih. Suara mereka berkumandang dalam naynyian kemenangan, “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung guncang di dalam laut, sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh gelarannya. Sela.” (Maz. 46:2-4).
Sementara kata-kata dorongan kudus ini naik kepada Allah, maka awan-awanpun menyisih dan langit yang berbintangpun kelihatan, tak terkatakan kemuliaannya, yang sangat berbeda dengan langit hitam ganas di sebelah menyebelahnya. Kemuliaan kota surgawi itu terpancar dari pintu-pintu gerbang yang terbuka sedikit. kemudian tampak di langit suatu tangan yang memegang dua loh batu yang digabung bersama. Nabi itu berkata, “Langit memberitahukan keadilan-Nya sebab Allah Sendirilah hakim.” (Maz. 50:6). Hukum yang kudus itu, kebenaran Allah, yang diumumkan dari gunung Sinai, di tengah-tengah guntur dan nyala api, sebagai penuntun hidup, sekarang dinyatakan kepada manusia sebagai ukuran untuk penghakiman. Tangan itu membuka loh-loh batu itu, dan di sana tampaklah perintah-perintah sepuluh hukum itu, yang dituliskan, seolah-olah dengan pena api. Kata-katanya begitu jelas sehingga semua orang bisa membacanya. Ingatanpun dibangkitkan, kegelapan ketakhyulan dan bidat dihapuskan dari setiap pikiran, dan sabda Allah yang sepuluh, yang singkat, mendalam dan berkuasa itu, ditunjukkan kepada segenap penduduk dunia ini. Tidak mungkin menggambarkan ketakutan dan keputusasaan mereka yang telah menginjak-injak tuntutan hukum Allah yang kudus. Tuhan memberikan kepada mereka hukum-Nya, agar mereka dapat membandingkan tabiat mereka dengan hukum itu, dan mengetahui kekurangan-kekurangan mereka sementara masih ada kesempatan untuk bertobat dan mengadakan pembaharuan. Tetapi agar mereka memperoleh perkenan dunia ini, mereka mengesampingkan ajaran-ajaran hukum itu dan mengajar oarng-orang lain untuk melanggarnya. Mereka memaksa umat Allah untuk menajiskan Sabat-Nya. Sekarang mereka dipersalahkan oleh hukum yang mereka hinakan. Jelas sekali mereka lihat bahwa mereka tidak punya dalih. Mereka memilih siapa yang akan mereka layani dan sembah. “Maka kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya.” (Mal. 3:18).
Musuh-musuh hukum Allah, mulai dari pendeta-pendeta sampai kepada yang terkecil di antara mereka, mempunyai suatu konsep kebenaran dan kewajiban baru. Terlambat mereka melihat bahwa Sabat hukum keempat adalah meterai Allah yang hidup. Terlambat mereka melihat sifat yang sebenarnya dari sabat mereka yang palsu, dan dasar yang rapuh di mana mereka membangun. Mereka mendapati bahwa mereka telah berjuang melawan Allah. Guru-guru agama telah menuntun jiwa-jiwa kepada kebinasaan sementara mereka mengaku menuntun jiwa-jiwa itu ke pintu gerbang Firdaus. Pada perhitungan terakhirlah nanti akan diketahui betapa besar tanggungjawab orang-orang yang memegang jabatan suci, dan betapa mengerikan akibat-akibat dari ketidaksetiaan mereka. Hanya dalam kehidupan kekallah dapat kita mengerti dengan sebenarnya arti hilangnya satu jiwa. Mengerikanlah hukuman orang-orang yang kepadanya Allah berkata, “Enyahlah dari pada-Ku, hai hamba yang jahat.”
Suara Allah terdengar dari Surga, menyatakan hari dan jam kedatangan Yesus, dan menyampaikan perjanjian yang kekal kepada umat-Nya. Bagaikan bunyi guntur yang paling keras, firman-Nya menggemuruh ke seluruh dunia. Umat Israel Allah berdiri mendengarkan dengan matanya memandang ke atas. Wajah mereka diterangi kemuliaan-Nya, dan bercahaya seperti wajah Musa pada waktu ia turun dari gunung Sinar. Orang-orang fasik tidak dapat memandang mereka. Dan bilamana berkat-berkat diumumkan bagi mereka yang menghormati Allah oleh pemeliharaan Sabat-Nya yang kudus, akan terdengar sorak kemenangan yang luar biasa.
Tidak lama kemudian tampaklah di sebelah timur suatu awan hitam yang kecil kira-kira setengah kepalan tangan besarnya. Itulah awan yang mengelilingi Juru Selamat, yang tampak dari jauh seperti diselubungi oleh kegelapan. Umat Allah mengenal ini sebagai tanda Anak Manusia. Dalam keheningan yang khidmat mereka memandanginya sementara semakin mendekat ke bumi, menjadi semakin terang dan mulia, hingga menjadi awan putih besar, yang dasarnya adalah kemuliaan bagaikan api yang menyala-nyala, dan diatasnya ada pelangi perjanjian.Yesus mengendarainya bagaikan seorang penakluk. “Orang yang penuh kesengsaraan itu” sekarang tidak untuk meminum cawan yang pahit penderitaan dan yang memalukan; Ia datang, yang menang di Surga maupun di bumi, untuk menghakimi yang hidup dan yang mati. “Yang Setia dan Yang Benar,” “Ia menghakimi dan berperang dengan adil.” “Dan semua pasukan yang di Surga mengikuti Dia.” (Wah. 19:11, 14). Dengan nynyian-nyanyian Surga, malaikat-malaikat kudus suatu kelompok besar yang tak terhitung banyaknya menyertai Dia dalam perjalanan-Nya. Langit seolah-olah dipenuhi oleh bentuk-bentuk yang bercahaya — “berlaksa-laksa dan beribu-ribu laksa banyaknya.” Tak ada pena manusia yang dapat melukiskan pemandangan itu, tidak ada pikiran fana yang sanggup mengerti keindahan dan keagungan kemuliaannya. “Keagungan-Nya menutupi segala langit, dan bumipun penuh dengan pujian kepada-Nya. Ada kilauan seperti cahaya, sinar cahaya dari sisi-Nya.” (Hab. 3:3,4). Sementara awan yang hidup itu datang semakin dekat, setiap mata memandang Raja kehidupan itu. Tak ada lagi mahkota duri yang merusakkan kepala yang kudus itu, tetapi suatu perhiasan kemuliaan terletak di atas keningnya yang suci. Wajah-Nya memancarkan sinar terang yang menyilauklan melebihi sinar matahari di tengah hari. “Dan pada jubah-Nya dan paha-Nya tertulis suatu nama, yaitu: Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan.” (Wah. 19:16).
Di hadapan hadirat-Nya “muka sekalian orang menjadi pucat pasi;” ketakutan keputusasaan kekal menimpa para penolak belas kasihan Allah.” “Hati menjadi tawar dan lutut goyah!” “Mengapakah setiap muka berubah menjadi pucat?” (Nahum 2:10; Yer. 30:6). Orang benar berseru dengan gemetar, “Siapakah yang dapat bertahan?” Nyanyian malaikat berhenti, dan terjadilah saat hening yang luar biasa. Lalu terdengar suara Yesus berkata, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu.” Wajah orang-orang benar bercahaya dan sukacita memenuhi hati mereka. Dan malaikat-malaikat membunyikan lagu lebih keras dan kembali menyanyi, sementara mereka semakin dekat ke bumi ini.
Raja segala raja turun di atas awan, dibungkus di dalam api yang bernyala-nyala. Segala langit digulung bagaikan gulungan kertas, bumi bergetar di hadirat-Nya, dan setiap gunung dan pulau berpindah dari tempatnya. “Allah kita datang dan tidak akan berdiam diri, di hadapan-Nya api menjilat-jilat, di sekelilingnya bertiup badai yang dahsyat. Ia berseru kepada langit di atas, dan kepada bumi untuk mengadili umat-Nya.” (Maz. 50:3,4).
“Dan raja-raja di bumi dan pembesar-pembesar serta perwira-perwira, dan orang-orang kaya serta orang-orang berkuasa, dan semua budak serta orang merdeka bersembunyi ke dalam gua-gua dan celah-celah batu karang di gunung. Dan mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu: Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu. Sebab sudah tiba hari besar murka mereka dan siapakah yang dapat bertahan?” (Wah. 6:15-17).
Sendagurau olok-olokan sudah berakhir. Bibir yang penuh kebohongan ditutup rapat-rapat. Peperangan dan hiruk-pikuk serta derunya pertempuran “yang berderap-derap dan setiap jubah yang berlumuran darah” (Yes. 9:4 — Alkitab, LAI Jakarta 1993) tidak terdengar lagi. Yang terdengar hanyalah suara doa dan suara ratapan serta tangisan. Tangisan terdengar dari bibir orang-orang yang baru saja mengejek, “Sebab sudah tiba hari besar murkan-Nya, siapakah yang dapat bertahan?” Orang-orang fasik berdoa supaya terkubur di bawah batu-batu gunung daripada memandang muka Dia yang telah mereka benci dan tolak.
Suara yang menerusi telinga orang-orang mati, mereka kenal. Betapa sering mereka telah mendengar nada lembut suara itu memanggil mereka untuk bertobat. Betapa sering suara itu mereka dengar bagaikan bujukan seorang sahabat, seorang saudara, seorang Penebus. Kepada mereka yang menolak kasih karunia-Nya, tiada suara lain yang penuh dengan hukuman, yang penuh dengan celaan, dan pada suara yang sejak lama mengajak, “Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati?” (Yehez. 33:11). Oh, suara itu kepada mereka dianggap seperti suara orang asing! Yesus berkata, “Oleh karena kamu menolak ketika aku memanggil dan tidak ada yang menghiraukan ketika aku mengulurkan tanganku, bahkan kamu mengabaikan nasihatku, dan tidak mau menerima teguranku.” (Amsal 1:24,25). Suara itu membangunkan ingatan-ingatan yang mereka ingin hapuskan — amaran-amaran dibenci, undangan-undangan ditolak, kesempatan-kesempatan diremehkan.
Ada di antara mereka yang mengejek Kristus dalam kehinaan-Nya. Dengan kuasa yang menggetarkan datang kepada pikiran mereka, kata-kata Penderita, bilamana imam besar mendesak, Ia menyatakan sengan khidmat, “Mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.” (Mat. 26:64). Sekarang mereka memandang Dia dalam kemuliaan-Nya, dan mereka masih akan melihat Dia duduk di sebelah kanan kekuasaan.
Mereka yang mencemoohkan pengakuan-Nya sebagai Anak Allah sekarang bungkam tidak bisa berkata-kata. Di situ ada Herodes yang angkuh, yang mengejek-Nya mengenai gelar kerajaan-Nya, dan yang memerintahkan serdadu-serdadu yang mengejek itu untuk memahkotai-Nya menjadi raja. Di sana ada orang-orang yang dengan tangannya yang cemar memakaikan jubah ungu kepada-Nya, dan mahkota duri ke atas kepala-Nya yang suci, dan pada tangan-Nya yang tak berdaya itu tongkat pura-pura, dan tunduk di hadapan-Nya dengan ejekan-ejekan hujat. Orang-orang yang memukul dan meludahi Raja kehidupan itu, sekarang berpaling dari pandangan-Nya yang tajam dan berusaha melarikan diri dari kemuliaan hadirat-Nya yang dahsyat itu. Mereka yang memaku tangan dan kaki-Nya, serdadu yang menusuk lambung-Nya, melihat bekasnya dengan ketakutan dan penyesalan yang dalam.
Dengan jelas sekali para imam dan para penguasa mengingat kembali peristiwa-peristiwa Golgota. Dengan ketakutan yang menggetarkan mereka mengingat bagaimana mereka dengan menggoyang-goyangkan kepala dengan ejekan kesetanan, berkata, “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan! Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya. Ia menaruh harapan-Nya pada Allah, baiklah Allah menyelamatkan Dia, jika Allah berkenan kepada-Nya.’ (Mat. 27:42,43).
Dengan terang mereka mengingat kembali perumpamaan Juru Selamat mengenai para petani penggarap yang menolak memberikan kepada tuannya buah dari kebun anggur, dan yang memperlakukan secara kasar hamba-hambanya dan membunuh anak tuannya. Juga mereka mengingat keputusan yang mereka sendiri umumkan: Tuan dari kebun anggur “akan membinasakan orang-orang fasik dengan menyedihkan.” Dalam dosa dan hukuman orang-orang yang tidak setia itu, para imam dan tua-tua melihat perjalanan dan nasib mereka sendiri. Dan sekarang terdengarlah tangisan penderitaan fana. Lebih nyaring dari teriakan “Salibkanlah Dia! Salibkanlah Dia!” yang terdengar di jalan-jalan Yerusalem, terdengarlah raungan keputusasaan yang mengerikan, “Ia adalah Anak Allah! Ia adalah Mesias yang sebenarnya!” Mereka berusaha melarikan diri dari hadapan Raja segala raja itu. Dengan sia-sia mereka berusaha mencoba bersembunyi di dalam gua-gua di tanah, yang reka-retak karena beradunya elemen-elemen bumi.
Dalam kehidupan semua orang yang menolak kebenaran, ada saat-saat di mana hati nurani mereka dibangunkan, di mana ingatan menampilkan kenangan-kenangan yang menyiksa perasaan mengenai suatu kehidupan kemunafikan, dan jiwa diganggu oleh penyesalan-penyesalan yang sia-sia. Tetapi apalah artinya ini dibandingkan dengan penyesalan yang mendalam pada hari itu “apabila kedahsyatan datang ke atasmu seperti badai!” (Ams. 1:27). Mereka yang bermaksud membinasakan Kristus dan umat-Nya yang setia, sekarang menyaksikan kemuliaan yang turun ke atas Kristus dan umat-Nya itu. Di tengah-tengah ketakutan mereka, mereka mendengar suara orang-orang kudus dalam nada sukacita berseru, “Sesungguhnya inilah Allah kita, yang kita nanti-nantikan supaya kita diselamatkan.” (Yes. 25:9).
Di tengah-tengah bumi yang sedang bergoyang, sambaran kilat dan deru halilintar, suara Anak Allah memanggil orang-orang kudus yang sedang tidur. Ia memandang kepada kuburan orang-orang benar, lalu mengangkat tangannya ke langit dan berseru, “Bangun, bangun, bangun, kamu yang tidur di lebu tanah, bangkitlah!” “Hai orang-orang yang sudah dikubur di dalam tanah bangkitlah dan bersorak-sorai!” (Yes. 26:19). Dari seluruh penjuru dunia ini orang mati mendengar suara itu, dan mereka yang mendengar akan hidup. Dan seluruh dunia dipenuhi dengan bunyi derap langkah pasukan yang amat besar yang terdiri dari segenap bangsa, suku, bahasa dan kaum. Dari penjara maut mereka keluar, berpakaikan kemuliaan kekal, berseru, “Hai maut, dimanakah kemenanganmu? Hai maut, dimanakah sengatmu?” (1 Kor. 15:55). Dan orang-orang benar yang masih hidup dan orang-orang kudus yang dibangkitkan itu menyatukan suara mereka dalam pekik kemenangan yang panjang penuh kegembiraan.
Semua keluar dari kubur dengan perawakan yang sama pada waktu mereka dimasukkan ke dalam kubur. Adam, yang berdiri di antar orang-orang yang dibangkitkan itu, adalah seorang yang tinggi dengan bentuk yang mulia, dengan perawakan sedikit lebih rendah dari Anak Allah. Ia memperlihatkan suatu perbedaan yang menyolok dibandingkan dengan generasi yang kemudian. Dalam satu hal ini saja telah tampak kemerosotan luar biasa umat manusia. Tetapi semuanya bangkit dengan kesegaran dan tenaga kemudaan kekal. Pada mulanya, manusia diciptakan dalam keserupaan dengan Allah, bukan saja dalam tabiat, tetapi juga dalam bentuk dan roman wajah. Dosa merusakkannya dan hampir melenyapkan citra atau gambaran ilahi itu; tetapi Kristus datang untuk mengembalikan apa yang telah hilang. Ia akan mengubahkan tubuh kita yang hina ini dan membentuknya menjadi serupa dengan tubuh-Nya yang mulia. Tubuh yang fana dan korup, tidak enak dipandang yang sekali telah dicemari dosa, menjadi sempurna, cantik dan baka. Semua noda cacad telah ditinggalkan di dalam kubur. Dipulihkan kepada pohon kehidupan yang ada di taman Firdaus yang telah lama hilang itu, umat tebusan “akan berjingkrak-jingkrak” (Mal. 4:2) bertumbuh kepada perawakan penuh manusia pada kemuliaan permulaan dunia dijadikan. Bekas-bekas terakhir kutuk dosa akan dihilangkan, dan umat Kristus yang setia akan tampak “dalam kemuliaan Tuhan, Allah kita,” di dalam pikiran, jiwa dan tubuh memantulkan gambar sempurna Tuhan mereka. O, penebusan yang ajaib! yang telah lama dibicarakan, telah lama diharapkan dan direnungkan dengan kerinduan yang mendalam, tetapi yang tidak pernah dimengerti sepenuhnya.
Orang benar yang masih hidup “diubahkan dalam sekejap mata.” Pada waktu Allah bersuara mereka telah dimuliakan, dan dengan bangkitnya orang-orang kudus mereka diangkat untuk menemui Tuhan mereka di awang-awang. Malaikat-malaikat “mengumpulkan orang-orang pilihan dari keempat penjuru mata angin, dari ujung langit yang satu ke ujung langit yang lain.” Anak-anak kecil dibawa oleh malaikat-malaikat suci keharibaan ibu mereka. Teman-teman yang sudah lama dipisahkan oleh kematian dipersatukan, tidak pernah lagi akan berpisah, dan dengan nyanyian kesukaan naik bersama-sama ke dalam kota Allah.
Pada kedua sisi kereta kencana awan itu terdapat sayap-sayap dan di bawahnya ada roda-roda hidup, dan sementara kereta kencana itu bergerak menuju ke atas, roda-roda itu berbunyi, “Kudus,” dan sayap-sayap itu berbunyi “Kudus, kudus, kudus Tuhan Allah Yang Mahakuasa.” Dan umat yang ditebus itu berseru, “Haleluyah!” sementara kereta itu terus bergerak menuju Yerusalem Baru.
Sebelum memasuki kota Allah, Juru Selamat menganugerahkan kepada para pengikut-Nya lambang kemenangan dan menyematkan kepada mereka lencana kerajaan. Barisan arak-arakan yang berkilauan itu di tarik ke atas dalam bentuk lekuk segiempat mengelilingi Raja mereka, yang bentuk perawakan-Nya lebih tinggi mengatasi orang-orang kudus dan malaikat, yang wajah-Nya bercahaya kepada mereka penuh dengan kasih yang besar. Rombongan besar umat tebusan yang tak terhitung banyaknya itu menujukan pandangan mereka kepada-Nya, setiap mata memandang kemuliaan Dia yang “tampang-Nya telah dirusakkan lebih dari manusia manapun dan bentuk-Nya melebihi anak-anak manusia.” Di atas kepala orang-orang yang menang, Yesus dengan tangan kanan-Nya sendiri meletakkan mahkota kemuliaan. Ada mahkota bagi setiap orang yang bertuliskan “nama baru” (Wah. 2:17) masing-masing, dan tulisan yang berbunyi “Kekudusan bagi Tuhan.” Kepada setiap tangan diberikan daun palem kemenangan dan kecapi yang bercahaya. Kemudian, pada waktu pemimpin malaikat memainkan lagu, setiap tangan memetik tali kecapi dengan mahirnya, menghasilkan musik yang bersuara lembut merdu. Kegembiraan yang tidak terkatakan menggetarkan setiap hati, dan setiap suara diangkat dalam pujian syukur, “Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya — dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, — bagi Dialah kemuliaan dan kuasa selama-lamanya. Amin.” (Wah. 1:5,6).
Di hadapan umat tebusan tampaklah kota suci itu. Yesus membuka lebar-lebar pintu-pintu gerbang mutiaranya dan bangsa-bangsa yang telah memelihara kebenaran masuk ke dalamnya. Di sana mereka memandang Firdaus Allah, tempat kediaman Adam sebelum ia berdosa. Kemudian suara itu, yang lebih merdu dari musik manapun yang pernah didengar telinga fana, terdengar berkata, “Perjuanganmu telah berakhir.” “Marilah, hai kamu yang diberkati Bapa-Ku, warisilah kerajaan yang disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.”
Sekarang digenapilah doa Juru Selamat bagi murid-murid-Nya, “Ya Bapa, Aku mau supaya dimanapun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku.” (Yoh. 17:24). “Tak bernoda dan penuh kegembiraan di hadapan kemuliaan-Nya.” (Judas 24). Dalam mempersembahkan mereka yang dibeli dengan darah-Nya kepada Bapa, Kristus berkata, “Sesungguhnya, inilah Aku dan anak-anak yang telah diberikan Allah kepada-Ku.” (Iber. 2:13). “Yang Engkau telah berikan kepada-Ku, Aku telah menjaga mereka.” (Yoh. 17:12). Oh, betapa ajaibnya kasih yang menebus itu! Kesukaan besar saat itu bilamana Bapa, memandang mereka yang sudah ditebus itu, akan melihat gambar-Nya, perselisihan karena dosa dihapuskan, kutukan dosa dibuangkan, dan sekali lagi manusia selaras dengan ilahi.
Dengan kasih yang tak terkatakan, Yesus menyambut umat-Nya yang setia kepada “kesukaan Tuhan mereka.” Kesukaan Juru Selamat adalah dalam melihat jiwa-jiwa yang telah diselamatkan oleh penderitaan dan kehinaan-Nya ke dalam kerajaan kemuliaan. Dan yang ditebus itu akan turut mendapat bagian dalam kesukaan-Nya, sebagaimana mereka lihat di antara orang-orang yang diberkati, mereka yang telah dimenangkan kepada Kristus melalui doa-doa mereka, usaha-usaha mereka dan pengorbanan kasih mereka. Sementara mereka berkumpul di sekeliling takhta putih yang agung itu, kegembiraan yang tak terkatakan akan memenuhi hati mereka, pada waktu mereka memandang orang-orang yang telah mereka menangkan bagi Kristus, dan melihat bahwa seseorang telah memenangkan yang lain, dan juga masih yang lain lagi, semuanya dibawa ke pelabuhan yang tenang. Di sana mereka meletakkan mahkota mereka di kaki Yesus, dan memuji Dia selama-lamanya.
Sementara umat yang sudah ditebus disambut ke dalam kota Allah, berkumandanglah di udara sorak pujian. Dua Adam sudah hampir bertemu. Anak Allah berdiri dengan mengedangkan tangan untuk menerima bapa umat manusia, — makhluk yang diciptakan-Nya, yang telah berdosa terhadap Pencipta-Nya, dan yang dosanya telah memberikan tanda-tanda penyaliban di tubuh Juru Selamat. Pada waktu Adam melihat dengan jelas bekas-bekas paku yang kejam itu, ia tidak merebahkan dirinya di pangkuan Tuhan-Nya, tetapi dalam kerendahan menjatuhkan dirinya di kaki-Nya sambil berseru, “Layaklah Anak Domba yang tersembelih itu!” Dengan lembut Juru Selamat mengangkat dia berdiri, dan menyuruhnya untuk melihat sekali lagi rumah taman Firdaus, dari mana ia telah lama terbuang.
Setelah ia diusir dari taman Firdaus, kehidupan Adam di dunia ini telah dipenuhi dengan kesedihan. Setiap daun yang mati, setiap korban persembahan, setiap kutukan pada wajah alam yang indah, setiap noda pada kemurnian manusia, semuanya mengingatkan dosa-dosanya. Sangat mengerikan penderitaan penyesalan itu pada waktu ia melihat kejahatan merajalela, dan dalam jawaban kepada amaran-amaran-Nya, menghadapi teguran-teguran yang dilemparkan kepadanya sebagai penyebab dosa. Dengan kesabaran dan kerendahan hati ia menanggung hukuman pelanggaran hampir seribu tahun lamanya. Dengan setia ia menyesali dosa-dosanya dan berharap kepada jasa-jasa Juru Selamat yang dijanjikan, dan ia mati di dalam pengharapan akan suatu kebangkitan. Anak Allah menebus kegagalan dan kejatuhan manusia, dan sekarang, melalui pekerjaan pendamaian, Adam dikembalikan kepada kedudukannya yang semula.
Dengan diliputi sukacita ia memandang pepohonan yang dahulu pernah menjadi kesenangannya, — pohon-pohon yang buahnya dikumpulkannya sendiri pada waktu ia masih belum berdosa dan masih dalam kesukaan. Ia melihat pokok anggur yang telah dirawatnya sendiri dengan tangannya sendiri, dan bunga-bunga yang pada suatu waktu ia senang memeliharanya. Pikirannya menangkap realitas pemandangan itu. Ia mengerti bahwa sesungguhnya inilah Eden (Firdaus) yang telah dipulihkan, sekarang lebih indah daripada waktu ia dihalau dari dalamnya. Juru Selamat menuntunnya ke pohon kehidupan, dan memetik buahnya yang mulia, lalu menawarkannya kepada Adam untuk dimakan. Ia melihat ke sekelilingnya, dan melihat rombongan besar keluarganya yang telah ditebus, berdiri di Firdaus Allah. Kemudian ia meletakkan mahkotanya di kaki Yesus, dan merebahkan dirinya ke dada-Nya dan memeluk Penebus itu. Ia memetik kecapi emas dan kubah-kubah Surga menggemakan naynyian kemenangan, “Layaklah, layaklah Anak Domba yang tersembelih, namun hidup kembali!” Keluarga Adam menyanyikan nyanyian mereka sambil meletakkan mahkota mereka di kaki Juru Selamat dan tunduk di hadapan-Nya dengan pujian.
Pertemuan ini disaksikan oleh malaikat-malaikat yang menangis pada waktu kejatuhan Adam, dan bersukacita pada waktu Yesus, sesudah kebangkitan-Nya naik ke Surga, telah membuka kuburan bagi semua yang akan percaya kepada nama-Nya. Sekarang mereka melihat pekerjaan penebusan itu diwujudkan, dan mereka menyatukan suara dalam naynyian pujian.
Di atas laut kristal yang di depan takhta itu, laut kaca yang bening itu seakan-akan bercampur dengan api — begitu berkilau-kilau dengan kemuliaan Allah — berhimpunlah rombongan yang “telah mengalahkan binatang itu dan patungnya dan bilangan namanya.” (Wah. 15:2). Mereka berdiri bersama Anak Domba di Bukit Sion memegang “kecapi Allah” bersama 144,000 orang yang ditebus dari antara manusia. Dan kemudian terdengarlah, bagaikan desau air bah, dan bagaikan deru guruh yang dahsyat, “bunyi pemain-pemain kecapi yang memetik kecapinya.” (Wah. 15:1-2). Dan mereka menyanyikan “nyanyian yang baru” di hadapan takhta itu, suatu nyanyian yang tak seorangpun dapat mempelajarinya selain dari yang 144,000 orang itu. Nyanyian itu ialah nyanyian Musa dan Anak Domba, — suatu nyanyian kelepasan. Tak seorangpun, kecuali yang 144,000 orang itu, dapat mempelajari nyanyian itu, karena naynyian itu adalah nyanyian pengalaman mereka — suatu pengalaman yang tidak pernah dialami oleh rombongan lain. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti Anak Domba itu ke mana saja Ia pergi. “Mereka ini, setelah diubahkan dari dunia ini, dari antara yang hidup, dianggap sebagai “korban-korban sulung bagi Allah dan bagi Anak Domba itu.” (Wah. 14:4). “Mereka ini adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan besar” (Wah. 7:14), mereka telah melewati masa kesesakan seperti yang belum pernah terjadi sejak adanya suatu bangsa. Mereka telah menanggung penderitaan masa kesesakan Yakub. Mereka telah berdiri tanpa pengantara selama pelaksanaan terakhir penghakiman Allah. Tetapi mereka telah dilepaskan, karena telah “mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba.” “Di dalam mulut mereka tidak terdapat dusta, mereka tidak bercela” di hadapan Allah. “Karena mereka berdiri di hadapan takhta Allah dan melayani Dia siang dan malam di Bait Suci-Nya. Dan Ia yang duduk di atas takhta itu akan membentangkan kemah-Nya di atas mereka.” (Wah. 7:14-15). Mereka telah melihat dunia ini dilanda kelaparan dan bala sampar, matahari berkuasa menghanguskan manusia dengan panasnya yang hebat, dan mereka sendiri telah menanggung penderitaan, kelaparan dan dahaga. Akan tetapi “mereka tidak akan menderita lapar dan dahaga lagi, dan matahari atau panas terik tidak akan menimpa mereka lagi. Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka.” (Wah. 7:16-17).
Dalam segala zaman umat pilihan Juru Selamat telah dididik dan didisiplin di sekolah pencobaan. Mereka berjalan dalam jalan-jalan sempit di dunia ini. Mereka dimurnikan di dalam dapur api penderitaan. Demi Yeus mereka menanggung perlawanan, kebencian dan fitnahan. Mereka mengikuti Dia melalui pertentangan yang menyakitkan. Mereka menanggung penyangkalan diri dan mengalami kekecewaan pahit. Dari pengalaman mereka yang menyakitkan, mereka mengetahui bahayanya dosa, kuasanya, jahatnya, kutuknya, dan mereka memandangnya dengan kebencian. Suatu kesadaran akan pengorbanan yang tak terhingga yang dilakukan untuk menyembuhkan akibat-akibat dosa itu membuat mereka merendahkan hatinya dalam pandangan mereka sendiri, dan hati mereka dipenuhi dengan rasa syukur dan pujian. Mereka yang tidak pernah jatuh dalam dosa tidak bisa mengerti dan menghargainya. Mereka mengasihi dengan limpah sebab mereka telah diampuni dengan limpah. Oleh karena telah turut mengambil bahagian dalam penderitaan Kristus, mereka telah dilayakkan untuk turut ambil bagian bersama Dia dalam kemuliaan-Nya.
Para pewaris Allah telah datang dari rumah-rumah bertingkat, dari gubuk-gubuk, dari penjara-penjara bawah tanah, dari tiang-tiang penggantungan, dari gunung-gunung, dari padang-padang gurun, dari lobang-lobang di tanah, dari gua-gua di tepi laut. Di atas dunia ini mereka menderita “kekurangan, penderitaan dan siksaan.” Berjuta-juta memasuki liang kubur dengan kehinaan, oleh karena mereka tetap teguh menolak menyerah kepada penipuan Setan. Mereka di vonis sebagai penjahat-penjahat yang paling keji oleh pengadilan-pengadilan manusia. Tetapi sekarang “Allah sendirilah Hakim.” (Maz. 50:6). Sekarang keputusan-keputusan dunia menjadi terbalik. “Dan aib umat-Nya akan dijauhkan-Nya dari seluruh bumi.” (Yes. 25:8). “Orang akan menyebutkan mereka ‘bangsa kudus,’ ‘orang-orang tebusan Tuhan.'” Ia telah menentukan “untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, naynyian puji-pujian ganti semangat yang pudar.” (Yes. 62:12; 61:3). Mereka tidak lagi lemah, menderita, tercerai berai dan tertindas. Sejak saat ini mereka akan selalu bersama Tuhan. Mereka berdiri di hadapan takhta mengenakan jubah yang lebih mewah daripada yang pernah dipakai orang yang paling terhormat di dunia ini. Mereka dimahkotai dengan hiasan yang lebih mulia dari yang pernah diletakkan di atas kepala raja-raja dunia. Hari-hari yang menyakitkan dan tangisan sudah berakhir untuk selama-lamanya. Raja kemuliaan telah menyapu air mata dari semua wajah, dan setiap penyebab dukacita telah dibuangkan. Di tengah-tengah lambaian daun-daun palem mereka mengumandangkan nyanyian pujian yang jelas, merdu dan harmonis. Setiap suara menyanyikan lagu, hingga lagu itu memenuhi seluruh kubah Surga, “Keselamatan bagi Allah kita yang duduk di atas takhta, dan bagi Anak Domba.” Dan seluruh penghuni Surga menyambut dengan kata, “Amin! Puji-pujian dan kemuliaan dan hikmat dan syukur, dan hormat dan kekuasaan dan kekuatan bagi Allah kita sampai selama-lamanya! Amin!” (Wah. 7:10,12).
Dalam kehidupan ini kita baru saja mulai mengerti tema ajaib penebusan. Dengan pengertian yang terbatas kita boleh memikirkan dengan sangat bersungguh-sungguh kehinaan dan kemuliaan kehidupan dan kematian, keadilan dan belas kasihan, yang bertemu di kayu salib. Namun walaupun kita menggunakan kuasa pikiran kita sekuat tenaga, kita akan gagal untuk menangkap arti sepenuhnya. Panjang dan lebarnya, dalam dan tingginya kasih yang menebus itu hanya dimengerti dengan samar-samar. Rencana penebusan tidak akan dimengerti sepenuhnya, meskipun pada waktu umat yang ditebus itu melihat sebagaimana mereka dilihat dan mengetahui sebagaimana mereka diketahui, tetapi sepanjang zaman kekekalan kebenaran baru akan terus dibukakan terus menerus kepada pikiran yang penuh dengan kekaguman dan kesukaan. Meskipun kedukaan, kesakitan dan pencobaan dunia telah berakhir, dan penyebabnya telah dibuangkan, umat Allah akan selalu mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai harga keselamatan mereka.
Salib Kristus akan menjadi ilmu pengetahuan dan nyanyian umat tebusan selama-lamanya. Dalam Kristus yang dimuliakan itu mereka akan melihat Kristus yang disalibkan. Tidak akan pernah dilupakan bahwa Ia yang berkuasa menciptakan dan menopang dunia-dunia yang tak terhitung banyaknya di seantero jagad raya ini, Allah Yang Mahakasih, Penguasa Surga, Ia yang dipuja oleh kerub dan serafim yang bersinar dengan sukacita, — merendahkan diri-Nya untuk mengangkat manusia yang jatuh, yang menanggung kejahatan dan kehinaan dosa, dan wajah Bapa-Nya yang disembunyikan, hingga kutukan dunia yang hilang ini meremukkan hati-Nya, dan menyerahkan hidup-Nya mati di salib Golgota. Bahwa Pencipta segala dunia, Penentu semua tujuan, harus mengesampingkan kemuliaan-Nya, dan merendahkan diri-Nya kepada manusia, akan selalu membangkitkan keheranan dan kekaguman alam semesta. Sementara bangsa-bangsa yang diselamatkan memandang Penebus mereka, dan memandang kemuliaan Bapa yang bersinar di wajah-Nya, sementara mereka memandang takhta-Nya yang dari selama-lamanya sampai selama-lamanya, dan mengetahui bahwa kerajaan-Nya tidak akan pernah berakhir, mereka mengangkat suaranya dalam naynyian kegembiraan, “Layaklah, layaklah Anak Domba yang tersembelih itu, yang telah menebus kita kepada Allah oleh darah-Nya sendiri yang paling mulia!”
Misteri salib menjelaskan semua misteri lain. Dalam terang yang memancar dari Golgota, sifat-sifat Allah yang telah memenuhi kita dengan ketakutan dan kedahsyatan tampak indah dan menarik. Belas kasihan, kelemah-lembutan dan kasih orangtua tampaknya dipadukan dengan kesucian, keadilan dan kuasa. Sementara kita memandang keagungan takhta-Nya yang mulia dan ditinggikan, kita melihat tabiat-Nya dalam manifestasi yang berkemurahan, dan mengerti, seperti belum pernah sebelumnya, makna dari panggilan, “Bapa kami.”
Akan tampak bahwa Ia yang tidak terbatas dalam hikmat, tidak merancang rencana lain bagi keselamatan kita kecuali pengorbanan Anak-Nya. Imbalan pengorbanan ini adalah kesukaan yang memenuhi dunia ini dengan umat tebusan yang kudus, bahagia dan baka. Akibat dari pertentangan Juru Selamat dengan kuasa-kuasa kegelapan adalah sukacita bagi umat tebusan, yang akan menyumbang kepada kemuliaan Allah selama-lamanya. Dan demikianlah nilai jiwa yang membawa kepuasan bagi Allah dengan harga yang dibayar. Dan Kristus sendiri merasa puas dengan memandang buah-buah pengorbanan-Nya yang besar.