PERTUMBUHAN MUHAMMAD DAN PERNIKAHANNYA

ilstriibrhim Copy

[AkhirZaman.org] Ibrahim anak Terah, keluar dari rumah bapanya dan keluar dari negerinya, karena orang tuanya beserta orang negerinya menyembah berhala. Ibrahim tidak mau menyembah berhala buatan tangan mereka, Ibrahim percaya yang patut disembah ialah yang menciptakan kita, yaitu Allah. Karena itu ia dipanggil Allah keluar dari kaumnya untuk menjadi penyembah-Nya.

Karena Ibrahim menurut panggilan Allah, tidak melawan kepada-Nya, maka ia telah diberkati menjadi bapa segala bangsa. Keturunannya melalui anaknya Ismail, juga perlu mendapat berkat, perlu diselamatkan dari penyembahan kepada berhala itu. Qushai telah merebut kembali Ka’abah dan kota Mekah dari keturunan Khuza’ah yang merampasnya dari Bani Ismail, tetapi rupanya dia hanya merebut kekuasaan saja, tidak merebutnya supaya mengikut Agama Ibrahim nenek moyangnya. Kehormatan diri yang dipilih oleh Qushai dan keturunannya kaum Quraisy, bukan kehormatan rohani yang MEMULIAKAN ALLAH. Karena itu penting juga bagi kita untuk memahami ini. Jika keuntungan dan kehormatan dunia tidak dapat membantu kita untuk memuliakan Allah, melainkan menjauhkan kita dari Allah dan berkompromi dalam hal kebenaran dan kejujuran, maka tidak perlu bagi kita untuk mengejar itu semua.

Sesudah peristiwa Pasukan Gajah yang dipimpin oleh Abrahah Al-Asyram akan menghancurkan Ka’abah yang penuh dengan berhala-berhala itu, rupanya tidak membawa pikiran kaum Quraisy untuk bertobat dari penyembahan kepada berhala itu, Abdul Muththalib tetap juga menyembah berhala dan bernazar akan mengorbankan anaknya kepada berhala di Masjid- Haram tersebut. Dengan dilarangnya oleh Pendeta Agama berhala di masjid il-Haram itu, Abdul-Muththa-lib tidak jadi mengurbankan anaknya yang bernama Abdullah itu.

Kemudian Abdul-Muththalib mengawinkan Abdullah yang dikasihinya itu kepada Aminah binti Wahbin, bangsawan Quraisy juga. Lebih kurang 3 bulan Abdullah menikah dengan Aminah itu, pergilah dia ke negeri Syam untuk berdagang, dan saat bersamaan Aminah sedang hamil.

Dalam perjalanan pulang dari Syam, sampai di Yatsrib (sekarang Madinah) Abdullah mendadak sakit lalu wafat. Setelah 20 April tahun 571 Masehi, yaitu pada tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah.

Abdul-Muththalib sangat gembira melihat kelahiran cucu yang sangat disayanginya itu karena bapaknya (Abdullah) telah wafat ketika ia baru 3 bulan dalam kandungan ibunya. Setelah bayi itu berusia 7 hari, disunatlah oleh Abdul-Muththalib dan diberi nama Muhammad. Pada waktu Abdul-Muththalib mengadakan perjamuan besar, para bangsawan di kota Mekah pun turut diundangnya.

Para tamu yang hadir bertanya: “Mengapa cucumu engkau beri nama Muhammad, karena nama itu tidak biasa untuk dipakai oleh orang Arab?” Abdul-Muththalib menjawab: “Aku mengharapkan semoga anak ini menjadi orang yang terpuji, karena arti namanya adalah terpuji.”

Nama Muhammad itu, sebelum dia lahir telah ada beberapa orang yang juga bernama Muhammad di tanah Arab. Diriwayatkan telah ada 16 orang yang memberi nama anaknya juga nama Muhammad, dengan pengharapan supaya anaknya diangkat menjadi nabi atau rasul oleh karena mereka mendengar berita akan dibangkitkan seorang rasul di tanah Arab yang bernama Muhammad. Berita-berita itu mereka dengar sebagian bersumber dari kitab-kitab agama kuno, dan sebagian mereka dari ramalan para ahli nujum.

Setelah Muhammad berusia 6 tahun, ibunya pun wafat pula, dan sejak itu ia menjadi yatim piatu. Kemudian ia dibesarkan dan dipelihara oleh kakeknya, Abdul Muththalib yang telah lanjut usia. Setelah berusia 8 tahun, kakeknya pun wafat. Lalu ia dipelihara oleh Abu-Thalib, pamannya.

Abu-Thalib dipesan oleh ayahnya (Abdul-Muththalib) untuk memelihara Muhammad karena ia adalah orang yang hidup sederhana (tidak seperti saudara-saudaranya yang lain). sehingga Abu-Thalib merasa sayang dengan keponakannya itu.

sheepinthefields CopyKarena orang tuanya tidak meninggalkan harta, maka Muhammad hidup dalam keadaan yang miskin. Pekerjaannya menggembalakan domba penduduk Mekah mendapatkan upah yang sangat sedikit, tetapi ia selalu bergembira. Muhammad tidak biasa berpakaian yang bagus, dan tidak pula mempunyai perhiasan yang indah seperti kebanyakan anak-anak bangsawan Quraisy lainnya. Namun kejujuran yang dimilikinya adalah kejujuran hati dan budi yang luhur. Sehingga penduduk Mekah hampir-hampir tidak mengenal bahwa namanya Muhammad karena mereka selalu memanggilnya Al-Amien, yang berarti “Orang Yang Dipercayai.”

Mukaddimah Quran terbitan Departemen Agama RI, halaman 38 mengatakan: “Di tanah Arab banyak orang Arab yang memeluk agama Kristen, tidak menyembah berhala. Di kota Mekah sendiri, selain budak-budak yang memeluk agama Kristen, terdapat juga Waraqah bin Naufal (dari suku Quraisy) yang memeluk agama Kristen. Ia paham bahasa Ibrani dan telah menerjemahkan kitab Injil dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab.”

Dengan demikian kita dapat melihat betapa dekatnya hubungan family antara Waraqah bin Naufal dengan Muhammad, mereka sama-sama keturunan dari Abdul Manaf. Tidak heran kalau Waraqah senang dengan Muhammad, selain karena kejujurannya, ia juga adalah anak dari saudaranya. Terlebih Muhammad tidak mau menyembah berhala seperti kaum Quraisy lainnya pada masa itu.

Mukaddimah Quran terbitan Departemen Agama RI, halaman 58: “Ahli sejarah menuturkan bahwa Muhammad sejak kecil hingga dewasa tidak pernah menyembah berhala dan tidak pernah pula makan daging yang disembelih untuk korban berhala-berhala, seperti lazimnya orang-orang Arab Jahiliah pada waktu itu. Ia sangat benci kepada berhala-berhala itu, dan menjauhkan diri dari keramaian dan upacara-upacara pemujaan kepada berhala itu.”

Waraqah mempunyai saudara sepupu yang bernama Khodijah, janda kaya di Mekah yang memiliki barang-barang dagangan yang dibawa oleh penduduk Mekah untuk berdagang ke Syam dan tempat lain. Setelah Muhammad menginjak dewasa, Abu-Thalib ingin supaya Muhammad mempunyai mata pencaharian yang baik. Ia ingin supaya Muhammad ikut membawa barang-barang kepunyaan Khodijah sama seperti pedagang-pedagang yang lain. Setelah diadakan permufakatan, Khodijah setuju Muhammad membawa barang-barang dagangannya seperti yang lain.

Beberapa kali Muhammad membawa barang dagangnnya dan melihat kejujurannya, Khodijah menjadi kagum. Khodijah tertarik kepada Muhammad, dan berniat menjadikan dia suaminya. Terlebih setelah mendengar laporan Maisaroh, pembantunya, yang mengikuti jejak Muhammad berdagang.

Sejarah mencatat perkenalan Khodijah dengan Muhammad, sebagaimana diceritakan dalam Kitab Kelengkapan Tarikh Muhammad SAW, jilid IA, halaman 132-134:

“Tidak berapa lama kemudian, setelah beberapa kali dibicarakan dengan masak oleh kedua belah pihak, dilangsungkanlah perkawinan antara Muhammad dengan Khodijah. Pada waktu itu Muhammad berusia 25 tahun, sedangkan Khodijah berusia 40 tahun. Perkawinan dilangsungkan dengan meriah di rumah pengantin perempuan dengan disaksikan oleh segenap family dari kedua belah pihak. Di antara family Muhammad yang turut mengantar ialah: Abu-Thalib dan Hamzah (kedua pamannya). Dan di antara family Khodijah yang datang dan sebagai wakil orang tuanya yang telah meninggal ialah: Amir bin Al-Asad dan Waraqah bin Naufal.

Setelah Abu-Thalib berpidato, lalu berdirilah Waraqah bin Naufal yang alim tentang Torat dan Injil (anak dari paman Khdijah) untuk menyambut pidato Abu-Thalib, yang artinya kurang lebih sebagai berikut: ‘Segala puji dan sanjung hanya bagi Allah yang telah menjadikan kita seperti yang telah engkau sebutkan tadi, dan yang telah memuliakan kita sebagai apa yang telah engkau nyatakan tadi. Kita para kepala bangsa Arab dan pahlawan-pahlawannya adalah orang-orang yang ahli tentang itu. Maka dari itu, saksikanlah hendaknya wahai saudara-saudara bangsawan Quraisy bahwasanya aku hari ini telah menikahkan Khodijah binti Khulaid dengan Muhammad bin Abdullah, dengan menyediakan untuk peralatan perkawinan ini 400 dinar.’”

Dari catatan di atas dapatlah kita ketahui bahwa yang mengawinkan Muhammad adalah orang Kristen (Waraqah bin Naufal, family dari Khodijah, isteri Muhammad). Anda tentu dapat merasakan bagaimana karibnya persahabatan umat Kristen dengan Muhammad itu, disamping mereka adalah berasal dari satu keturunan (keturunan Abdul Manaf).

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *