[AkhirZaman.org] Seorang eksekutif wanita tampak bergegas ke bandara karena akan terbang ke Chicago. Setelah check-in, dia mengamati layar monitor, ternyata dia masih mempunyai waktu satu jam lagi sebelum berangkat. Waktu yang tersedia dipakainya untuk membeli sebuah buku, kemudian dimasukkan buku itu ke dalam tasnya. Iapun singgah sebentar di toko kue dan membeli satu paket kue kering “Chocolate Chips” lalu dimasukkannya juga ke dalam tasnya.
Setibanya di ruang tunggu, wanita itu duduk sambil membaca buku yang baru dibelinya. Ia membaca dengan serius sehingga lupa akan keadaan sekitarnya. Namun tiba-tiba datang seorang pria yang tampangnya kurang menarik, rambutnya tidak tersisir rapih dan duduk di dekat wanita itu dengan jarak sebuah kursi di antara mereka. Wanita itu tetap menekuni buku bacaannya, walaupun ia merasa tidak enak dengan kehadiran pria itu. Sambil membaca buku, wanita itu mendengar pria itu mulai memakan chocolate chips yang terletak di atas kursi di antara mereka berdua.
Wanita itu memandang pria itu dengan perasaan jengkel, marah dan tidak sabar. Di dalam hatinya wanita itu berkata, “Lelaki ini memang tidak sopan; ia memakan kue saya tanpa minta izin atau permisi. Dasar, lelaki tidak tahu adat!” Setelah beberapa saat, kue di dalam paket itu semakin habis. Ketika pria ini memakan satu kue, wanita itu pun mengambil satu kue. Mereka sepertinya balapan memakan kue itu. Wanita itu memandang pria itu dengan perasaan marah, tapi tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya di dalam paket itu tinggal tersisa sebuah kue. Sambil memandang wanita itu, pria itu mengambil kue terakhir itu lalu dipecahkannya menjadi dua. Setengahnya dikembalikan ke dalam paket untuk wanita itu, dan yang setengahnya dimakannya. Wanita itu sangat marah. Dalam kemarahannya itu ia mendengar pengumuman bahwa semua penumpang dengan tujuan Chicago dipersilahkan masuk ke dalam pesawat. Wanita itu berdiri dengan kesal sambil menyentakkan kakinya lalu pergi meninggalkan pria itu.
Setelah duduk dengan tenang di dalam pesawat, dalam kekesalan, wanita itu ingin melanjutkan membaca bukunya. Ia mengambil tasnya, diletakkan di atas pangkuannya, kemudian membuka tasnya hendak mengambil buku itu. Tiba-tiba matanya terbelalak karena di dalam tasnya terdapat kue “chocolate chips” yang masih utuh, belum dimakan bahkan belum dibuka sama sekali. Kepalanya mendadak menjadi besar karena terkejut. Lalu kue siapa yang ia makan bersama pria tadi? Tentu itu kue milik pria itu! Betapa malunya wanita itu. Bagaimana caranya ia akan meminta maaf kepada pria yang baik hati itu, yang semula disangkanya sebagai pria yang tidak sopan, tidak punya adat istiadat. Rupanya wanita itu sendirilah yang tidak sopan, tidak tahu etika. Bagaimana caranya ia minta maaf kepada pria itu? Pintu pesawat telah ditutup, kapan lagi ia bisa meminta maaf pada pria itu?
Cerita ini adalah benar terjadi. Kira-kira apa yang dipikirkan pria itu terhadap wanita itu? Apakah ia mempunyai pikiran yang sama dengan wanita itu? Yang telah dengan seenaknya menuduh pria itu tidak sopan? Pria itu ternyata sungguh baik dan malahan dengan rela membiarkan kuenya dimakan oleh wanita itu.
Kadang-kadang di dalam kehidupan ini kita menjadi seperti wanita itu. Kita yang membuat kesalahan, tetapi kita dengan cepat menuduh orang lain yang menjadi penyebab kita membuat kesalahan tertentu.
Inti Pelajaran
Pria itu atau kita juga mungkin dengan mudah bisa memaafkan kesalahan kecil seperti yang dilakukan wanita itu? Tetapi bagaimana dengan kesalahan besar yang dilakukan orang lain kepada kita? Alkitab menyuruh kita untuk mengampuni orang lain bila mereka bersalah kepada kita dan kita pun perlu meminta pengampunan bila kita bersalah kepada orang lain. Efesus 4:31, 32 berkata: “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”
Suatu ketika Betty Jane Spencer bertanya kepada pendetanya, “Pendeta, apakah saya harus mengampuni orang yang telah membunuh keempat anak laki-laki saya?” Beberapa tahun lalu, sekelompok anak muda yang dipengaruhi obat bius telah membongkar “farmhouse” di Indiana milik Betty dan membunuh keempat anak laki-laki-nya, bahkan mereka pun menembak Betty dan ditinggalkan hampir mati. Sejak masuk penjara, salah seorang pembunuh telah menulis surat kepada Betty dan mengatakan kepada Betty bahwa ia “telah menerima Kristus” dan ia meminta pengampunan dari Betty. Betty Jane ingin jawaban yang mewakili tradisi gereja. “Apakah saya sebagai seorang Kristen harus mengampuni di dalam situasi ini? Apakah yang dimaksud gereja dengan ‘pengampunan?’ Pembunuh itu tidak mengatakan penyesalan,. . . dia hanya meminta pengampunan Apa yang harus saya buat?”
Pendeta ini mengatakan kepada Betty agar memberikan waktu 6 bulan sebelum dia bisa memberi jawaban. Dalam jangka waktu 6 bulan pendeta ini pergi mencari semua korban pembunuhan, keluarga korban, dan meng-interview mereka. Pendeta ini juga mempelajari tradisi orang Yahudi dan melihat apa yang dikatakan gereja tentang pengampunan.
Semua korban yang berbicara dengan pendeta sangat terganggu dengan masalah pengampunan. Mereka selalu diminta untuk mengampuni. Tetapi kebanyakan dari korban menolak untuk mengampuni karena mereka memusatkan perhatian pada 2 elemen:
1) pengampunan sebagai melupakan dan
2) pengampunan sebagai suatu permisi, suatu alasan
Semua korban kekerasan kriminal mengatakan bahwa mereka tidak bisa melupakan kekasih mereka yang terbunuh. Apakah “menerima Kristus” menjadi maaf untuk apa yang pembunuh telah lakukan?
Pendeta ini juga kemudian mengingat beberapa kali ia mengkhotbahkan “dosamu sudah diampuni,” kemudian ia sendiri membayangkan apa yang dikatakan oleh istri-istri yang sering dipukul suami mereka. Mungkin istri-istri itu di dalam hati mengatakan, “Siapa yang memberikan otorisasi bagimu untuk mengampuni orang yang memukul saya?”
Para korban meminta pendeta untuk tidak menuntut agar mereka memberikan pengampunan. Betty Jane Spencer sudah menerima kenyataan untuk memandang hari depan tanpa keempat orang anaknya. Betty adalah pemimpin nasional organisasi korban kekerasan. Tetapi ia tidak mau berhubungan dengan para pembunuh anak-anaknya. Dia tidak punya hubungan apa-apa dengan pembunuh sebelum pembunuhan terjadi, dan dia tidak mau berhubungan dengan mereka setelah itu. Dia berharap biarlah mereka ciptakan sendiri masa depan mereka, tetapi jangan ikut sertakan dirinya.
Betty Jane percaya bahwa Tuhan adalah penuh rahmat dan ia berharap para pembunuh anak-anaknya akan menemukan hubungan murni dengan Tuhan. Tetapi jangan meminta dia untuk bertanggung jawab bagi keselamatan mereka. Jangan minta dia pergi kepada mereka dan membujuk mereka mengenal Tuhan. Biarlah wakil gereja saja yang melakukannya, bukan dirinya. Bagi dia menerima kenyataan itu sudah lebih dari cukup.
Setelah enam bulan pendeta meng-interview para korban kriminal, dia kembali kepada Betty dan mengatakan “jangan mengampuni.” Kenapa? Karena pendeta ini mempelajari tradisi gereja Yahudi.
Dapatkah semua dosa diampuni? Jawabannya adalah Ya! Di dalam Markus 3:28-29 tertulis: Aku berkata kepadamu: “Sesungguhnya semua dosa dan hujat anak-anak manusia akan diampuni, ya, semua hujat yang mereka ucapkan. Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa kekal.”
Pengampunan tidak didasarkan pada besarnya dosa, melainkan besarnya CINTA/KASIH dari pengampun (yang memberi pengampunan). Tak ada dosa yang terlalu besar yang Tuhan tidak bisa ampuni.
Pengampunan berarti bahwa Tuhan melihat kita seolah-olah kita tidak pernah berbuat dosa. Jika kita mempunyai pengalaman seperti Betty Jane Spencer, keempat anak kita dibunuh oleh orang-orang yang tidak kita kenal, dan kita ditembak dan dibiarkan hampir mati, apakah kita siap mengampuni sang pembunuh? Apakah arti pengampunan bagi anda?
Pengampunan berdasarkan Metafora Filsafat
Pengampunan seolah-olah terjadi pertukaran barang, atau sebuah transaksi
• Memberi pengampunan, meminta pengampunan, menerima pengampunan, tidak ada benda yang ditukar tetapi ada kebebasan yang diterima atau diberi.
• Seseorang bermohon, mencari pengampunan, dan yang lain memberikannya.
Pengampunan berdasarkan Metafora Alkitabiah
Banyak metafora yang digunakan Yesus di dalam pengajaran-Nya, cerita-cerita, dan simbol-simbol yang menyatakan pengampunan.
Sebuah Hutang – (Matius 18:21-35). Pembatalan surat hutang, kecil dan mudah terlupakan, atau besar dan tidak bisa dibayar, melambangkan pengampunan.
Sebuah Batu – (Yohanes 8:2-11). Batu eksekusi yang tak seorang pun berani melemparkan ke arah wanita berdosa itu karena semua orang berdosa.
Sebuah gaun, cincin, sandal, dan sebuah pesta – (Lukas 15:22-24). Anak yang hilang kembali ke rumah menerima empat simbol penerimaan – pakaian, status, harga diri, dan pesta.
Sebuah ciuman – (Lukas 15:20). Kembalinya anak yang hilang diterima oleh ayahnya dengan perasaan kasihan. Ia lari mendapatkan anaknya dan merangkul serta menciumnya.
Lumpuh disembuhkan – (Matius 9:1-8). Otot yang lumpuh dibaharui. Tangan dan kaki bereaksi dan kesembuhan melalui pengampunan terjadi.
Buta disembuhkan – (Markus 4:10-12). Kesanggupan untuk melihat kembali, mendengar kembali, memandang realitas kehidupan dan “memalingkan wajah” untuk “menerima” pengampunan Tuhan.
Tata Cara di Meja Makan – (Matius 6:11-12; Yohanes 13:18; Matius 26:26-29). Sesuai dengan kata Aramaic untuk pengampunan, yang asal katanya “meja”, Yesus mengubahkan membagi-bagi makanan di atas meja ke dalam metafora pengampunan. Anak yang sulung, kakak dari anak yang hilang tidak datang ke meja (tidak mau mengampuni). Di dalam “Doa Bapa Kami” kita katakan “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Dan sakramen pengampunan adalah roti dan anggur yang dibagi-bagikan di atas meja Tuhan.
Ketika suami saya mengembalakan sebuah jemaat di Minahasa, ada seorang anggota jemaat yang marah kepadanya. Alasannya karena ia belum pernah dilawat oleh suami saya. Kedongkolannya terhadap suami saya semakin menjadi-jadi. Ketika semua anggota jemaat berkumpul bersama-sama untuk mengadakan kerja bakti di gereja, ketua jemaat datang kepada suami saya dan mengatakan, “Pendeta, jangan dekati dia. Dia sedang marah sekali. Bahaya!” Suami saya tidak menghiraukan nasehat ketua jemaat itu. Sebaliknya, ia mendekati orang yang marah itu dan mengajaknya pulang ke rumahnya, dengan alasan bahwa suami saya ingin makan makan di rumahnya. Marahnya hilang dan diajaknya suami saya makan siang di rumahnya. Meja merupakan salah satu tempat pengampunan. Suami istri yang bersalah paham segera pergi ke meja makan, meja perundingan untuk rekonsiliasi.
Ajakan
Jika ada salah paham di antara kita, marilah kita selesaikan dengan cara datang ke meja makan, makan bersama dan membagikan makanan, yang berarti mengampuni orang yang besalah kepada kita. Mungkin filsafat inilah yang diambil oleh para pemimpin dunia. Untuk suatu rekonsiliasi, semua pemimpin diajak datang ke meja perundingan.
Yesus tidak mengampuni dalam arti mengembalikan orang itu kepada status quo. Tindakan-Nya ialah menuntun mereka kepada perubahan agar mereka bisa memandang Tuhan yang benar yang lebih tinggi dari budaya gereja dan budaya masyarakat dalam hal mengampuni.
Setelah kita merenungkan firman Allah tentang pengampunan dalam ulasan ini, apakah jawaban kita bila ditanya oleh Betty Jane Spencer? Ya, kita harus mengampuni dalam situasi apa pun.
[WAO]