(dalam konsili di Worms [Jerman] mahkamah mengkehendaki kehadiran Luther. Ada kemungkinan bahwa dirinya akan dibunuh oleh kepausan, fakta ini tidak membuat Luther takut datang ke pertemuan itu. Bahkan jika sungguh terjadi dia malah berkata “aku akan bergembira karena mengalahkan mereka oleh kematianku.” Bagaimana kisah selanjutnya dari Pembaharu Jerman mulai dari perjalanan menuju Worms dan setelah tiba di sana? Kita lanjutkan dalam artikel nubuatan kali ini).
[AkhirZaman.org] Luther tidak mengadakan perjalanan berbahaya itu sendirian. Selain pesuruh kerajaan, tiga orang sahabatnya yang paling karib memastikan untuk menyertai dia. Melanchthon sungguh-sungguh ingin pergi bersamanya. Hatinya begitu terjalin dengan hati Luther, dan ia rindu untuk mengikutinya, kalau perlu, ke dalam penjara atau kepada kematian. Tetapi permohonannya ditolak. Seandainya Luther harus binasa, maka harapan Pembaharuan harus terpusat kepada teman sekerjanya yang masih muda ini. Luther berkata pada waktu berpisah dari Melanchthon, “Jikalau seandainya saya tidak kembali, dan musuh-musuh saya membunuh saya, teruskanlah mengajar dan berdiri teguh dalam kebenaran. Bekerjalah sebagai penggantiku . . . . Jikalau engkau bertahan hidup terus, maka kematianku tidak berakibat apa-apa.” — D’Aubigne, ch. 7.
Para mahasiswa dan rakyat banyak yang menyaksikan keberangkatan Luther sangat terharu. Orang banyak yang hatinya telah dijamah oleh kabar Injil, mengucapkan selamat jalan dengan menangis. Demikianlah Pembaharu itu bersama teman-temannya berangkat dari Wittenberg.
Sepanjang perjalanan, mereka melihat bahwa pikiran orang-orang diganggu oleh firasat buruk. Di beberapa kota tidak ada penghormatan yang diberikan kepada mereka. Pada waktu mereka berhenti untuk beristirahat pada malam hari, seorang imam yang ramah menyatakan kekhawatirannya dengan menunjukkan kepada Luther gambar seorang pembaharu bangsa Italia yang telah mengalami mati syahid. Hari berikutnya mereka mengetahui bahwa tulisan-tulisan Luther telah diharamkan dan dilarang di Worms. Para pesuruh kekaisaran telah mengumumkan dekrit kaisar, dan menghimbau orang-orang untuk membawa karya-karya Luther yang dilarang itu kepada pengadilan. Pengawal khawatir akan keselamatan Luther pada konsili itu, dan berpikir mungkin keputusan Luther mulai goyah, bertanya kalau-kalau ia masih ingin terus pergi. Luther menjawab, “Meskipun dilarang di setiap kota, saya akan jalan terus.” — Idem, ch. 7.
Di Erfurt, Luther disambut dengan hormat. Ia dikelilingi oleh banyak orang pada waktu ia melewati jalan-jalan kota yang dulu sering ditelusurinya dengan membawa kantong sebagai peminta-minta. Ia mengunjungi kamar biara yang pernah ditempatinya, sambil merenungkan perjuangan melalui mana sinar terang yang sekarang membanjiri Jerman telah dicurahkan kepada jiwanya. Ia diminta untuk berkhotbah. Hal ini sebenarnya telah dilarang baginya, tetapi pengawalnya mengizinkannya, dengan demikian maka biarawan yang pernah bekerja keras di biara itu sekarang naik mimbar.
Kepada perkumpulan yang penuh sesak itu ia mengucapkan perkataan Kristus, “Damai sejahtera bagi kamu.” “Para ahli filsafat, para doktor dan para penulis,” katanya, “telah berusaha mengajarkan kepada manusia cara untuk memperoleh hidup yang kekal, dan mereka itu tidak berhasil. Sekarang saya memberitahukan kepadamu, . . . bahwa Allah telah membangkitkan seorang Manusia dari kematian, Tuhan kita Yesus Kristus, agar Dia membinasakan kematian, membasmi dosa sampai ke akar-akarnya, dan menutup pintu neraka. Inilah pekerjaan keselamatan, . . . Kristus telah memenangkannya! Inilah berita sukacita. Dan kita diselamatkan oleh usaha-Nya, dan bukan oleh usaha kita. . . . Tuhan kita Yesus Kristus berkata, ‘Damai sejahtera bagi kamu. Lihatlah tangan-Ku.’ Sebenarnya yang ia katakan ialah, Lihatlah, hai manusia! adalah Aku, Aku sendiri satu-satunya, yang telah menghapuskan dosamu dan yang telah menebus engkau. Dan sekarang engkau beroleh kedamaian, kata Tuhan.” — Idem, b. 7, ch. 7.
Ia melanjutkan, menunjukkan bahwa iman yang benar akan dinyatakan oleh kehidupan yang kudus. “Oleh karena Allah telah menyelamatkan kita, marilah kita mengatur pekerjaan kita sedemikian rupa agar berkenan kepada-Nya. Apakah engkau kaya? Barlah kekayaanmu digunakan untuk keperluan orang-orang miskin. Apakah engkau miskin? Biarlah pelayananmu berkenan kepada orang kaya. Jikalau usahamu hanya berguna bagimu saja, maka pelayanan yang kamu sangka diberikan kepada Allah adalah dusta.” — Idem, b. 7, ch. 7.
Orang-orang mendengar dengan terpesona. Roti hidup telah dibagi-bagikan kepada jiwa-jiwa yang lapar itu. Kristus ditinggikan dihadapan mereka mengatasi para paus, para utusan paus, para kaisar dan raja-raja. Luther tidak menyinggung kedudukannya yang penuh bahaya. Ia tidak berusaha membuat dirinya pusat perhatian atau simpati. Ia tidak memikirkan dirinya oleh karena Kristus. Ia berlindung dibelakang Orang dari Golgota itu, dan memikirkan hanya untuk menyatakan Yesus sebagai Penebus orang-orang berdosa.
Sementara Pembaharu meneruskan perjalanannya, di mana-mana ia disambut dengan perhatian besar. Orang-orang berkerumun mengelilinginya, dan suara-suara bersahabat mengamarkannya mengenai maksud para pengikut Roma. “Mereka akan membakarmu,” kata beberapa orang, “dan memperabukan tubuhmu seperti yang mereka lakukan pada John Huss.”
Luther menjawab, “Walaupun mereka menyalakan api sepanjang jalan dari Worms ke Wittenberg, dan nyala api itu sampai ke langit, saya akan menjalaninya dalam nama Tuhan. Saya akan tampil dihadapan mereka. Saya akan masuk kedalam rahang raksasa ini dan mematahkan gigi-giginya, dan sambil mengakui Tuhan Yesus Kristus.” — Idem, b. 7, ch. 7.
Kabar semakin mendekatnya ia ke kota Worms menimbulkan kegemparan. Sahabat-sahabatnya takut mengenai keselamatannya. Musuh-musuhnya takut keberhasilan mereka terganggu. Usaha keras dilakukan untuk mencegahnya memasuki kota. Atas dorongan para pengikut paus, ia telah diajak ke sebuah kastel seorang ksatria yang ramah, di mana dinyatakan bahwa semua masalah atau kesulitan dapat diatur secara bersahabat. Sahabat-sahabatnya berusaha menunjukkan ketakutan mereka dengan menjelaskan bahaya-bahaya yang mengancamnya. Tetapi semua usaha mereka gagal. Luther tanpa goyah, mengatakan, “Sekalipun ada Setan di Worms sebanyak genteng yang di atas rumah-rumah, saya tetap akan memasukinya.” — Idem, b. 7, ch. 7.
Sementara ia memasuki kota Worms, orang banyak berkerumun di pintu gerbang kota untuk menyambut dia. Begitu besar penyambutan itu, bahkan kaisar sendiripun belum pernah disambut seperti itu. Kegembiraan pada waktu itu begitu meluap-luap. Dan dari tengah-tengah orang banyak itu terdengar suara nyaring bernada sedih yang berulang-ulang meneriakkan nada ratapan penguburan, sebagai amaran kepada Luther mengenai nasib yang menantinya. “Allah akan menjadi pelindungku,” katanya, sementara ia turun dari keretanya.
Para pengikut paus sebelumnya tidak percaya kalau Luther berani untuk tampil di Worms, sehingga kedatangannya membuat mereka dipenuhi ketakutan. Kaisar dengan segera meminta para penasihatnya untuk mempertimbangkan apa yang harus dilakukan. Salah seorang imam, pengikut paus yang keras, menyatakan, “Sudah lama kita diminta pendapat mengenai masalah ini. Biarlah yang mulia melenyapkan orang ini dengan segera. Bukankah kaisar Sigismund yang menyebabkan John Huss mati dibakar? Kita tidak berkewajiban untuk memberi atau mematuhi surat jaminan keselamatan seorang bida’ah.” “Tidak,” kata kaisar, “kita harus mengingat janji kita.” — Idem, b. 7, ch. 8. Itulah sebabnya diputuskan bahwa Pembaharu itu harus didengar.
Seluruh penduduk kota itu ingin melihat orang luar biasa ini, dan banyaklah pengunjung yang memenuhi penginapan-pengipan. Luther belum sembuh benar dari penyakitnya. Ia sangat letih oleh karena perjalanan yang memakan waktu dua minggu penuh. Ia harus siap menghadapi kejadian-kejadian penting hari esok, dan ia memerlukan istirahat dan ketenangan. Akan tetapi begitu banyak orang yang rindu menemui dia, sehingga ia hanya sempat beristirahat beberapa jam saja. Para bangsawan, ksatria, imam dan penduduk kota berkerumun mengelilingi dia. Di antara mereka banyak para bangsawan yang begitu keras memohon kepada kaisar suatu pembaharuan penyalahgunaan dan penyelewengan gereja, dan yang, seperti kata Luther, “telah dibebaskan oleh Injil yang saya beritakan.” — Martyn, “Life and Times of Luther,” p. 393.
Musuh-musuh dan sahabat-sahabatnya datang untuk melihat biarawan pemberani itu. Ia menerima mereka dengan ketenangan yang tak tergoyahkan, menjawab semua pertanyaan dengan berwibawa dan bijaksana. Pembawaannya kokoh dan berani. Ekspresi wajahnya menunjukkan kebaikan hatinya, bahkan kesukacitaannya, meskipun pucat, kurus dan ditandai oleh kerja keras dan penyakit. Keseriusan dan kesungguh-sungguhan kata-katanya yang mendalam memberinya kuasa yang bahkan musuh-musuhnyapun tak mampu menahan seluruhnya. Baik kawan-kawan maupun lawan-lawannya sama-sama takjub. Sebagian yakin bahwa pengaruh ilahi menolongnya, sementara yang lain menyatakan, seperti pernyataan orang Farisi mengenai Kristus, “Ia dipengaruhi Setan.”
Pada hari berikutnya, Luther dipanggil untuk menghadiri Mahkamah. Seorang pejabat kekaisaran ditunjuk untuk membawanya ke ruang pemeriksaan. Setiap jalan telah dipenuhi penonton yang ingin melihat biarawan yang berani menentang kekuasaan paus ini.
Sementara ia hampir memasuki tempat ia menghadap para hakim, seorang jenderal tua, pahlawan dari banyak peperangan, berkata dengan ramah kepadanya, “Biarawan yang malang, biarawan yang malang, engkau akan berdiri lebih agung dari saya atau dari para kapten lain yang pernah memenangkan peperangan yang paling sengit sekalipun. Akan tetapi jika engkau merasa yakin perjuanganmu itu benar, majulah terus dalam nama Tuhan, dan janganlah takut sesuatupun. Allah tidak akan melupakanmu.” — D’Aubigne, b. 7, ch. 8.
Akhirnya Luther berdiri dihadapan konsili. Kaisar duduk diatas takhtanya. Ia dikelilingi oleh orang-orang yang terkenal dan terhormat di kekaisaran itu. Belum pernah seseorang menghadap sidang yang lebih mengagumkan dari ini di mana Martin Luther akan memberikan jawaban-jawaban mengenai imannya. “Pemunculan Luther di majelis ini sebenarnya adalah suatu pertanda kemenangannya atas kepausan. Paus telah menghukum orang ini, tetapi sekarang ia berdiri di depan pengadilan, yang oleh tindakan ini, menempatkan diri di atas paus. Paus telah memutuskan pengucilannya dan melarang masyarakat berhubungan dengan dia. Namun, ia telah dipanggil dengan bahasa yang terhormat, dan diterima menghadap sidang yang paling mulia di dunia ini. Paus telah menghukumnya dengan hukuman berdiam diri selamanya. Tetapi sekarang ia akan berbicara dihadapan ribuan orang pendengar yang datang dari berbagai tempat jauh dari dunia Kekristenan. Suatu revolusi besar telah dimulai oleh peran Luther. Roma telah merosot dari takhtanya, dan kemerosotan itu disebabkan oleh suara seorang biarawan.” — Idem, b. 7, ch. 8.
Di hadapan sidang yang berkuasa dan bergengsi itu, Pembaharu, kelahiran orang kebanyakan itu, tampaknya kagum dan malu. Beberapa orang dari para pangeran mengamati emosinya dan mendekatinya. Salah seorang berbisik kepadanya, “Janganlah takut kepada mereka yang membunuh tubuh, tetapi yang tidak dapat membunuh jiwa.” Yang lain berkata, “Bilamana engkau dibawa berhadapan dengan para gubernur dan raja-raja oleh karena Aku, Roh Bapamu akan memberitahukan kepadamu apa yang akan engkau katakan.” Demikianlah kata-kata Kristus telah digunakan oleh orang-orang besar dunia untuk menguatkan hamba-Nya pada saat pencobaan.
Luther dibawa pada posisi tepat di hadapan takhta kaisar. Keheningan menyelimuti seluruh sidang. Kemudian pejabat kekaisaran bangkit, dan menunjuk kepada koleksi tulisan-tulisan Luther dan menyuruh Luther menjawab dua pertanyaan, — apakah dia mengakui buku-buku itu sebagai tulisan-tulisannya, dan apakah ia bermaksud untuk menarik kembali buah pikiran yang telah diajukannya didalam tulisan-tulisan tersebut. Sementara judul buku-buku itu dibacakan, Luther memberi pengakuan bahwa buku-buku itu adalah tulisannya sebagai jawaban kepada pertanyaan yang pertama. “Mengenai pertanyaan kedua,” katanya, “berhubung pertanyaan itu menyangkut iman dan keselamatan jiwa-jiwa, dan dalam mana firman Allah, harta termahal dan terbesar di Surga maupun di dunia terlibat, saya akan dianggap bertindak tidak bijaksana kalau saya menjawabnya tidak dengan sungguh-sungguh. Mungkin saya menegaskan kurang dari yang dituntut keadaan, atau lebih dari yang diperlukan oleh kebenaran, dengan demikian berdosa kepada perkataan Kristus ini, ‘Tetapi barang siapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya didepan Bapa-Ku yang di Surga.’ (Matius 10:33). Untuk ini aku memohon kepada Yang Mulia, dengan segala kerendahan, untuk memberikan waktu kepadaku, agr aku dapat menjawabnya tanpa melanggar firman Allah.” — D’Aubigne, b. 7, ch. 8.
Dalam mengajukan permohonan ini Luther bertindak dengan bijaksana. Sikapnya meyakinkan sidang bahwa ia tidak bertindak secara bernafsu atau gegabah. Keterangan dan penguasaan diri yang demikian itu, menambah kekuatan kepadanya. Sikap seperti itu tidak diharapkan dari seorang yang tegas dan tak mengenal kompromi. Sikap ini menyanggupkannya selanjutnya memberikan jawaban dengan bijaksana, tegas, berakal budi dan berwibawa, sehingga mengejutkan dan mengecewakan musuh-musuhnya, dan menempelak kekurangajaran dan kesombongan mereka.
Hari berikutnya ia harus menghadap kembali untuk memberikan jawabannya yang terakhir. Untuk sementara hatinya remuk pada waktu ia merenungkan kekuatan-kekuatan yang bersatu melawan kebenaran. Imannya goyah, ketakutan dan kegentaran menimpanya, dan kengerian menyelimutinya. Bahaya berlipat ganda di hadapannya. Musuh-musuhnya tampaknya akan menang, dan kuasa kegelapan merajalela. Awan menutupinya, dan tampaknya memisahkan dirinya dari Allah. Ia sangat rindu jaminan kepastian bahwa Allah yang mahakuasa akan menyertainya. Dalam penderitaan jiwanya, ia tersungkur ke tanah dan mencurahkan jeritan hatinya yang hancur, yang tak seorangpun mengerti dengan sesungguhnya selain Allah.
“O, Allah yang kekal dan mahakuasa,” ia memohon, “betapa mengerikan dunia ini! Lihatlah, ia membuka mulutnya untuk menelan aku, dan aku tidak berharap sepenuhnya kepada-Mu . . . . Jikalau hanya pada kuasa dunia ini aku menaruh harap, berarti segalanya sudah selesai . . . . Saatku sudah tiba, hukumanku sudah diumumkan . . . . O, Allahku, tolonglah aku melawan semua kebijaksanaan dunia ini. Tolongah Tuhan, . . . Engkau sendiri; karena ini bukan pekerjaanku, tetapi pekerjaan-Mu. Tidak ada urusanku di sini, tidak ada yang diperdebatkan dengan pembesar-pembesar dunia ini . . . . Tetapi ini adalah urusan-Mu, . . . urusan kebenaran dan kekekalan. O, Tuhan, tolonglah aku! Allah yang setia dan yang tidak berubah, aku tidak bisa menaruh harap kepada seorang manusiapun . . . . Segala yang dari manusia tidak ada kepastian. Segala yang datang dari manusia adalah kegagalan . . . . Engkau telah memilih aku untuk pekerjaan ini . . . . Berdirilah di sampingku demi Anak-Mu yang kekasih, Yesus Kristus, yang menjadi pertahananku, perisaiku dan bentengku yang kuat.” — Idem, b. 7, ch. 8.
Allah, Pemelihara yang maha bijaksana, telah mengizinkan Luther menyadari bahaya yang mengancamnya, supaya ia tidak menaruh harap kepada kekuatannya sendiri, dan takabur masuk ke dalam bahaya. Namun bukan ketakutan penderitaan diri sendiri, ketakutan penyiksaan atau kematian yang tampaknya segera akan terjadi, yang meresahkannya. Ia menemui kemelut, dan dia merasa tidak sanggup menghadapinya. Oleh karena kelemahannya kebenaran mungkin akan menderita kerugian. Ia bergumul dengan Allah bukan untuk keselamatannya, tetapi demi kemenangan Injil. Seperti Israel (Yakub), yang pada malam itu bergumul sendirian di tepi sungai (Kejadian 32:22-32), demikianlah penderitaan dan pergumulan jiwanya. Seperti Israel, ia menang dipihak Allah. Di dalam ketidakberdayaannya, imannya berpegang teguh kepada Kristus, Penyelamat perkasa itu. Ia dikuatkan dengan jaminan bahwa ia tidak akan tampil sendirian di hadapan konsili. Kedamaian kembali memenuhi jiwanya, dan ia bersukacita oleh karena diizinkan untuk meninggikan firman Allah di hadapan penguasa-penguasa bangsa itu.