[AkhirZaman.org] Tanggal 21-22 April lalu, Markas besar PBB di New York menjadi tuan rumah untuk suatu pertemuan yang akan menyatukan Negara-negara Anggota PBB dengan para pemimpin agama, guna membahas cara-cara mempromosikan toleransi dan rekonsiliasi, serta untuk mengatasi tantangan melawan radikalisasi dan ekstremisme.
Dalam pertemuan itu tema utama adalah mempromosikan toleransi dan rekonsiliasi, membina perdamaian, masyarakat inklusif dan melawan kekerasan ekstrimisme.
Pertemuan Tingkat Tinggi yang dilaksanakan selama dua hari itu menawarkan sebuah landasan untuk Negara-negara Anggota dan pemimpin agama dari seluruh dunia, bersama dengan para pemangku kepentingan lainnya, untuk membahas cara-cara mempromosikan toleransi dan rekonsiliasi, serta untuk mengatasi tantangan melawan radikalisasi dan ekstremisme.
Hari pertama pertemuan setelah diawali dengan sesi pembukaan, dilanjutkan dengan rapat pleno tingkat tinggi dan diskusi panel interaktif. Peserta memiliki kesempatan untuk mendiskusikan berbagai strategi praktis untuk mendorong perdamaian, masyarakat inklusif, dan untuk melawan ancaman radikalisasi dan ekstremisme kekerasan.
Hari kedua dipusatkan pada dialog antar agama, menyajikan pernyataan tingkat tinggi dan diskusi panel interaktif tentang peran pemimpin agama dalam mempromosikan toleransi untuk keragaman, kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia.
Pertemuan ini dimaksudkan untuk menjadi contoh mengenai kuatnya masyarakat beragam dapat mengatasi berbagai tantangan secara bersama-sama. Dan di akhir dari pertemuan itu menghasilkan satu suara bulat untuk meningkatkan perdamaian dunia dan toleransi di antara budaya, etnis dan agama.
Presiden Majelis Umum PBB, Sam Kutesa, menyatakan dalam pidato penutupannya menyoroti mengenai kekerasan yang dilakukan atas nama agama dan kesalahan terhadap agama. Dia juga mengatakan bahwa “kolaborasi dalam menampilkan banyak pesan yang kuat dan inspiratif dari para pemimpin agama dari seluruh berbagai agama. Pertukaran ide-ide dan solusi kami dapat membantu menginformasikan jawaban bersama kita terhadap meningkatnya ancaman intoleransi dan ekstremisme, meskipun banyak pembicara menekankan, dialog terus akan dibutuhkan karena kami berusaha untuk mengatasi ancaman yang berkembang.”
“Kita harus secara individu dan kolektif melipatgandakan usaha kita untuk mempromosikan saling menghormati, toleransi, dialog dan rekonsiliasi untuk melawan intoleransi, kebencian, permusuhan, fanatisme dan diskriminasi. Kita perlu melampaui toleransi terhadap prinsip-prinsip saling menghormati, pemahaman dan penerimaan, pengakuan penuh nilai individu dan martabat setiap orang.”
Dan lebih jauh dia juga menekankan pentingnya “para pemimpin agama memiliki peran penting untuk memainkan, dan kita harus mendukung mereka dalam menyebarkan pesan perdamaian.”
Di hari penutupan pertemuan itu juga tidak ketinggalan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-mon, memberikan pidatonya. “Pemimpin agama terkemuka, Anda memiliki khalayak luas, pengaruh besar dan tanggung jawab yang besar. Saya mengandalkan Anda berdiri di masyarakat demi kebaikan bersama.”
Dengan memfokuskan pentinya kemanusiaan dia mengatakan, “Marilah kita berani menentang kekuatan ekstremisme kekerasan . . . Kita tidak boleh melupakan kemanusiaan kita dan tugas kita bersama untuk menanggapi.”
Dan untuk menutup pernyataannya Ban Ki-moon mengatakan, “Saya mengandalkan keterlibatan yang kuat dan komitmen dan kepemimpinan bagi dunia di mana setiap orang dapat hidup dengan martabat dan keharmonisan dan kesejahteraan.”
Bila kita memperhatikan berita di atas sepertinya hati kita dikobarkan untuk menciptakan perdamaian di sekitar kita yang harus diawali dengan toleransi dan saling menghormati serta menghilangkan perbedaan, intoleransi, fanatisme dan ekstrimisme. Untuk menekankan betapa pentingnya itu semua adalah karena alasan kemanusiaan, keharmonisan dan demi kebaikan bersama.
Namun tidakkah Anda melihat keganjilan ketika dua petinggi PBB itu menyatakan adanya indikasi untuk menyatukan semua pendapat dari para pemimpin agama di dunia untuk perdamaian?
Saling menghormati perbedaan keyakinan dan beragama adalah baik, dan Tuhan sendiri tidak mengintervensi tiap insan manusia untuk patuh menyembah kepada-Nya. Namun jika atas nama perdamaian harus dicampurkan ajaran yang beragam dari berbagai agama, maka itu bukanlah cara yang tepat.
Kita sepakat bahwa kejahatan dan kekerasan seperti yang terjadi di Irak dan Suriah oleh kelompok agama yang menamakan dirinya ISIS harus ditindak dan dihentikan. Namun jika harus mengurangi bobot dari pengajaran demi alasan keseragaman dengan tujuan untuk menekan kekerasan maka itu bukanlah jalan keluar.
Sebagai contoh saya yang adalah orang Kristen yang menjunjung tinggi Alkitab sebagai satu-satunya dasar iman, maka bagi saya pribadi tidaklah bisa untuk meninggalkan azas-azas dasar kebenaran yang saya yakini demi menghilangkan perbedaan dengan penganut agama lain. Bahkan jika yang saya yakini begitu bertentangan dengan apa yang orang lain yakini dan memberikan kesan telah “menyerang” ajaran dan system keagamaan agama lain, maka tidaklah mungkin bagi saya untuk berbohong jika orang lain menanyakan apa yang saya yakini sebagai kebenaran.
Agama adalah demi kebaikan. Dan Kekristenan mengajarkan demikian ketika nabi Yesaya setelah menubuatkan kelahiran Yesus dia memberi gelar kepada-Nya sebagai “Raja Damai” (Yesaya 9:5). Dan setelah kelahiran-Nya Alkitab mencatat tampak malaikat bersama bala tentara sorga menyanyikan pujian untuk Raja mereka, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:14).
Namun mengapa dua ayat di atas bertentangan dengan pernyataan Yesus yang mengatakan, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Matius 10:34)? Apakah Yesus sengaja berkontradiksi dengan pernyataan nabi Yesaya dan nyanyian pujian para malaikat pada saat kelahiran-Nya? Apakah kemudian setelah memulaikan pekerjaan-Nya di dunia untuk menjalankan rencana keselamatan Dia berubah menjadi “orang gila yang ekstrem dan keras”? Tidak.
Kristus memperkenalkan Kekristenan sebagai agama yang mengajarkan keadamaian karena kabar Injil Yesus itu adalah berita damai. Kekristenan adalah sebuah sistem, yang bila diterima dan dituruti akan menyebarkan damai, keselarasan dan kebahagiaan di seluruh bumi ini. Agama Kristus akan mempersatukan dalam ikatan persaudaraan yang erat semua orang yang menerima pengajaran-Nya. Misi Yesus adalah memperdamaikan umat manusia dengan Allah, demikian juga antara sesama manusia.
Akan tetapi kebanyakan dunia ini berada di bawah pengendalian Setan, musuh Kristus yang paling kejam. Kabar Injil menyatakan kepada mereka prinsip-prinsip kehidupan yang seluruhnya bertentangan dengan tabiat dan keinginan-keingian mereka, dan mereka lalu bangkit melawannya. Mereka membenci kesucian yang menyatakan dan menyalahkan dosa-dosa mereka. Dan mereka menganiaya dan membinasakan orang-orang yang membujuk mereka menerima tuntunan yang benar dan kudus. Dalam pengertian inilah (kebenaran yang ditinggikan kadang-kadang membawa kebencian dan permusuhan) kabar Injil itu disebut pedang.
Dengan demikian, bilamana Kekristenan harus dikompromikan supaya terjadi persesuaian dengan ajaran lain demi terciptanya perdamaian, apakah agama ini kelak nantinya masih bisa disebut Kristen? Atau mungkin akan tetap ada Islam yang sejati atau Budha yang murni jika disesuaikan atau dipersatukan dengan kepercayaan lain?
Anda mungkin berpendapat bahwa saya berpikir terlalu jauh mengenai dampak yang akan terjadi dari pertemuan yang terjadi di New York satu minggu lalu. Namun jika Anda mempelajari lebih dalam mengenai nubuatan Wahyu 13 maka Anda akan mengerti mengapa saya berpikir demikian.
Wahyu 13 menghadirkan seekor binatang dari dalam laut yang merepresentasikan satu kekuatan politik dan agama yang “kepadanya diberikan kuasa atas setiap suku dan umat dan bahasa dan bangsa” (ayat 7). Dan di ayat 11 diperkenalkan satu kekuatan politik yang dilambangkan dengan binatang lain yang keluar dari dalam bumi yang akan “menyebabkan seluruh bumi dan semua penghuninya menyembah binatang pertama (dari dalam laut), yang luka parahnya telah sembuh” (ayat 12).
Bila Anda perhatikan dua kekuatan yang dilambangkan dengan dua binatang di atas maka Anda akan mendapati bahwa yang diperbincangkan di atas adalah tentang agama. Binatang pertama yang keluar dari dalam laut dikatakan akan berkuasa atas seluruh dunia. Namun tidak hanya mengenai berkuasa atas politik, melainkan juga memiliki kekuasaan di bidang agama atas seluruh dunia karena ayat 12 mengatakan bahwa “seluruh bumi dan semua penghuninya menyembah binatang pertama, yang luka parahnya telah sembuh.”
Namun bisakah sebuah agama akan memiliki pengikut dari seluruh penduduk dunia sekalipun dia mengajarkan semua jenis kebaikan? Tentu saja tidak. Akan ada orang-orang yang tidak akan mengikut entah karena tidak peduli agama, atau lebih teguh berpegang pada agama lain. Lalu apa yang akan dilakukannya untuk memiliki pengikut sebagian besar penduduk dunia? Kembali ke ayat 12 untuk mendapat jawabannya: akan ada kekuatan lain yang kuat di politik untuk memaksakan seluruh dunia mengikut mereka. Namun sebelum itu terjadi, maka dia akan gunakan berbagai cara supaya dapat menarik perhatian dunia atas nama persatuan dan perdamaian.
Dunia memang semakin rusak karena dosa yang tampak melalui berbagai bencana seperti yang belum lama ini terjadi gempa bumi di Nepal. Atau peperangan, entah karena etnis, politik, budaya, atau bahkan agama.
Sebagian besar negara di dunia sepakat untuk menyatukan hati demi keamanan dan perdamaian. Namun setan sangat cerdik sehingga dia menginspirasi orang-orang jahat untuk melakukan kekerasan, bahkan jika itu atas nama agama. Sehingga atas dasar demikianlah memunculkan gagasan dari berbagai pihak untuk menyatukan prinsip demi perdamaian.
Namun dengan berbagai peristiwa dan gerakan persatuan yang mengatasnamakan perdamaian seluruh dunia, maka inilah tanda yang semakin menunjuk pada satu masa kesukaran bagi umat Tuhan sebagaimana yang dinubuatkan di dalam Wahyu 13:15-17.
Tetapi ingatlah bahwa hanya Yesus yang dapat memberi “damai sejahtera di bumi di antara manusia” (Lukas 2:14). Namun dalam satu sikap yang tegas Yesus menyatakan satu prinsip bahwa “kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Matius 6:24). Kompromi terhadap kebenaran adalah bukan kehendak Tuhan.
Tuhan merindukan umat-Nya tetap setia dan menjauhkan diri dari kompromi meski kesukaran harus terjadi kepada mereka. Rasul Paulus menyatakan bahwa “setiap yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya” (2 Tim. 3:12).
Satu hal yang patut untuk diingat bahwa Yesus menderita untuk kita lebih dari yang seseorang pengikut-Nya derita dari kekejaman orang-orang jahat. Mereka yang dipanggil untuk menahan siksaan dan mati syahid adalah mengikuti jejak Anak Allah yang kekasih.