The Tragedy of Compromise (bagian 6)

akhir zaman

Bayangan Kompromi Yang Memanjang

[AkhirZaman.org] Injili Baru, seperti yang sudah dikatakan, berkembang di dalam pikiran para pemimpin yang hebat dan langsung memberi pengaruh yang luas dan mendapat banyak eksponen yang memiliki kemampuan. Pengaruh Injili Baru menjadi sangat kuat. Tangan-tangannya merambah sehingga menjangkau setiap area utama berkat usaha keras injili.

Pembentuk Pikiran Mahasiswa

Secara umum dikatakan bahwa seorang pribadi mencerminkan hasil pendidikan yang diperolehnya. Ia merupakan cerminan dari sekolah dimana ia belajar. Kebanyakan pemimpin Injili Baru yang orisinil merupakan cendekiawan dan pemimpin dari berbagai lembaga pendidikan. Nilai dari sekolah dan seminari yang tertanam tidak pernah terhapus dari dalam diri mereka. Untuk mengabadikan prinsip-prinsip mereka, mereka harus menyusup ke dalam kelas-kelas sekolah Kristen, sehingga mempengaruhi generasi pemimpin yang akan datang. Hal ini bisa mereka lakukan dengan kesuksesan yang luar biasa.

Salah satu sumber pemikiran Injili Baru mula-mula adalah Wheaton College, yang dihormati oleh banyak kalangan sebagai sebuah contoh klasik sekolah tinggi Kristen yang hebat. Secara bertahap posisinya memburuk sampai menampung dosen-dosen yang memegang faham evolusi theistik dan doktrin-doktrin sesat lainnya di fakultas mereka. Ia merupakan salah satu dari beberapa sekolah tinggi Kristen yang menjadi sumber studi yang dikumpulkan oleh James Davidson Hunter di dalam bukunya, “Evangelicalism: The Coming Generation”. Secara mendasar, buku itu menguraikan kecenderungan liberalisasi yang sedang berlangsung di dalam banyak sekolah tinggi dan seminari injili yang diakui selama bertahun-tahun. Buku itu mendokumentasikan bagaimana mereka meninggalkan pandangan tradisional alkitabiah mengenai masalah keluarga, theologi, moral, politik, dan pendidikan. Buku tersebut merupakan buku yang menakutkan, yang memfokus kepada informasi yang berasal dari wawancara atas enambelas sekolah tinggi sastra dan seminari liberal yang menyatakan diri injili – Sekolah Tinggi: Wheaton College, Gordon College, Westmont College, Taylor University, Messiah College, George Fox College, Bethel College, Seattle-Pacific University, dan Houghton College; Seminari: Fuller Theological Seminary, Gordon-Conwell Theological Seminary, Westminster Theological Seminary, Asbury Theological Seminary, Talbot Theological Seminary, Wheaton Graduate School, dan Conservative Baptist Theological Seminary. Tepat sekali pengamatan Hunter ketika ia mengatakan, “Contoh-contoh sekolah tinggi dan seminari ini mewakili pendidikan tinggi yang menjadi jantung Injili Amerika”.[42] Hunter tidak melakukan pendekatan terhadap subyeknya sebagai fundamentalis, namun pengertiannya bercerita banyak.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika Injili Baru boleh dikatakan hampir belum berkembang atau menyebar seperti sekarang, seorang penulis mencatat, “Sejumlah sekolah berkembang yang di masa lalu dikenal berpendirian fundamentalisme, kini memiliki staf pengajar yang berbicara sangat keras untuk neo-evangelikalisme dan mengajarkan prinsip-prinsipnya kepada para mahasiswa. Hasilnya telah dan akan terus merusak”.[43]

Ketika kita memeriksa daftar sekolah yang diteliti oleh Hunter, pikiran kita akan menelusuri kembali masa lalu untuk merenungkan permulaan dari beberapa sekolah tersebut. Gordon College, misalnya, berasal dari institut Alkitab yang dimulai oleh A. J. Gordon, seorang gembala fundamentalis yang hebat dan misionari yang bersemangat. Houghton College dimulai oleh orang-orang konservatif yang saleh, seperti juga halnya dengan Asbury. Conservative Baptist Seminary of Denver terbentuk sebagai sebuah protes terhadap lembaga-lembaga liberal yang ada di dalam Northern Baptist Convention lama, tetapi ia segera tergelincir masuk ke dalam Injili Baru; banyak orang yang bersuka-cita atas kemunculan tersebut akhirnya menangisi kemundurannya dan keluar dari kepengurusannya. Westminster Seminary terbentuk sebagai akibat peperangan antara J. Gresham Machen menentang liberalisme di dalam Presbyterian.

Bagaimana kita merangkum penyimpangan pusat pengetahuan Injili Baru yang dipelajari Hunter? Berikut ini adalah kesimpulan yang diberikannya:

Namun hal ini sangat jelas: Protestanisme konservatif telah berubah secara signifikan sejak awal abad itu, dan dari segala sudut, ia terus berubah … Hal terpenting yang dipermasalahkan adalah mengenai tempat Alkitab. Kalau bisa, seperti sikap yang terus berkembang di dalam Injili, Alkitab akan ditafsirkan secara subyektif dan memandang perikop-perikop Alkitab secara simbolis atau tidak mengikat, Alkitab dilepaskan otoritasnya yang menuntut ketaatan. Alkitab boleh saja merupakan wahyu, tetapi secara substansial telah dilucuti.[44]

Dengan kata lain, Hunter berkata bahwa sekolah-sekolah tinggi dan seminari injili menganut pandangan Alkitab yang longgar. Jika hal ini mulai terjadi, maka otoritas Alkitab telah diruntuhkan dan ia bukan lagi Firman dari Allah yang final, melainkan telah menjadi sebuah karung undian dimana setiap orang bisa mendapatkan dukungan untuk menyokong pendapat terakhir yang beredar.

Kaum injili tersengat oleh “serangga prestise akademis”. Serangga tersebut dapat menyebabkan penyakit yang fatal. Dalam meneliti perubahan fundamentalis ke Injili Baru, ada yang menunjukkan akar penyebab permasalahan tersebut – pengaruh dari sekolah-sekolah yang tidak alkitabiah.

Tak pelak lagi, sejumlah tertentu mahasiswa muda (dari latar-belakang injili) dan para gembala yang kurang berpengaruh yang pernah berkecimpung di Yale, Universitas Chicago, atau universitas terkemuka lainnya, telah merumuskan kembali keyakinan religius mereka ketika masih berada di dalam lembaga-lembaga tersebut.

Dalam hal itu, mereka tidak selalu mempertahankan pedoman mereka kepada sikap injili terhadap Alkitab. Seminari-seminari khususnya kerapkali harus mengambil pilihan yang sulit dalam mempekerjakan staf pengajar di antara orang-orang yang terlatih tersebut. Kerugian rohani bisa terjadi ketika seseorang dipekerjakan yang tetap memakai nama Evangelikal tanpa kebenaran Evangelikalisme yang mempertahankan infalibilitas atau ketiadasalahan Alkitab.[45]

Sehelai Kain Linen Kotor

Secara tradisi seminari-seminari telah menjadi sumber pelayan-pelayan Tuhan yang terlatih. Sayangnya, tidak banyak lagi seminari yang tetap berdiri di atas iman lama dan pengajaran orthodoks Alkitab. Dalam ruang penelitian ini, kita tidak bisa secara terperinci menguji spektrum seminari yang luas itu. Terlalu banyak kain linen yang harus diuji, namun kita harus membatasi diri kita kepada satu contoh jelas yang bisa dipakai untuk menggambarkan masalah itu. Contoh yang kita pilih adalah Fuller Theological Seminary. Untuk mendapat hasil studi yang lengkap mengenai permasalahan di Fuller, orang harus membaca karya hebat dari George Marsden yang berjudul Reforming Fundamentalism: Fuller Seminary and the New Evangelicalism. Buku tersebut mengembangkan tujuh masalah:

(1) Fuller Seminary dimulai dengan tujuan khusus untuk mengubah citra dan arah fundamentalisme. Penulis ini ingat ketika seminari itu mulai didirikan. Pada saat itu ia adalah seorang mahasiswa di Bob Jones University. Dr. Bob Jones, Sr., baru kembali dari perjalanannya di West Coast (Pantai Barat) dimana ia mengunjungi sahabatnya, Charles Fuller, pengkhotbah radio yang terkenal. Dr. Jones berkata kepada mahasiswa-mahasiswa theologinya, “Anak-anak, saya baru saja mengunjungi Charlie [Fuller]. Ia mengatakan kepada saya bahwa ia akan memulai sebuah seminari yang akan menghasilkan orang-orang yang akan mengubah denominasi-denominasi sesat yang lama. Saya mengatakan kepada Charlie, bahwa hal itu tidak akan terjadi dan bahwa ia akan menyesali keputusannya itu”. Saya tidak ingat semua hal lain yang dikatakan Dr. Jones pada hari itu, namun ia sangat terganggu oleh masalah tersebut. Sebagai seorang mahasiswa muda, saya tidak menyerap penuh signifikansi mengenai apa yang dikatakannya, namun terbukti perkiraannya benar.

(2) Ketegangan muncul pada masa awal di Fuller ketika sekolah itu berusaha mempertahankan hubungan dengan kaum fundamentalis, sementara tetap berusaha mengejar perubahan. Wilbur Smith menjadi sandungan khusus di kalangan yang berusaha keras untuk melakukan perubahan radikal. Smith berasal dari “kelompok lama” dan prihatin dengan apa yang dianggapnya sebagai kecenderungan doktrinal yang tidak sehat.

(3) Kaum fundamentalis semakin hari semakin menolak seminari tersebut.

(4) Pertentangan terjadi di antara staf pengajar mengenai sifat inspirasi Alkitab dan masalah-masalah lainnya.

(5) Anggota staf pengajar yang konservatif mulai keluar. Mereka termasuk Wilbur Smith, Charles Woodbridge dan Harold Lindsell. Alasan utama dibalik pengunduran diri ini adalah melemahnya posisi sekolah tersebut terhadap sikap kemutlakan Alkitab. Lindsell mendokumentasikan perjuangan mengenai hal ini di dalam bab “The Strange Case of Fuller Theological Seminary” (“Kasus Aneh Seminari Theologi Fuller”) di dalam bukunya The Battle for the Bible (“Pertempuran demi Alkitab”).[46]

(6) Seminari tersebut mengubah pernyataan doktrinalnya untuk mengakomodasi kelompok yang tidak percaya bahwa Alkitab tidak ada kesalahan. Di antara pemimpin kelompok ini adalah putera sang pendiri sendiri, Daniel Fuller, yang menjadi dekan fakultas tersebut. Ini merupakan gerakan final yang memacu sekolah itu menuju posisi theologis yang semakin ke sayap kiri.

Cerita menyedihkan tentang bubarnya Fuller Seminary tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak yang bermaksud meliberalisasi doktrin-doktrin Alkitab. Awal kompromi pasti akan berkembang semakin besar dengan berlalunya waktu. Ada kalangan yang memandang kompromi di dalam theologi sebagai suatu tanda kedewasaan. Wuthnow mencatat bahwa para cendekiawan injili masa kini “kurang dogmatis dalam menghadapi kalangan yang menganut pandangan yang berbeda”.[47] Memang begitulah kenyataannya, namun sikap tersebut telah menjadi kehancuran gerakan injili. Kita harus “memegang ajaran yang sehat” (2 Tim. 1: 13). Kewaspadaan dan perjuangan terus-menerus adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan iman. Ada satu semangat perjuangan tertentu yang diperlukan jika kita ingin mempertahankan “iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus” (Yudas 3).

Salah satu ilustrasi paling menyedihkan mengenai betapa jauhnya arus kompromi menyeret seorang cendekiawan dapat dilihat di dalam kasus Bernard Ramm. Karena ketika masih muda Ramm diasuh di dalam lingkungan fundamentalis yang kuat, maka karya-karya awalnya sangat menolong (misalnya Protestant Biblical Interpretation). Namun karena menyimpan keinginan untuk diterima secara akademis, Ramm bergeser semakin jauh dari posisi theologis yang mantap. Betapa mengagetkannya jika kita membaca dengan teliti bukunya yang berjudul After Fundamentalism yang terbit tahun 1983 dan mendapatkan ia membela sistem theologi Karl Barth, yang menolak ketiadasalahan Alkitab (inerrancy) serta doktrin-doktrin utama lainnya. “Betapa besarnya kejatuhan itu!”

Dari buku: the Tragedy of Compromise: The Origin and Impact of the New Evangelicalism

By: Ernest D. Pickering

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *