BAGAIMANA TELEVISI MENEMPATKAN KITA DI PIHAK SETAN

Watching-Television_Copy

[AkhirZaman.org] Ada banyak alasan bagi setiap orang bahwa televisi tampaknya tidak berbahaya dalam rumah tangga kita. Karena ada beberapa acara-acara yang lulus dalam ujian Alkitab dalam hal kebenaran, kesucian, dll, maka kita dengan mudah terserap ke dalam pendapat yang mengatakan bahwa peralatan ini akan digunakan sebagai sarana pendidikan bagi keluarga. Keputusan khidmat seringkali dibuat sebagai suatu batasan kualitas acara bagaimana yang disetujui untuk ditonton. Namun marilah kita jujur dan berkata benar. Berapa lamakah peraturan-peraturan yang membatasi ini berlangsung untuk mengatur televisi? Mengawasi hampir tidaklah mungkin karena sifat perbatasan dari banyak acara. Ketidakpastian tentang di mana harus menarik garis batas, apakah beberapa kata yang kasar merusak program dokumenter sepanjang satu jam, dan keputusan-keputusan lain yang menekan segera menjadi tidak dapat ditoleransi lagi. Pintu telah terbuka lebih lebar dan dan semakin lebar, dan indra pembeda menyesuaikan dengan aliran gambar dan pemandangan yang memang telah diatur oleh pengeendali media massa yang adalah agen-agen setan. Adalah mudah membenarkan bahasa yang merendahkan nilai karena penggunaan kata-kata seru di mana-mana oleh pembawa berita televisi yang populer, iklan yang dihiasi dengan tarik ulur yang merendahkan standar moral Kristen dengan halus, dan program-program hiburan yang tidak lain adalah penyembahan kepada Setan.

Menjadi semakin sulit untuk dipercaya bahwa bahkan tontonan yang dipilih secara paling berhati-hati sekalipun tidak akan menghasilkan ketidakpekaan rohani. Perkataan-perkataan dan gambar-gambar pendek dari percakapan pasaran secara perlahan masuk ke dalam pertunjukan pendidikan yang sangat dipuji-puji. Banyak yang berpendapat bahwa kita harus belajar hidup dengan bahasa seperti ini karena itu ada di sekitar kita setiap saat. Memang benar bahwa kita sering mendengar kekasaran dunia di sekeliling kita, namun apakah kita harus dengan sengaja meng-expose diri kita kepada sesuatu yang seharusnya dapat kita hindarkan?

Kebenarannya adalah bahwa kita menghadapi pergumulan yang berat untuk berpaling dari pemandangan-pemandangan kejahatan yang memikat yang tidak dapat kita hindarkan ketika kita berada di jalanan. Begitu banyaknya pencobaan yang setan ciptakan dimana-mana yang memenuhi seluruh waktu dan usaha kita, namun kita tidak perluh secara sengaja membawa masuk sumber pencobaan ke dalam ruang keluarga.

Apa yang gagal dipahami oleh banyak orang adalah bahwa ada dosa di dalam pemandangan. Jikalau seseorang ada di belakang Ibu Hawa di Taman Eden dan bertanya kepadanya apakah yang dilakukannya di depan pohon larangan itu, ia barangkali akan menjawab, “Saya hanya melihat-lihat.” Namun apa yang dilihat-lihat oleh Hawa membawa kepada penderitaan berlipat ganda dan pada akhirnya kematian dari milyaran umat manusia selama kurang lebih enam ribu tahun yang tragis.

Raja Daud bangun dari tidur sore, dan dengan diam-diam, dan tidak sengaja, melihat istri tetangganya yang cantik sedang mandi di taman di atas atap rumah Mediterania-nya. Tampaknya, jikalau seseorang bertanya kepada Daud apa yang sedang dilakukannya, ia akan menjawab, “Cuma melihat-lihat saja.” Namun apa yang dilihatnya membawa kepada perzinahan dan pembunuhan, dosa yang mempengaruhi suatu bangsa untuk melupakan Tuhan. Akibat ketidakbermoralannya dengan Batseba berbekas tajam di dalam keluarga Daud sehingga empat dari anak-anaknya sendiri diambil daripadanya melalui tragedi atau kemurtadan. Betapa pahitnya ia kemudian meratapi akibat-akibat yang mengerikan dari “melihat-lihat” yang tampaknya tidak berbahaya.

Pengaruh yang tetap melekat dari pola-pola mental adalah perlu diperhatikan. Dengan melihat kita diubahkan. Pikiran-pikiran dihasilkan dari apa yang dilihat oleh seseorang. ” Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia.” Amsal 23:7. Ini membawa kita kepada salah satu argumentasi yang paling khidmat bahwa televisi dapat merusak kehidupan Kristen. Ini didasarkan atas prinsip partisipasi mental atau dari pengalaman orang lain di dalam dosa. Yesus menyatakan, “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” Matius 5:27, 28.

Tolonglah perhatikan bahwa pikiran dapat menciptakan suatu gambar mental yang realistis bahwa orang sesungguhnya menjadi begitu terlibat dalam gambar-gambar imajinasi. Partisipasi menjadi begitu nyata sehingga Yesus mengatakan bahwa kita bertanggung jawab atas apa yang kita izinkan masuk ke dalam pikiran kita, seolah kita melakukannya melalui tindakan fisik itu sendiri. Karena otak adalah pusat keputusan bagi seluruh tubuh, setiap tindakan yang dilakukan haruslah pertama-tama terbentuk di dalam pikiran sebelum diterjemahkan ke dalam tindakan. Otak, melalui sistem komunikasi syaraf yang luas, mengirimkan pesan ke tangan, kaki dan organ tubuh lainnya untuk melakukan tindakan. Namun, ini adalah titik persis pencobaan terberat. Menyimpan gambar mental hingga mengirimkan perintah untuk dilakukan oleh tubuh yang bersifat sangat angkuh dan melemahkan bagi kehendak sehingga sedikit orang yang mampu berbalik dari menuruti perintah itu.

Satu-satunya perlindungan yang pasti dari dosa bagi orang Kristen adalah menolak imajinasi atau pikiran jahat yang berusaha dimasukkan oleh Setan ke dalam pikiran. Sekali perbuatan jahat telah diterima dan direnungkan, meskipun hanya sebagai pikiran, hubungan akrab yang luar biasa antara pikiran dan tubuh mulai menghasilkan reaksi-reaksi fisik. Dengan kecepatan listrik otak mengirimkan pesan yang memperingatkan seluruh tubuh terhadap tindakan yang dipikirkan. Sekarang pikiran dan tubuh bersatu menekan seseorang untuk melakukan tindakan itu.

Namun marilah kita menganggap bahwa tidaklah mungkin bagi seseorang untuk melakukan pemanjaan fisik yang dipicu oleh pikiran. Barangkali suatu sikap penuh hawa nafsu telah dihasilkan di dalam pikiran, namun tidak seorangpun yang diajak berpartisipasi di dalam tindakan dosa. Atau jikalau dia adalah seorang Kristen, ia mungkin memiliki kecenderungan keras melawan tindakan yang dipikirkan itu sehingga ia menolak melakukan dorongan pikiran itu. Dalam hal ini, dosa ada hanya di dalam imajinasinya. Namun demikianlah kuasa pikiran, sehingga di mata Tuhan, pelaksanaan dosa secara mental tanpa partisipasi nyata dianggap serius sebagai pemanjaan fisik itu sendiri.

Sekarang marilah kita menerapkan prinsip ini kepada menonton televisi. Tidak ada penggambaran lain yang lebih hidup dari partisipasi dengan melihat. Meskipun penonton mungkin cukup dewasa untuk mengetahui bahwa pemandangan itu hanyalah situasi pura-pura yang dikarang saja, namun ia menjadi begitu terlibat secara emosional dengan gambaran seolah-olah ia benar-benar menghidupkan pengalaman itu. Jantung berdegup karena takut, mata dipenuhi air mata, dan penonton secara mental memproyeksikan dirinya ke dalam pemandangan itu. Apakah berperang atau melemparkan dirinya dari situasi yang menyedihkan itu, penderitaan trauma dari penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau menyerah kepada kesenangan akan pemandangan tempat tidur yang provokatif, penonton terperangkap di dalam alur cerita, berpartisipasi secara perwakilan dalam penjelajahan si pahlawan. Yesus berkata bahwa partisipasi seperti ini adalah sama salahnya dengan keterlibatan fisik yang nyata.

Cobalah bayangkan strategi fantastis Setan dalam penggunaan media televisi. Menegangkan pikiran bahkan jikalau kita memikirkannya. Inilah suatu keadaan yang dinspirasikan oleh iblis menjadi satu tindakan dari dosa yang disimulasikan; misalnya, gambaran perzinahan yang pura-pura dan artifisial. Namun melalui manipulasi emosi, Setan dapat mengubah satu dosa yang dilakukan itu menjadi jutaan dosa perzinahan yang sesungguhnya, karena jutaan orang akan memproyeksikan dirinya ke dalam gambar itu. Dan di dalam pikiran mereka itu bukanlah pura-pura. Itu begitu nyata bahkan tubuh mereka ikut bereaksi. Emosi hawa nafsu dan ketakutan begitu penuh terobsesi si penonton sehingga meskipun mereka tidak dapat mengambil bagian secara fisik di dalam dosa itu, pikiran dan kehendak dipengaruhi melalui cara yang sama seolah mereka mengambil bagian. Dan yang lebih serius lagi, Tuhan menuntut mereka sama bersalahnya seolah mereka sendiri telah melakukannya.

Betapa suatu cara yang cerdik dan penuh muslihat untuk mengubah orang menjadi pencuri, pembunuh dan pezinah! Setan hanya perlu bekerja dengan penulis naskah dan aktor untuk menghasilkan alur-alur cerita yang yang paling emosional, realistis, dan memikat. Dari titik itu, hukum alam pikiran mengambil alih, dan penonton menjadi terperangkap secara emosional dari apa yang mereka izinkan untuk dilihat. Suatu hari mereka akan menghidupkan pengalaman sebagai pencuri toko, keesokan harinya sebagai pembunuh, dan kemudian pelaku amoral atau perzinahan. Bagi si aktor di layar, itu adalah kepura-puraan yang tidak masuk akal, namun bagi si penonton, itu setidaknya untuk sesaat adalah suatu kesempatan untuk melakukan perkara-perkara yang menyenangkan yang dilarang oleh Tuhan dan masyarakat, tanpa harus menghadapi akibat-akibat dari melakukannya. Namun apakah kita harus menghadapi akibat-akibatnya? Barangkali bukan secara fisik, melainkan tanggung jawab moral karena perbuatan-perbuatan tanpa partisipasi yang harus dihadapi setiap orang dalam penghakiman. Bagi mereka yang tidak mengakui dan meninggalkan dosa-dosa itu, betapa suatu tanggung jawab yang mengerikan yang harus ditanggung karena pelacuran terhadap kuasa-kuasa kudus dari pikiran dan kehendak.

Tentulah prinsip dosa ini dapat menjelaskan mengapa Alkitab berbicara begitu keras tentang perkara lima panca indra kita. Yesus menjelaskan bahwa tidak boleh ada usaha setengah-setengah untuk melindungi jalan-jalan masuk ke dalam pikiran. Segera setelah perkataanNya tentang memandang seorang perempuan dengan hawa nafsu, Ia berkata: “Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.” Matius 5:29.

Tentu saja Yesus tidak sedang berbicara tentang sekedar mata jasmani. Seseorang bisa saja kehilangan satu mata dan masih jahat dan bengkok. Yesus sedang berbicara tentang perkara-perkara yang difokuskan oleh mata dan dampak yang dapat disebabkan olehnya. Jikalau mata melihat kepada sesuatu yang dapat menggiring pikiran untuk memikirkan dosa, Yesus berkata bahwa tindakan yang paling dramatis harus dilakukan untuk menghapuskan pemandangan ini dari pandangan. Dengan perkataan lain, “Janganlah lanjutkan melihat sesuatu yang bersifat menyinggung atau melanggar dan provokatif secara rohani.” Melakukan itu dapat membawa ke dalam dosa dan menyebabkan seseorang “dicampakkan ke dalam neraka.”

Perintah Kristus adalah “cungkillah,” yaitu berpalinglah dari apa yang sedang dilihat oleh mata. Pilihannya ada pada kita. Satu-satunya cara untuk memiliki pikiran yang murni adalah melihat, mendengarkan, dan berbicara hanya tentang perkara-perkara yang murni. Paulus berkata, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Filipi 4:8. Rahasia untuk menjadi suci, jujur, penuh kebajikan adalah berpikir dengan cara itu, dan cara kita berpikir adalah ditentukan oleh apa yang kita lihat, dengar dan katakan. Daud berkata, “Tiada kutaruh di depan mataku perkara dursila; perbuatan murtad aku benci, itu takkan melekat padaku.” Mazmur 101:3.

Tentang faktor-faktor rohani ini kita dapat menambahkan berhalaman-halaman statistik yang mengejutkan tentang efek kekerasan televisi terhadap pikiran dan moral, terhadap dorongan kejahatan, dan prestasi skolastik. Ini sangat dikenal dan seringkali diulang. Tak seorangpun akan pernah mengetahui secara pasti berapa banyak cetak biru kejahatan telah diceritakan secara rinci di dalam sebuah kisah dalam televisi, dan kemudian dilaksanakan melalui berbagai-bagai perampokan, pencurian, dan pemerkosaan.

Masyarakat saat ini berada di ujung kepuasan yang semakin berkembang menuju kekerasan dan penderitaan manusia. Melalui televisi secara terus menerus melihat kejahatan dan ketidakmanusiawian telah menciptakan suatu iklim ketidakperdulian yang luar biasa terhadap sesama manusia. Orang tidak mau terlibat. Biasanya mereka melintasi korban penyerangan. Reaksi umum terhadap bencana alam seperti gempa bumi,banjir,atau kelaparan hampir kelu. Gambar-gambar ribuan orang mati di Amerika Selatan atau Turki dalam berita jam 6 sore bahkan memberi semakin sedikit kesan dibandingkan pemandangan dalam film larut malam semalam. Penggambaran kartun yang aneh yang telah dipersiapkan secara komersial untuk mengesankan tanggapan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kisah yang sesungguhnya tentang penderitaan dan kematian. Kepekaan yang halus terhadap perasaan iba hati telah ditumpulkan dan hampir dihancurkan oleh serangan emosi terus menerus oleh agen-agen setan para ahli “ketegangan dan kengerian” Hollywood.

Dampak kematian dikecilkan oleh pemajanan yang berlebihan. Bahkan laporan gambar dan berita tentang pembunuhan dan kematian ditunjukkan berulang-ulang dalam acara berturut-turut. Seolah-olah korban pembunuhan itu hidup kembali untuk dibunuh dan dibangkitkan berulang-ulang. Layar yang berkepanjangan tentang pembunuhan oleh Lee Harvey Oswald adalah contoh dari kekerasan televisi seperti ini. Pikiran pada akhirnya hampir menolak kenyataan tentang apa yang sedang ditonton.

Efek apakah yang pada akhirnya terdapat pada hati nurani dan tabiat manusia? Tidak diragukan lagi, terdapat keinginan yang tidak wajar untuk menyaksikan kekerasan tanpa perasaan bersalah. Sebagai penonton yang tidak berdosa, penonton TV bukanlah penyerang juga bukan korban.Dengan hanya menonton, dan tidak mam-pu turut campur, ia secara perlahan-lahan menyesuaikan diri kepada suatu mentalitas tidak bertindak yang memikat. Di bawah serangan terus menerus, pikiran sesungguhnya mengaburkan antara fantasi dan realitas. Inilah mengapa begitu banyak orang yang bisa bertahan dan menonton kebrutalan dan kekerasan di dalam kehidupan nyata tanpa mengangkat satu jari pun.

Seorang mempelai pria beberapa waktu yang lalu berkata,”Kami memulai hanya dengan kebutuhan-kebutuhan hidup yang seadanya; sebuah tempat tidur, sebuah kompor, dan sebuah televisi.” Dengan 98 persen rumah tangga Amerika memiliki satu pesawat televisi, cobalah menggambarkan efek menyalanya selama 6½ jam.

Anak-anak menghabiskan sepertiga dari waktu terjaga mereka di bawah pengaruh gagasan dan falsafah yang mendera dan artifisial ini yang tidak dimulai oleh orangtua mereka dan seringkali mereka bahkan tidak menyadarinya. Telah ditemukan bahwa seperempat dari jumlah anak-anak antara 5-20 tahun menonton televisi lebih dari 5 jam setiap hari dalam hari sekolah mereka. Ini bahkan lebih panjang dari-pada ketika mereka dibawah pengawasan langsung oleh guru kelas mereka; lebih panjang daripada waktu mereka bermain setiap hari, ataupun waktu makan. Hanya waktu tidur yang lebih panjang daripada waktu menonton televisi mereka.

Jenis pesan apakah yang secara harafiah dimasukkan ke dalam pikiran-pikiran terbuka dari anak-anak ini? Dari seluruh acara televisi, 83 persen berisikan KEKERASAN, dan 98 persen kartun menunjukkan TINDAKAN KEKERASAN. Sesungguhnya, ketika anak-anak anda menonton kartun, mereka disuguhi dengan rata-rata 30 tindak kekerasan dalam setiap dua menit. Drama-drama Barat dan detektif tidak lebih baik, karena 97 persen berisikan kekerasan.

Namun bagaimanakah dengan anak-anak yang belum cukup umur untuk bersekolah? Terdapat hampir 12 juta anak usia antara 3 hingga 5 tahun. Menurut Indeks Televisi Nielsen, anak-anak usia pra-sekolah ini duduk di depan televisi selama rata-rata 54,1 jam setiap minggu. Pikirkanlah kekuatan yang dimasukkan ke dalam pikiran dan emosi yang masih labil dari anak-anak yang masih bayi ini. Selama hampir 64 persen dari jam-jam terjaga mereka, mereka menyerap ketegangan, kekerasan, dan kekosongan yang menegangkan saraf dari televisi komersial. Apakah kita heran mengapa generasi anak muda yang lebih tua tampaknya menghadapi kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan nyata dan dengan orang banyak?

Dr. Victor B. Cline dari Universitas Utah telah memperkirakan bahwa antara usia taman kanak-kanak dan 14 tahun, seorang anak menyaksikan kematian dengan kekerasan dari lebih 13.000 manusia di layar televisi. Karena anak-anak di bawah usia pra-taman kanak-kanak menonton televisi dalam 64 persen waktu siang mereka, cobalah bayangkan berapa banyak pembunuhan yang mereka saksikan melampaui 13.000 tersebut. Tidak ada seorang veteran perang yang berperang setiap hari sekalipun yang mencapai kengerian dan pembunuhan seperti dalam televisi setiap hari.

Barangkali penelitian yang paling lengkap tentang serangan televisi didokumentasikan oleh Alfred Bandura and Associates, dan diterbitkan dalam Journal of Abnormal and Social Psychology. Kesimpulan-kesimpulan mereka diambil dari pengamatan nyata terhadap anak-anak normal, diukur melalui reaksi-reaksi kelompok perlakuan, ketika ditontonkan kekerasan di layar televisi. Kesimpulan mereka yang mengesankan adalah bahwa serangan yang difilmkan meningkatkan sikap agresif pada anak-anak. Mereka secara pasti meniru perilaku kekerasan yang mereka tonton dalam acara televisi.

Di tahun 1969 Komisi Nasional bagi Penyebab dan Pencegahan Kekerasan menyampaikan laporan penelitian mereka yang mendalam. Beginilah intisari kesimpulan mereka: “Sejumlah besar bukti-bukti penelitian yang ada secara keras menunjukkan…bahwa kekerasan dalam acara-acara televisi dapat dan memang memiliki akibat buruk terhadap penonton khususnya penonton anak-anak.”

Salah satu akibat yang nyata dan menyedihkan dari kecanduan televisi pada anak adalah putusnya hubungan komunikasi yang tragis dengan orangtua. Selama lima jam terpenting setiap hari mutlak tidak terjadi interaksi dengan siapapun. Dr. D.M. Azimi, Ketua Jurusan Sosiologi dan Antropologi di Universitas Pennsylvania di Indiana, Pennsylvania, percaya bahwa anak-anak dapat “berhalusinasi” dengan pertunjukan-pertunjukkan dan diisi dengan kekerasan, seks, dan serangan. “Cobalah sela seseorang yang sedang menonton televisi dan perhatikanlah kerasukan yang mendalam yang sedang dialaminya. Ia akan menjadi jengkel kepada anda karena menyerobot masuk ke dalam lamunannya seperti sedang kecanduan, namun jikalau anda menanyakan apa yang baru saja dikatakan dalam acara itu, ia tidak akan dapat mengatakannya.

“Para orangtua menjadi “pendorong” televisi kepada anak-anak mereka. Sebagian besar anak-anak, pada usia yang amat dini, ingin memiliki hubungan yang akrab dan hangat dengan orangtua mereka. Namun orangtua mereka berkata, ‘Pergilah menonton televisi saja. Saya sibuk.’

“Segera saja kebiasaan menguasai mereka dan mereka mulai duduk dengan mata menatap ke layar, dalam keadaan kelenger, ‘terpaku’ oleh TV. Dan sekali mereka memperoleh kebiasaan itu, sangatlah sulit menjauh daripadanya sebagaimana sulitnya menjauh dari obat-obatan.”

Jikalau orangtua tidak melindungi anak-anak mereka sendiri dari serangan emosional televisi yang terus menerus, siapakah yang akan melakukannya?Perusahaan ini tidak memikirkan anak-anak siapapun. Mereka hanya menginginkan satu hal—komsumsi. Tidak diperlukan seorang ahli untuk melihat bahwa seruan utama mereka adalah kesia-siaan manusia, nafsu dan keserakahan. Ahli psikologi pemasaran mengarahkan iklan-iklan mereka kepada anak-anak yang tidak berdosa yang matanya terbelalak yang tidak memiliki pertahanan. Namun, pengakuan-pengakuan munafik dan spektakuler mereka segera tidak terbuktikan, dan kepalsuannya terbuka. Akibat sesudahnya yang menyedihkan adalah sikap sinisme yang merusak dan ketidakpercayaan anak-anak muda.

Apakah anda pernah melihat apakah stereotipe yang digambarkan pada rata-rata acara televisi? Guru-guru biasanya digambarkan orang-orang salah tempat yang tidak berkemampuan dan penuh balas dendam. Kebahagiaan adalah menjadi muda dan seksi. Perkawinan digambarkan sebagai jerat dungu, atau sesuatu yang dipamerkan dengan ketidaksetiaan yang menyenangkan. Orangtua seringkali diproyeksikan sebagai pasangan yang ketinggalan zaman, cerewet, tanpa memiliki wewenang ataupun kemampuan untuk membuat keputusan yang masuk akal. Landasan rumah tangga dan masyarakat dirusak secara halus dan sistematis oleh sebagian terbesar pertunjukan-pertunjukan televisi, termasuk beberapa acara-acara yang paling populer. Maka tidaklah mengherankan bahwa masalah sosial terbesar kita saat ini adalah bagaimana memelihara keluarga dari kemusnahan sebagai unit terkecil masyarakat.

Disadur dari buku: Creeping Compromise (Kompromi Perlahan-lahan), New York: Homeward Publishing, “Perangkap Televisi”, 2002.

By Joe Crews

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *