Anak Ikuti Teladan

akhir zaman

[AkhirZaman.org] Orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai mereka dengan menghidupkan secara nyata. Kalau mereka ingin anak-anaknya itu berlaku jujur, orang tua harus mempraktekkannya setiap hari.

Di Amerika pernah diadakan sebuah survey di kalangan anak-anak berusia di bawah 12 tahun. Tujuannya adalah untuk menemukan hal-hal apa saja yang paling dibutuhkan oleh seorang anak, menurut anak itu sendiri.

Hasilnya, lebih dari selusin hal yang disebut dalam kuisioner yang diisi oleh anak-anak itu sebagai hal-hal yang paling mereka harapkan dan butuhkan dari orang tua. Termasuk disitu adalah kasih sayang, perhatian, penghargaan, bahkan juga kesempatan jalan-jalan atau rekreasi maupun uang jajan harian. Tetapi dari daftar itu kelihatannya ada hal yang paling banyak di sebut, yaitu keteladanan.


Tidak banyak orang tua yang menyadari dan memenuhi kebutuhan yang satu ini. Padahal kita mengetahui bahwa ayah dan ibu merupakan “model” pertama yang dilihat dan sekaligus yang ditiru oleh anak-anak. Pepatah asing yang mengatakan “Like father like son” (Begitu bapaknya begitu juga anaknya) menggambarkan betapa anak-anak itu cenderung untuk meniru cara-cara dan perilaku orang tua  dalam berbagai cara. Pepatah kita juga mengatakan hal yang serupa, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”

Memang tidak semua tindak-tanduk anak adalah gambaran dari cara-cara orang tuanya, sebab dalam proses pertumbuhan pribadi seseorang untuk membentuk apa yang disebut “Konsep Diri ” tidak hanya dari apa yang dilihat dan dialami bersama orang tuanya dirumah, melainkan juga ditambah dengan pengamatan dan pengalamannya dalam pergaulan sehari-hari diluar rumah. Namun para ahli umumnya sepakat bahwa peran orang tua sangat dominan dalam pembentukan watak anak.

Bertolak dari kenyataan ini maka kita ingin menfokuskan perhatian lebih kepada peranan orang tua sebagai contoh atau model bagi anak-anaknya. Kita mengetahui bahwa pendidikan dan pengajaran tidak hanya berlangsung melalui kata-kata yang disampaikan orang tua kepada anak, tetapi lebih dari itu adalah melalui tindakan mereka dan tingkah laku yan diperagakan oleh orang tua itu sendiri maupun orang dewasa lainnya yang dekat dengan kehidupan si anak.

Tanggung Jawab Keluarga

Sebuah keluarga adalah sekumpulan orang-orang, terdiri dari: ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan, sepupu, paman, bibi, kakek, nenek, ipar, dan lain sebagainya. Bahkan dikalangan suku-suku tertentu yang ketat dalam pola subkulturnya, arti keluarga dapat meluas sedemikian jauh dengan masuknya atau bergabungnya keluarga-keluarga lain sebagai konsekuensi dari suatu perkawinan salah satu anggota keluarga.

Akan tetapi dalam hal memberi keteladanan kepada anak-anak status hubungan keluarga dari orang-orang dewasa dalam keluarga itu tidak terlalu menentukan adalah hal intensitas pengaruh yang ditimbulkan, dalam arti bahwa masing-masing orang dewasa itu merupakan satu individu model (contoh perseorangan) bagi si anak. Dengan kata lain, pengaruh dari seorang dewasa pada anak-anak yang masih kecil ditentukan oleh falsafa hidupnya, nilai-nilai yang dianutnya, dan kaidah-kaidah yang dia hidupkan secara konsisten.

Menurut Oscar Torkelson, seorang penulis dan pendidik, keluarga yang efektif adalah keluarga yang mampu mengarahkan kehidupan pribadi anggota-anggota keluarga itu. Arah yang dimaksud ialah berupa tujuan hidup, niat atau maksud, dan makna dari kehidupan sebagai hasil dari nilai-nilai yang mereka hidupkan. Dengan kata lain, keluarga berperan dalam menjadikan kehidupan pribadi para anggota keluarganya berarti. Hidup yang berarti ini dipupuk sejak masih kecil, bahkan sejak bayi.

Mengomentari berbagai perkelahian antara remaja, khususnya pelajar, di Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang sempat marak pada beberapa waktu yang lalu banyak pihak yang ikut angkat bicara. Mulai dari pendidikan, orangtua, petugas keamanan, sampai para pejabat penting. Ada yang langsung menyalahkan orangtua, ada yang menyalahkan lingkungan, bahkan ada yang menyalahkan semua pihak. Beberapa orang menyebutkan tindakan anak-anak remaja itu tidak lebih dari luapan emosi yang sifatnya sementara atau sekedar kenakalan remaja biasa saja, tetapi pihak keamanan menganggapnya sebagai perbuatan yang sudah mengarah pada tindakan kriminalitas yang patut ditangani secara serius.

Sebenarnya, pertanyaan yang terbesar untuk ditanyakan dalam hal ini adalah, sejauh mana pihak orang tua—ayah, ibu, dan orang-orang dewasa lainnya—sudah memberi contoh yang baik dalam mengajarkan nilai-nilai yang benar kepada para remaja dan anak-anak itu. Kalau orang tua, baik melalui kata-kata, sikap dan tindakan, mempraktekan keberingasan, bagaimana kita mengharapkan anak-anak itu bersikap manis dan lembut?

“Orangtua dapat mengajarkan nilai-nilai mereka dengan menghidupkannya secara nyata. Kalau mereka ingin anak-anak mereka berlaku jujur, orangtua harus mempraktekkan kejujuran mereka setiap hari. Kalau mereka mau anak-anak itu bersikap sopan dan murah hati, maka merekapun harus berlaku sopan dan murah hati. Inilah cara yang terbaik bagi orangtua untuk ‘mengajar’ nilai-nilai mereka kepada anak-anak,” dikutip dari tulisan Dr. Thomas Gordon dalam bukunya yang berjudul Parent Effectiveness Training.

Menurut Dr, Gordon, salah satu alasan utama mengapa para remaja itu menolak nilai-nilai dalam masyarakat oleh karna para orangtua tidak mempraktekkan apa yang mereka ucapkan.

“Ya, orangtua dapat mengajarkan nilai-nilai mereka kalau mereka sendiri menghidupkannya. Teteapi berapa banyak orangtua yang berbuat demikian? Ajarkanlah nilai-nilai anda, namun melalui keteladanan, bukan dengan kata-kata atau otoritas sebagai orangtua. Ajarkanlah nilai apa yang telah anda hidupkan, tetapi jadilah suatu contoh yang mempraktekkan nilai-nilai itu,”

Pentingnya Waktu

Beberapa faktor diperlukan dalam memberi teladan yang baik, salah satunya adalah waktu. Bagaimana kita mengharapkan anak kita yang masih balita dapat mencontoh dari kita, kalau kita sebagai orang tua hanya berbicara dengan dia 1-2 jam saja sehari? Hubungan seperti ini hanya kelihatan mulus dipermukaan saja, sebab si anak tidak dapat memberi respon terhadap perasaan dan emosi orang tuanya. Anak ini perlu mendengar, melihat dan memperhatikan reaksi ayah dan ibunya terhadap sesuatu tindakan atau ucapannya. Dengan begitu si anak belajar untuk mengetahui mana yang baik dan tidak, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Untuk menyerap falsafah hidup dari orang lain memerlukan waktu yang cukup panjang, melalui pergaulan yang cukup akrab. Sebagian orang tua merasa bahwa anak-anak mereka akan “tahu sendiri” apa yang diinginkan dan tidak diinginkan oleh orangtuanya dengan melihat hasil dari rencana atau pekerjaan yang dibuat oleh orang tuanya. Untuk anak yang sudah mengerti hal ini mungkin benar, tetapi bagi anak-anak kecil, khususnya balita, mereka perlu mendapat penjelasan mengapa ayah atau ibu tidak memperbolehkan mereka makan selain dimeja makan? Mengapa tidak boleh melempar kaos kaki dan sepatu yang habis dipakai begitu saja? Mengapa sampah harus dibuang ditempatnya? Mengapa tidak boleh mengganggu dan memukili teman?.

Untuk semuanya itu maka keluarga harus lebih sering berkumpul bersama-sama, saling membagi rasa dan emosi. Anak-anak kecil tidak akan tumbuh begitu saja seperti kembang di hutan, dimana bunga mawar akan mekar menjadi bunga mawar bukan kembang sepatu; melainkan seorang anak tumbuh berdasarkan pengarahan yang ia terima, baik melalui berbagai cara yang sederhana namun berkesan.

Selain jumblah waktu berkumpul bersama-sama, factor yang penting juga adalah kualitas waktu atau bagaimana waktu bersama-sama itu dimanfaatkan. Ibu bisa aja berada dirumah sepanjang hari dengan anak balitanya, tetapi kalau masing-masing sibuk dengan kegiatan sendiri maka waktu bersama-sama dirumah itu kurang bermutuh. Mereka terpisah walaupun berada di tempat yang sama. Si ibu tidak melihat bagaimana si anak menunjukkan kekesalannya, mereka senang, bingung atau frustasi. Dengan apa yang kita hadapai sesaat. Sebab anak itu mungkin saja hanya di tinggal sendiri dengan boneka-boneka atau mobil-mobilannya.

Menurut Dr. Robert Schofield dari Amerika Institute of Family Relations di Los Angeles, nilai-nilai kehidupan diajarkan dengan sangat baik melalui keteladanan dan pengajaran sekaligus. Pada waktu ayah mengemudikan mobil bersama seluruh keluarga, dia dapat menjelaskan mengapa perlu mengemudikan mobil dengan hati-hati, bagaimana harus menjaga kesabaran, bagaimana menghormati pengguna jalan lainnya, dan sebagainya. Sementara ibu yang sedang memasak bisa mengajarkan kepada anak perempuannya mengapa harus memilih makanan yang bergizi, kenapa alat-alat masak harus bersih. Tentu suasana demikian akan ada tanya jawab yang berarti terjadi komunikasi dua arah antara anak dan orang tua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *