PEMBAHARUAN (REFORMASI) DI PERANCIS (1)

Guillotine Copy

[AkhirZaman.org] Protes Spires dan Pengakuan di Augsburg, yang menandai kemenangan Pembaharuan di Jerman, diikuti oleh pertentangan dan kegelapan selama bertahun-tahun lamanya. Dilemahkan oleh pertentangan diantara para pendukungnya dan diserang oleh musuh-musuhnya yang kuat, Protestantisme tampaknya menuju kehancurannya. Ribuan orang memeteraikan kesaksiannya dengan darahnya. Perang saudarapun pecah. Kepentingan Protestan dikhianati oleh seorang pengikutnya yang terkemuka. Para pangeran pembaharuan yang terbaik jatuh ke tangan kaisar, dan diseret sebagai tawanan dari satu kota ke kota lain. Tetapi di saat kemenangannya yang nyata, kaisar dipukul kalah. Ia melihat mangsanya dirampas dari genggamannya, dan pada akhirnya ia terpaksa memberikan toleransi kepada doktrin-doktrin, yang telah menjadi cita-cita hidupnya untuk menghancurkannya. Ia telah mempertaruhkan kerajaannya, hartanya dan hidupnya sendiri, untuk menumpas bida’ah. Sekarang ia melihat bala tenteranya habis percuma dalam peperangan, hartanya ludas, daerah-daerah kerajaannya terancam pemberontakan, sementara di mana-mana iman yang dengan sia-sia ditekannya semakin meluas. Charles V telah berperang melawan Yang Mahakuasa. Allah telah bersabda, “Jadilah terang,” tetapi kaisar telah berusaha mempertahankan kegelapan itu. Segala maksudnya telah gagal. Dan dalam usia yang masih muda, dilelahkan oleh perjuangan yang lama, ia turun dari takhtanya dan mengasingkan diri di suatu biara. 

Di Swis, sebagaimana juga di Jerman, hari-hari kegelapan menyelubungi Pembaharuan. Sementara banyak daerah menerima iman yang dibaharui, yang lain secara membabi buta masih tetap bergantung kepada ajaran Roma. Penganiayaan terhadap mereka yang ingin menerima kebenaran, akhirnya menimbulkan perang saudara. Zwingle, dan banyak yang lain yang telah bersatu dengan dia dalam pembaharuan, terlibat dalam peristiwa berdarah di Cappel. Oecolampadius, yang merasa terpukul oleh peristiwa yang mengerikan ini, meninggal dunia tidak lama kemudian. Roma menang, dan di berbagai tempat kelihatannya hampir direbut kembali apa yang telah hilang. Akan tetapi Allah tidak melupakan pekerjaan-Nya dan umat-Nya. Tangan-Nya akan melepaskan mereka. Di negeri-negri lain Ia telah mengangkat pekerja-pekerja untuk melanjutkan pekerjaan Pembaharuan.

Di Perancis, sebelum nama Luther didengar sebagai seorang Pembaharu, fajar telah mulai menyingsing. Salah seorang yang pertama menerima terang itu ialah Lefevre, seorang yang sudah tua. Ia seorang yang berpendidikan luas, seorang guru besar di Universitas Paris, dan seorang pengikut kepausan yang sungguh-sungguh dan bersemangat. Dalam penelitiannya terhadap literatur kuno, perhatiannya tertuju kepada Alkitab, dan ia memperkenalkan ilmunya itu kepada para mahasiswanya.

Lefevre adalah seorang pemuja orang-orang saleh yang bersemangat, dan ia bertanggungjawab untuk mempersiapkan sejarah para orang-orang saleh dan para syuhada (martir) sebagaimana terdapat dalam cerita-cerita kuno gereja. Pekerjaan ini melibatkan usaha besar; tetapi sebenarnya ia telah membuat kemajuan yang berarti, pada waktu ia berpikir mungkin ia boleh mendapat bantuan yang berarti dari Alkitab, lalu ia mulai mempelajarinya dengan tujuan ini. Benar, di sini ia menemukan orang-orang saleh, tetapi tidak seperti yang digambarkan oleh kalender Romawi. Pikirannya dibanjiri oleh terang ilahi. Dalam kekagumannya dan kemuakannya ia meninggalkan tugasnya itu, dan membaktikan dirinya kepada firman Allah. Kebenaran-kebenaran yang berharga yang ditemukannya di sana segera diajarkannya.

Pada tahun 1512 sebelum Luther maupun Zwingle memulai pekerjaan pembaharuan, Lefevre menulis, “Allahlah yang mengaruniakan kepada kita, oleh iman, kebenaran yang hanya oleh karena karunia, membenarkan kita bagi hidup kekal.” — Wylie, b. 13, ch. 1. Berpegang pada rahasia penebusan, ia berkata, “Oh, betapa tak terkatakan besarnya penggantian itu. Yang Tak Berdosa menanggung hukuman, dan ia yang bersalah dibebaskan. Yang Diberkati menanggung kutuk, dan yang terkutuk dibawa kepada berkat. Kehidupan itu mati, dan yang mati itu dihidupkan. Yang Mulia masuk ke dalam kegelapan, dan dia yang tidak tahu apa-apa selain bermuka kebingungan, disalut dengan kemuliaan.” — D’Aubigne, b. 12, ch. 2 (London ed.).

Dan sementara ia mengajarkan bahwa kemuliaan keselamatan semata-mata adalah milik Allah, ia juga menyatakan bahwa tugas penurutan adalah milik manusia. “Jika engkau adalah anggota gereja Kristus,” katanya, “engkau adalah anggota tubuh-Nya. Jika engkau adalah anggota tubuh-Nya, maka engkau penuh dengan alamiah ilahi . . . . Oh, jikalau sekiranya orang-orang mengerti kesempatan ini, betapa murninya, sucinya dan kudusnya mereka akan hidup, dan betapa mereka dapat digabungkan bersama, jika dibandingkan dengan kemuliaan yang di dalam mereka, — kemuliaan yang mata daging tidak dapat lihat, — akan menganggap semua kemuliaan dunia yang tidak berarti ini.” — Idem, b. 12, ch. 2 (London ed.).

Ada beberapa mahasiswa Lefevre yang mendengarkan perkataannya dengan sungguh-sungguh, dan terus menyatakan kebenaran, lama sesudah suara gurunya itu didiamkan. Salah seorang di antaranya ialah William Farel. Ia adalah anak dari orang tua yang saleh dan dididik menerima, dengan iman yang sungguh-sungguh, ajaran-ajaran gereja. Sehingga ia boleh berkata mengenai dirinya seperti Rasul Paulus, “Aku telah hidup sebagai seorang Farisi menurut mazhab yang paling keras dalam agama kita.” (Kisah 26:5). Sebagai seorang pengikut Roma yang taat, dengan semangat yang berapi-api ia berusaha membinasakan semua mereka yang berani menentang gereja. “Saya akan menggertakkan gigiku bagaikan serigala yang ganas,” katanya kemudian waktu berbicara mengenai dirinya waktu itu, “bilamana saya mendengar seseorang berbicara menentang paus.” — Wylie, b. 13, ch. 2. Ia tidak mengenal lelah memuja para orang saleh. Bersama-sama dengan Lefevre mengunjungi gereja-gereja di Paris, beribadat di mezbah-mezbah dan memuja dengan persembahan-persembahan di tempat-tempat pemujaan kudus. Tetapi semuanya ini tidak dapat membawa kedamaian kepada jiwanya. Perasaan berdosa terus melekat pada dirinya, yang tidak dapat dihapuskan oleh semua tindakan pemujaan yang dilakukannya. Ia mendengarkan kata-kata Pembaharu sebagai suara dari Surga, “Keselamatan adalah kasih karunia Allah.” “Yang kudus dihukum, dan penjahat dibebaskan.” “Hanya salib Kristus saja yang sanggup membuka pintu gerbang Surga, dan menutup pintu gerbang neraka.” — Wylie, b. 13, ch. 2.

Farel menerima kebenaran dengan sukacita. Oleh pertobatan seperti yang dialami oleh Rasul Paulus, ia beralih dari perhambaan tradisi kepada kemerdekaan anak-anak Allah. “Gantinya memiliki hati seorang pembunuh bagaikan serigala yang kelaparan,” katanya, “ia menjadi seperti seekor anak domba yang lembut dan tak berbahaya, karena hatinya seluruhnya telah ditarik dari paus dan dberikan kepada Yeusu Kristus.” — D’Aubigne, b. 12, ch. 3.

Sementara Lefevre terus menyebarkan terang itu kepada para mahasiswanya, Farel, seorang yang bersemangat dalam pekerjaan Yesus, sebagaimana dahulu pada paus, pergi memberitakan kebenaran kepada umum. Seorang pejabat gereja, uskup dari Meaux, bergabung dengan mereka tidak lama kemudian. Guru-guru lain yang tergolong tinggi dalam kemampuan dan pendidikan, bergabung juga untuk memberitakan Injil. Dan mereka memenangkan banyak pengikut dari semua golongan, dari kalangan pekerja dan petani sampai ke istana raja. Saudara perempuan Francis I, yang kemudian menjadi raja, menerima iman yang dibaharui itu. Raja sendiri dan ibu suri, nampaknya untuk sementara menanggapinya dengan baik, dan dengan sangat mengharap para Pembaharu itu memandang ke depan di saat mana Perancis dimenangkan kepada Injil.

Tetapi harapan-harapan mereka belum terwujud. Pencobaan dan penganiayaan menanti murid-murid Kristus. Namun hal ini diselubungi dari pandangan mereka. Satu waktu kedamaian menyelinginya agar mereka boleh mendapat kekuatan untuk menghadapi bencana, dan Pembaharuan memperoleh kemajuan pesat. Uskup Meaux bekerja dengan bersemangat di wilayah keuskupannya untuk mengajar para imam maupun orang-orang biasa atau umum. Imam-imam yang tidak mau perduli atau bodoh dan tidak bermoral dipindahkan sejauh mungkin, dan diganti dengan orang-orang terpelajar dan yang saleh. Uskup sangat menginginkan agar orang-orangnya mempelajari sendiri firman Allah bagi mereka sendiri, dan hal ini segera tercapai. Lefevre merasa bertanggungjawab untuk menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru. Dan pada waktu Alkitab bahasa Jerman terjemahan Luther keluar dari percetakan di Wittenberg, Alkitab Perjanjian Baru bahasa Perancis telah diterbitkan di Meaux. Uskup mengerahkan tenaga dan biaya untuk menyebarkan buku itu di gereja-gerejanya, sehingga tidak lama para petani Meaux sudah mempunyai Alkitab Perjanjian Baru.

Bagaikan musafir yang kehausan menyambut dengan sukacita mata air hidup, demikianlah jiwa-jiwa ini menerima pekabaran dari Surga. Para pekerja di ladang, para pengrajin di ruang kerjanya bergembira dalam kerjanya setiap hari sambil membicarakan kebenaran berharga Alkitab. Pada malam hari, mereka tidak lagi pergi ke bar-bar atau tempat-tempat minum-minum lainnya. Mereka berkumpul di rumah-rumah untuk membaca firman Tuhan, dan berdoa dan memuji Tuhan bersama-sama. Suatu perubahan besar segera terlihat di masyarakat. Walaupun mereka tergolong kelompok paling sederhana, yang kurang berpendidikan dan petani yang bekerja keras, kuasa kasih karunia Allah yang membaharui dan yang mengangkat kelihatan dalam kehidupan mereka. Mereka berdiri sebagai saksi yang rendah hati, pengasih, dan kudus terhadap apa yang akan diberikan Injil kepada mereka yang menerimanya dengan sungguh-sungguh.

Terang kebenaran yang dinyalakan di Meaux memancarkan sinarnya sampai ke tempat yang jauh. Setiap hari bilangan orang yang bertobat terus bertambah. Kemarahan pejabat tinggi gereja pada satu saat dapat ditahan oleh raja, yang benci kepada kefanatikan sempit para biarawan. Tetapi akhirnya para pemimpin kepausan memperoleh kemenangan. Sekarang tiang gantungan sudah didirikan. Uskup Meaux dipaksa untuk memilih antara api dan penarikan kembali ajaran-ajarannya, lalu ia memilih jalan mudah. Tetapi walaupun pemimpin mereka sudah jatuh, para pengikutnya tetap teguh pada pendirian mereka. Banyak yang bersaksi demi kebenaran di tengah-tengah nyala api yang berkobar-kobar. Dengan keberanian dan kesetiaan mereka di tiang gantungan, orang-orang Kristen yang rendah hati ini berbicara kepada ribuan orang, yang pada hari-hari damai tidak pernah mendengar kesaksian mereka.

Bukan hanya orang-orang sederhana dan miskin ini, yang di tengah-tengah penderitaan dan hinaan, berani bersaksi bagi Kristus. Di aula-aula besar dan di istana terdapat jiwa-jiwa yng berasal dari kalangan raja-raja yang menilai kebenaran mengatasi kekayan atau status kedudukan, atau bahkan kehidupan itu sendiri. Di balik baju perang kerajaan tersembunyi roh yang lebih agung dan lebih teguh dari pada jiwa yang ada di balik jubah dan topi uskup. Louis de Berquin adalah keturunan bangsawan. Ia adalah seorang satria istana pemberani yang menggunakan waktunya untuk belajar, bertingkah laku halus dan bermoral yang tak bercacad. Seorang penulis berkata, “Ia adalah seorang pengikut konstitusi kepausan, dan seorang pendengar setia khotbah-khotbah dan misa, menyempurnakan semua kebajikannya yang lalim dengan menahan faham Lutheran dengan kebencian khusus.” Tetapi seperti yang lain-lainnya, dengan tuntunan Allah ia telah dibawa kepada Alkitab. Ia merasa heran menemukan di sana bukan ajaran-ajaran Roma, tetapi ajaran-ajaran Luther.” — Wylie, b. 13, ch. 9. Sejak waktu itu ia membaktikan dirinya untuk kepentingan Injil.

“Sebagai seorang bangsawan Perancis yang paling terpelajar,” kecakapannya dan ketrampilannya, keberaniannya yang tiada terkekang dan keperkasaannya serta pengaruhnya di istana — karena ia kesukaan raja — menyebabkan ia dianggap banyak orang sebagai seorang yang akan menjadi Pembaharu di negerinya. Beza berkata, “Berqiun akan menjadi Luther kedua, kalau saja Francis I menjadi ‘elector’ kedua.” “Ia lebih buruk dari Luther,” kata para pengikut kepausan. — Idem, b. 13, ch. 9. Memang dia lebih ditakuti oleh para pengikut Roma di Perancis. Mereka memasukkannya ke penjara sebagai seorang bida’ah, seorang penyesat, tetapi ia dibebaskan oleh raja. Perjuangan berlanjut selama bertahun-tahun. Francis, yang terombang-ambing antara Roma dan Pembaharuan, kadang-kadang menerima kadang-kadang mengekang semangat hebat para biarawan itu. Tiga kali Berquin dipenjarakan oleh penguasa kepausan, tetapi tiga kali pula ia dibebaskan oleh raja, yang mengagumi kecakapan dan keagungan tabiatnya, menolak mengorbankannya kepada kebencian pejabat gereja.

Telah berulang-ulang Berquin diamarkan mengenai bahaya yang mengancamnya di Perancis, dan mendesaknya untuk mengikuti jejak mereka yang mencari keamanan dipengasingan secara sukarela. Erasmus, seorang pemalu dan seorang oportunis, menulis kepada Berquin, “Mintalah supaya engkau dikirim ke luar negeri sebagai duta besar ke negara asing, pergi dan jelajahilah Jerman. Engkau mengenal Beda — ia adalah binatang buas raksasa yang berkepala seribu, yang menyemburkan bisa ke segala penjuru. Musuh-musuhmu disebut Legion. Seandainya pekerjanmu lebih baik dari pekerjaan Yesus Kristuspun, mereka tidak akan membiarkanmu sampai mereka benar-benar membinasakanmu. Janganlah engkau terlalu percaya kepada perlindungan raja. Dalam segala keadaan janganlah berkompromi dengan saya dalam kemampuan teologia.” — Wylie, b. 13, ch. 9.

Akan tetapi, sementara bahaya-bahaya semakin memuncak, semangat Berquinpun semakin kuat. Dengan memanfaatkan nasihat Erasmus yang menyangkut politik dan penggunaan waktu, ia berketetapan untuk lebih berani dalam usahanya. Ia bukan saja berdiri mempertahankan kebenaran, tetapi ia juga akan menyerang kesalahan. Tuduhan bida’ah yang dituduhkan pengikut Romanisme kepadanya akan balik dituduhkannya kepada mereka. Lawan-lawannya yang paling giat dan sengit ialah doktor dan para biarawan dari departemen teologia Universitas Paris yang besar itu, salah satu pemegang kekuasaan tertinggi gereja baik di kota maupun di seluruh negara itu. Dari tulisan-tulisan para doktor ini, Berquin menarik 12 dalil yang dinyatakannya secara umum, “bertentangan dengan Alkitab, dan menyimpang atau bida’ah.” Dan ia menghimbau raja untuk bertindak sebagai hakim dalam pertikaian itu.

Raja, dengan tidak bosan-bosannya mempertentangkan penguasa dengan penantangnya, merasa gembira mempunyai kesempatan untuk merendahkan keangkuhan para biarawan yang sombong itu. Ia meminta agar para pengikut Romanisme mempertahankan kepentingan mereka berdasarkan Alkitab. Senjata ini, sebagaimana mereka tahu, hanya sedikit bisa membantu. Penjara, penganiayaan, dan tiang gantungan adalah senjata-senjata yang mereka tahu cara menggunakannya. Sekarang keadaan sudah berbalik. Mereka melihat diri mereka hampir jatuh ke dalam lobang yang sebenarnya mereka harapkan untuk Berquin. Dalam keheranan, mereka mencari jalan di sekitar mereka untuk meloloskan diri.

“Tepat pada waktu itu patung Anak Dara (Bunda Maria) yang berada di sudut salah satu jalan, dirusak orang.” Ada kegemparan di kota itu. Orang-orang berkerumun ke tempat itu dengan sedih bercampur marah. Raja juga turut prihatin. Ini adalah salah satu keuntungan yang dapat dibalikkan oleh para biarawan menjadi milik mereka, dan dengan cepat mereka memanfaatkan kejadian ini. “Ini adalah buah-buah dari doktrin-doktrin Berquin,” teriak mereka. “Semua akan diruntuhkan oleh komplotan Lutheran — agama, undang-undang, dan bahkan takhta sendiri.” — Idem, b. 13, ch. 9.

Sekali lagi Berquin ditahan. Raja mengundurkan diri dari Paris, dan dengan demikian para biarawan bebas melakukan kemauan mereka. Pembaharu itu diadili dan dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati dilaksanakan hari itu juga, supaya Francis tidak sempat menyelamatkannya. Pada tengah hari Berquin dibawa ke tempat pelaksanaan hukuman mati. Orang ramai sekali berkumpul menyaksikan kejadian itu. Dan banyak yang merasa heran dan sedih melihat bahwa yang menjadi korban adalah seorang dari keluarga bangsawan Perancis yang terbaik dan paling pemberani. Keheranan, kemarahan, makian dan kebencian serta dendam kesumat meliputi wajah orang ramai. Tetapi pada satu wajah tidak ada kemurungan. Pikiran sang martir atau syuhada itu jauh dari suasana kemurungan dan kekacauan. Ia menyadari hanya hadirat Tuhannya

Kereta narapidana yang ditumpanginya, wajah-wajah seram para penganiaya, kematian yang mengerikan yang akan dijalaninya, — semua ini tidak dihiraukannya. Ia yang hidup dan yang telah mati, dan yang telah hidup kembali untuk selama-lamanya, dan yang mempunyai anak kunci maut dan neraka, ada disampingnya. Wajah Berquin disinari dengan terang dan kedamaian Surga. Ia mengenakan sendiri pakaian yang mewah, memakai “satu jubah dari beludru, baju kuno yang terbuat dari satin dan sutra, dan celana ketat yang berwarna keemasan.” — D’Aubigne, “History of the Reformation in the Time of Calvin,” b. 2, ch. 16. Ia sudah mau menyaksikan imannya dihadirat Raja segala raja dan alam semesta yang menyaksikannya, dan tidak ada tanda dukacita yang menodai sukacitanya.

Ketika arak-arakan bergerak perlahan melalui jalan-jalan yang sudah dipadati orang, orang-orang merasa heran melihat pembawaannya yang penuh kedamaian yang tidak terselubung dan sukacita kemenangan. Kata mereka, “Ia seperti seseorang yang duduk di sebuah kaabah dan merenungkan perkara-perkara suci.” — Wylie, b. 13, ch. 9.

Dari tiang gantungan, Berquin berusaha menucapkan beberapa perkataan kepada orang banyak. Tetapi para biarawan, yang takut akan akibatnya, mulai berteriak, dan para prajurit membentur-benturkan senjata mereka sehingga suara berisik itu menghilangkan suara sang syuhada. Demikianlah pada tahun 1529 penguasa negara dan gereja kota Paris yang sudah beradab, “telah memberikan contoh yang paling buruk kepada penduduk tahun 1793, yang mendiamkan kata-kata suci orang yang sedang berada di atas panggung hukuman mati.” — Idem, b. 13, ch. 9.

Berquin dicekik dengan tali, dan tubuhnya hangus dimakan api. Berita kematiannya menimbulkan dukacita pada sahabat-sahabat Pembaharuan di seluruh Perancis. Tetapi teladannya tidak hilang. “Kita juga siap,” kata saksi-saksi kebenaran itu, “menghadapi kematian dengan sukacita, menunjukkan pandangan kita pada kehidupan yang akan datang.” — D’Aubigne, “History of the Reformation in the Time of Calvin,” b. 2, ch. 16.

Selama penganiayaan di Meaux, guru-guru iman yang diperbaharui itu tidak diizinkan untuk berkhotbah, dan mereka pergi ke ladang-ladang yang lain. Lefevre kemudian pergi ke Jerman. Dan Farel kembali ke kota asalnya di bagian Timur Perancis, untuk menyebarkan terang di tempat masa kanak-kanaknya. Telah diterima kabar mengenai apa yang terjadi di Meaux, dan kebenaran yang diajarkannya dengan tidak mengenal rasa takut, mendapat tempat di dalam hati para pendengar. Segera para penguasa bengkit untuk membungkamkannya, dan ia telah menghilang dari kota. Walaupun ia tidak bisa lagi bekerja dengan terang-terangan, ia menjelajahi lembah dan desa-desa mengajar di rumah-rumah tinggal pribadi, dan di padang-padang terpencil, dan berlindung di hutan-hutan dan di celah-celah bukit batu yang telah sering dikunjunginya semasa kecilnya. Allah mempersiapkannya bagi pencobaan yang lebih besar. “Salib-salib, penganiayaan-penganiayaan dan persekongkolan Setan, yang telah lebih dahulu diamarkan kepadaku, tidak berkurang,” katanya, “bahkan lebih berat dari pada yang dapat saya tanggung. Tetapi Allah adalah Bapaku, Ia telah memberikan dan akan terus memberikan kekuatan yang saya perlukan.” — D’Aubigne, b. 12, ch. 9.
Sebagaimana pada zaman rasul-rasul, penganiayaan telah “menyebabkan kemajuan Injil.” ( Pilipi 1:12). Diusir dari Paris dan Meaux, “mereka yang tersebar itu menjelajahi seluruh negeri sambil memberitakan Injil.” (Kisah 8:4). Dan demikianlah terang itu memasuki beberapa propinsi-propinsi terpencil di Perancis.

Allah masih terus menyediakan pekerja-pekerja untuk meluaskan pekerjaannya. Di salah satu sekolah di Paris ada seorang pemuda pendiam dan yang penuh perhatian. Ia telah memperlihatkan kemampuan pikirannya dan kemurnian hidupnya, semangat intelektualnya dan pengabdian agamanya. Kecerdasannya yang menonjol telah membuatnya menjadi kebanggaan perguruan tinggi dimana ia kuliah, dan telah diperkirakan bahwa John Calvin akan menjadi salah seorang pembela gereja yang paling kuat dan disegani. Akan tetapi sinar terang ilahi menembusi tembok kependidikan dan ketakhyulan dimana Calvin berada. Ia mendengar ajaran atau doktrin baru dengan gentar, tanpa ragu-ragu bahwa para bida’ah itu pantas untuk dibakar. Namun tanpa disengaja ia telah berhadapan muka dengan muka dengan para bida’ah, dan terpaksa menguji kemampuan teologi Romanisme melawan ajaran Protestan.

Seorang keponakan Calvin, yang telah bergabung dengan para Pembaharu, berada di Paris. Dua orang berkeluarga ini sering bertemu, dan memperbincangkan hal-hal yang mengganggu Kekristenan. “Hanya ada dua agama di dunia ini,” kata Olivetan, orang Protestan itu. “Salah satu diantaranya ialah agama yang diciptakan oleh manusia, yang oleh manusia menyelamatkan dirinya melalui upacara-upacara dan perbuatan-perbuatan baik. Dan yang satu lagi ialah agama yang dinyatakan di dalam Alkitab, dan yang mengajar manusia untuk mencari keselamatan yang semata-mata adalah kasih karunia Allah yang diberikan dengan cuma-cuma.”

“Saya tidak memerlukan ajaran barumu itu,” seru Calvin, “apakah kamu pikir saya telah hidup dalam kesalahan selama hidup saya?” — Wylie, b. 13, ch. 7.

Tetapi pikiran telah timbul di benaknya yang tidak bisa dihilangkannya. Dalam kesendirian di kamarnya, ia merenungkan kata-kata keponakannya itu. Ia percaya dosa melekat kepadanya. Ia melihat dirinya tanpa perantara, dihadapan Hakim yang kudus dan adil. Pengantaraan orang-orang saleh, pekerjaan-pekerjaan baik, upacara-upacara gereja, semuanya tidak berkuasa untuk menghapuskan dosa. Ia tidak dapat melihat apa-apapun selain keputus-asaan abadi yang menyelubunginya. Sia-sia segala usaha para doktor gereja untuk menghilangkan kesusahannya. Pengakuan dosa, penyiksaan diri, semuanya adalah sia-sia. Tidak dapat memperdamaikan jiwa dengan Allah.

Sementara bergumul dalam kesia-sian ini, Calvin berkesempatan pergi ke sebuah alun-alun untuk menyaksikan pembakaran seorang bida’ah. Ia sangat kagum melihat ekspresi kedamaian yang memenuhi wajah syuhada itu. Di tengah-tengah penyiksaan kematian yang mengerikan dan hukuman gereja yang menakutkan itu, sang martir atau syuhada itu menyatakan satu iman dan keberanian, yang bagi mahasiswa muda itu sulit untuk membandingkan dengan keputus-asaan dan kegelapan dirinya sendiri, walaupun ia hidup dengan sangat patuh kepada gereja. Ia mengetahui para bida’ah itu mengalaskan iman mereka kepada Alkitab. Ia bertekad untuk mempelajari Alkitab, dan menemukan, jika mungkin, rahasia sukacita mereka.

Ia menemukan Kristus di dalam Alkitab. “O, Bapa,” serunya, “pengorbanan-Nya telah meredakan murka-Mu. Darah-Nya telah mencuci kekotoranku. Salib-Nya telah menanggung kutukku, dan kematian-Nya telah menebus aku. Kami telah membuat bagi kami kebodohan yang tidak berguna, tetapi Engkau telah menempatkan firman-Mu di hadapanku bagaikan obor, dan Engkau telah menjamah hatiku, agar aku boleh menganggap jasa-jasa lain sebagai kebencian selain jasa Yesus.” — Martyn, Vol. III, ch. 13.

Calvin telah dididik untuk menjadi seorang imam. Pada usia yang baru dua belas tahun ia telah ditugaskan sebagai gembala di jemaat kecil, dan kepalanya dicukur oleh uskup sesuai dengan peraturan gereja. Ia tidak ditahbiskan dan tidak memenuhi tugas-tugas seorang imam, tetapi ia menjadi anggota para rohaniawan, dan memegang jabatan ini serta menerima tunjangan sebagaimana mestinya.

Sekarang, merasa bahwa ia tidak akan pernah menjadi seorang imam, untuk sementara ia mempelajari ilmu hukum. Tetapi akhirnya ia meninggalkan niatnya ini dan membaktikan hidupnya kepada Injil. Tetapi ia tidak mau menjadi guru bagi masyarakat. Sebagai seorang pemalu, ia dibebani dengan rasa tanggungjawab jabatan yang berat. Dan oleh sebab itu ia ingin untuk terus belajar. Namun, atas permohonan sungguh-sungguh sahabat-sahabatnya, akhirnya ia setuju menjadi guru. “Mengherankan,” bahwa seorang yang asalnya hina harus ditinggikan kepada keagungan.” — Wylie, b. 13, ch. 9.

Ia memulai pekerjaannya dengan diam-diam, dan kata-katanya bagaikan embun pagi yang menyegarkan bumi. Ia telah meninggalkan Paris, dan sekarang ia berada di sebuah kota propinsi di bawah lindungan putri Margaret, yang karena mencintai Injil, memberikan perlindungan kepada murid-murid Injil itu. Calvin masih seorang pemuda dengan penampilan lemah lembut dan sederhana, tidak sombong. Pekerjaannya dimulainya di rumah orang-orang. Dengan dikelilingi oleh anggota keluarga di rumah itu ia membaca Alkitab, dan membukakan kebenaran keselamatan. Mereka yang mendengarkan pekabaran itu memberitahukan kabar baik itu kepada orang-orang lain. Tidak lama kemudian guru Injil itu melewati kota ke kota-kota kecil dan desa-desa. Ia dapat masuk ke kastel dan gubuk, dan maju terus meletakkan dasar gereja-gereja yang akan menghasilkan kesaksian-kesaksian tanpa gentar bagi kebenaran.

Beberapa bulan kemudian ia kembali ke Paris. Ada hasutan luar biasa di kalangan kaum terpelajar dan cendekiawan. Pelajaran bahasa-bahasa kuno telah menuntun mereka kepada Alkitab, dan banyak dari mereka yang hatinya belum dijamah kebenaran, ingin mendiskusikannya, dan bahkan ada yang menyerang pejabat-pejabat Romanisme. Calvin, walaupun seorang yang mahir berdebat mengenai pertikaian teologia, mempunyai misi lain yang hendak dicapai, yang lebih tinggi dari pada orang-orang pendidikan yang ribut itu. Pikiran orang-orang telah digerakkan, dan sekaranglah waktunya untuk membukakan kebenaran itu kepada mereka. Sementara ruangan-ruangan universitas dipenuhi dengan perdebatan masalah teologia, Calvin bekerja dari rumah ke rumah, membukakan Alkitab kepada orang-orang, dan berbicara kepada mereka dari hal Kristus dan penyaliban-Nya.

 

-Kemenangan Akhir

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *