[AkhirZaman.org] Pada artikel kali ini kita akan melihat hasil penelitian yang cermat dan objektif dari beberapa pihak terhadap isu-isu konspirasi yang menonjol seperti “Imperial Al-Qaeda”, ”Serangan 9/11”, dan “Apokaliptis 2012”, dalam kaitannya dengan perjalanan Amerika Serikat sebagai Superpower yang dinubuatkan.
Imperial Anatomi Al-Qaeda
Oleh: Andrew Gavin Marshall
Ulasan ini adalah suatu pengamatan yang cermat mengenai “Imperial Anatomi Al-Qaeda” menguji asal-usul sejarah geopolitik dan sifat dari apa yang sekarang kita kenal sebagai Al-Qaeda, yang sebenarnya merupakan jaringan intelijen Anglo-Amerika sebagai aset teroris yang digunakan untuk memajukan tujuan empirium Amerika dan NATO di berbagai daerah di seluruh dunia.
Club Safari
Gerald Ford
Gerald FordSetelah pengunduran diri Nixon sebagai Presiden, Gerald Ford menjadi Presiden Amerika Serikat yang baru pada tahun 1974. Henry Kissinger tetap sebagai Menteri Luar Negeri dan ke dalam pemerintahan Ford ditunjuk dua orang yang dikemudian hari memainkan peran penting dalam menentukan masa depan Imperium Amerika: Mereka adalah Donald Rumsfeld sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata, dan Dick Cheney, sebagai Deputi Asisten Presiden. Sedangkan Wakil Presiden adalah Nelson Rockefeller, saudara David Rockefeller. Ketika Donald Rumsfeld diangkat menjadi Menteri Pertahanan, Dick Cheney dipromosikan menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Ford juga menunjuk seorang pria bernama George H.W. Bush sebagai Direktur CIA.
Henry Kissinger
Pada tahun 1976, sebuah koalisi lembaga intelijen dibentuk, yang disebut Club Safari. Hal ini menanndai kebijakan serta koordinasi yang sangat rahasia di antara berbagai lembaga intelijen, yang kemudian berlangsung selama beberapa dekade. Club ini dibentuk pada saat CIA terlibat dalam pengawasan domestik atas skandal Watergate dan penyelidikan Kongres terhadap kegiatan rahasia CIA, sehingga memaksa CIA menjadi lebih rahasia lagi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
Turki bin Faisal
Pada tahun 2002, Kepala Dinas Intelijen Saudi, Pangeran Turki bin Faisal menyampaikan pidato di mana ia menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan yang lebih leluasa bagi CIA, adalah dengan “punya kelompok negara-negara yang secara bersama-sama harapannya adalah melawan komunisme dan mendirikan apa yang disebut dengan Club Safari. Negara-negara anggota Club Safari termasuk Perancis, Mesir, Arab Saudi, Maroko, dan Iran [di bawah] Syah “(Peter Dale Scott, The Road to 9/11: Wealth, Empire, and the Future of America. University of California Press: 2007: page 62).
Namun.,” untuk Club Safari diperlukan jaringan bank untuk membiayai operasi intelijen. Dengan restu George H.W. Bush yang waktu itu menjabat sebagai Direktur CIA, “Kepala Dinas Intelijen Saudi, Kamal Adham,” mengubah sebuah bank dagang kecil Pakistan menjadi Bank Kredit dan Perdagangan Internasional (BCCI), yang kemudian menjadi mesin pencucian uang di seluruh dunia, membeli bank-bank di seluruh dunia untuk membuat jaringan aktivitas kegiatan pencucian uang terbesar dalam sejarah “(Ibid, page 63).
Alexandre de Marenches
Sebagai direktur CIA, George H.W. Bush “mempererat hubungan yang kuat, baik dengan intelijen Arab Saudi maupun Syah Iran. Dia bekerja sama dengan Kamal Adham, Kepala Intelijen Saudi, adik ipar Raja Faisal dan orang awal dalam BCCI “Adham sebelumnya bertindak sebagai “penghubung antara [Henry] Kissinger dengan [Presiden Mesir] Anwar Sadat.” Dalam 1972. Pada 1976, Iran, Mesir, dan Arab Saudi membentuk Club Safari “untuk secara langsung melakukan operasi intelijen mereka sendiri yang sekarang sulit bagi CIA,” yang kegiatannya sebagian besar diselenggarakan oleh kepala intelijen Prancis, Alexandre de Marenches (Ibid, page 62).
The “Arc of Crisis” dan Revolusi Iran
Jimmy Carter
Ketika Jimmy Carter menjadi Presiden pada tahun 1977, ia mengangkat lebih dari dua lusin anggota Komisi Trilateral (TC) menduduki berbagai jabatan dalam pemerintahannya, TC merupakan think tank internasional yang dibentuk oleh Zbigniew Brzezinski dan David Rockefeller pada tahun 1973. Brzezinski mengundang Carter untuk bergabung dengan Komisi Trilateral, dan ketika Carter menjadi Presiden, Brzezinski diangkat menjadi Penasihat Keamanan Nasional; Cyrus Vance, juga anggota Komisi Trilateral diangkat menjadi Menteri Luar Negeri; dan Samuel Huntington, seorang anggota Komisi Trilateral, ditunjuk menjadi Koordinator Keamanan Nasional dan Deputi Brzezinski. Penulis dan peneliti Peter Dale Scott yang pantas mendapatkan banyak penghargaan untuk analisa yang komprehensif tentang peristiwa menjelang dan selama Revolusi Iran dalam bukunya, “The Road to 9/11”,* yang menyediakan banyak informasi di bawah ini.
Samuel Huntington
Samuel Huntington dan Zbigniew Brzezinski adalah dua orang yang menentukan posisi kebijakan Amerika Serikat dalam Perang Dingin, dan kebijakan Amerika Serikat-Sovyet yang mereka ciptakan disebut dengan, “Kerjasama dan Persaingan (“Cooperation and Competition,”),” di mana Brzezinski akan menekankan untuk “Kerjasama” ketika berbicara kepada pers, namun secara pribadi mendorong untuk melakukan “kompetisi” Jadi, sementara Menteri Luar Negeri Cyrus Vance mengikuti detente dengan Uni Sovyet, Brzezinski mendorong supremasi Amerika atas Uni Sovyet. Brzezinski dan Vance akan
bersikap tidak setuju pada hampir setiap masalah (Ibid, pages 66-67).
Zbigniew Brzezinski
Pada tahun 1978, Zbigniew Brzezinski menyampaikan pidato di mana ia menyatakan, “Sebuah busur krisis (The Arc of Crisis ) membentang di sepanjang pesisir Samudra Hindia, dengan struktur sosial dan politik yang rapuh di wilayah yang sangat penting untuk kita terancam dengan fragmentasi. Kekacauan politik yang dihasilkan juga bisa diisi oleh elemen-elemen yang bermusuhan nilai-nilai dan yang bersimpati kepada musuh kita. “The Arc of Crisis membentang dari Indocina ke Afrika Selatan, meskipun, lebih khusus, wilayah khusus terfokus pada ” bangsa-bangsa yang tinggal membentang di seluruh sisi Selatan Uni Sovyet dari anak Benua India sampai ke Turki, dan lebih lanjut dari selatan melalui Semenanjung Arab ke Tanduk Afrika, “pusat” gravitasi dari wilayah busur ini adalah Iran, negara keempat terbesar produsen minyak di dunia dan yang selama lebih dari dua dekade merupakan sebuah benteng kekuatan militer dan ekonomi Amerika Serikat di Timur Tengah. Setelah berlangsung selama 37 tahun dimana pemerintahan Shah Mohammed Reza Pahlevi sudah hampir berakhir, selama berbulan-bulan muncul kerusuhan sipil yang terus meningkat dan disusul revolusi” (HP-Time, The Crescent of Crisis. Time Magazine: January 15, 1979:
http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,919995-1,00.html)
Cyrus Vance
Dengan meningkatnya ketidakpuasan di kawasan itu, “Terdapat gagasan bahwa pasukan Islam dapat digunakan untuk melawan Uni Sovyet. Ini adalah teori the Arc of Crisis, dan busur Islam dapat dimobilisasi untuk menahan Sovyet. Ini adalah konsep Brzezinski “(Peter Dale Scott, op. cit., page 67). Sebulan sebelum pidato Brzezinski pada bulan November 1978.,” Presiden Carter menunjuk George Ball, kelompok Bilderberg yang juga anggota Komisi Trilateral, yang mengepalai gugus tugas khusus Iran Gedung Putih di bawah Dewan Keamanan Nasional Brzezinski. “Lebih lanjut.,” Ball merekomendasikan Washington untuk menarik dukungan kepada Shah Iran dan mendukung oposisi fundamentalis Islam pimpinan Ayatollah Khomeini. George Ball “mengunjungi” Iran dengan misi rahasia (F. William Engdahl, A Century of War: Anglo-American Oil Politics and the New World Order. London: Pluto Press, 2004: page 171).
Syah Reza Pahlevi
Sepanjang 1978, Shah berada dalam pengaruh bahwa “pemerintahan Carter sedang merencanakan untuk menggulingkan rezimnya” Pada 1978, Ratu dan istri Shah, mengatakan Manouchehr Ganji, seorang menteri dalam pemerintahan Shah, mengatakan “Saya ingin memberitahu Anda, bahwa Amerika sedang melakukan manuver untuk menurunkan Shah, “dan ia terus mengatakan bahwa ia percaya hal itu” bahkan mereka ingin menggulingkan rezim (Manouchehr Ganji, Defying the Iranian Revolution: From a Minister to the Shah to a Leader of Resistance. Greenwood Publishing Group, 2002: page 39).
Duta Besar Amerika Serikat untuk Iran, William Sullivan, berpikir bahwa revolusi akan berhasil, dan mengatakan hal ini kepada Ramsey Clark, mantan Jaksa Agung Amerika Serikat di bawah administrasi Johnson, serta kepada profesor Richard Falk, ketika mereka mengunjungi Sullivan di Iran pada tahun 1978. Clark dan Falk kemudian pergi dari Iran ke Paris untuk mengunjungi Khomeini yang ada di pengasingan. James Bill, seorang penasihat Carter, merasa bahwa, “gerakan keagamaan yang lahir dengan bantuan Amerika Serikat akan menjadi teman alami dari Amerika Serikat” (Ibid, page 41).
Ayatullah Khomeini
Juga menarik adalah fakta bahwa BBC Inggris sehari-hari di Iran menyiarkan program bahasa Persia-pro-Khomeini, sebagai bentuk halus dari propaganda, yang “memberi kredibilitas atas persepsi bahwa Amerika Serikat dan Inggris mendukung Khomeini” (Ibid). BBC menolak untuk memberikan waktu kepada Syah untuk merespon, dan Syah secara berulang-kali meminta kepada BBC namun tidak berhasil ” (F. William Engdahl, A Century of War: Anglo-American Oil Politics and the New World Order. London: Pluto Press, 2004: page 172).
Dalam pertemuan Grup Bilderberg bulan Mei 1979, Bernard Lewis, seorang sejarawan Inggris yang berpengaruh (anggota Bilderberg), menyajikan strategi Inggris-Amerika yang “mendukung gerakan radikal Ikhwanul Muslimin berada di belakang Khomeini, dalam rangka untuk mempromosikan Balkanisasi seluruh wilayah Muslim di Timur Dekat yang berhubungan dengan garis kesukuan dan agama. Lewis berpendapat bahwa Barat harus mendorong otonomi kelompok-kelompok seperti Kurdi, Armenia, Maronit Lebanon, Koptik Ethiopia, Azerbaijan Turki, dan sebagainya. Kekacauan itu akan tersebar dengan apa yang disebut sebagai ‘the Arc of Crisis,’ yang akan jatuh ke wilayah Muslim Uni Sovyet” (Ibid, page 171). Selanjutnya hal itu akan mencegah pengaruh Sovyet masuk ke Timur Tengah, karena Uni Sovyet dilihat sebagai imperium ateisme dan jahat: utamanya adalah sebagai sebuah imperium sekuler yang tidak bermoral, yang akan berusaha untuk memaksakan sekularisme di negara-negara Muslim. Jadi dengan mendukung kelompok-kelompok Islam radikal akan berarti bahwa Uni Sovyet akan cenderung memiliki sedikit pengaruh atau hubungan dengan negara-negara Timur Tengah, yang membuat Amerika Serikat lebih diterima sebagai negara untuk mengembangkan hubungan.
Mehdi Bazargan
Sebelum terjadi Revolusi Khomeini berada di Paris, dimana seorang utusan Presiden Perancis mengorganisir pertemuan antara Khomeini dan “kekuatan dunia saat ini,” di mana Khomeini meminta tuntutan-tuntutan tertentu, seperti, “melengserkan Syah dari Iran dan membantu mencegah dilakukannya kudeta oleh Angkatan Darat Iran. Namun kekuatan Barat “khawatir tentang menguatnya Uni Sovyet dan penetrasi serta gangguan pasokan minyak dari Iran ke Barat. Khomeini memberikan jaminan yang diperlukan. Pertemuan-pertemuan dan kontak berlangsung pada bulan Januari 1979, menjelang beberapa hari sebelum terjadinya Revolusi Islam pada bulan Februari 1979” (IPS, Q&A: Iran’s Islamic Revolution Had Western Blessing. Inter-Press Service: July 26, 2008:
http://www.ipsnews.net/news.asp?idnews=43328). Pada bulan Februari 1979, Khomeini diterbangkan dari Paris dengan Air France untuk kembali ke Iran, “dengan restu dari Jimmy Carter.” (Michael D. Evans, Father of the Iranian revolution. The Jerusalem Post: June 20, 2007:
http://www.jpost.com/servlet/Satellite?cid=1181813077590&pagename=JPost/JPArticle/ShowFull) Ayatollah Khomeini menunjuk Mehdi Bazargan sebagai Perdana Menteri dalam Pemerintahan Revolusioner Sementara pada tanggal 4 Februari 1979. Seperti yang dituntut Khomeini sewaktu pertemuan Paris pada Januari 1979, bahwa kekuatan barat harus membantu untuk mencegah dilakukannya kudeta oleh Angkatan Darat Iran. Namun pada bulan yang sama, pemerintahan Carter, di bawah arahan Brzezinski, mulai merencanakan sebuah kudeta militer (Peter Dale Scott, op cit., page 89).
Mungkinkah ini telah direncanakan bilamana Khomeini digulingkan, Amerika Serikat dengan cepat akan memulihkan ketertiban, bahkan mungkin mendudukan kembali Khomeini berkuasa? Menariknya, pada bulan Januari 1979, “ketika Shah akan meninggalkan negara ini, Deputi Panglima Amerika pada NATO, Jenderal Huyser, tiba di Iran dan selama sebulan terus berunding dengan para pemimpin militer Iran. Pengaruhnya mungkin substansial dalam keputusan militer sehingga tidak melakukan kudeta dan pada akhirnya menyerah kepada kekuatan Khomeini, terutama jika laporan pers yang akurat menyatakan bahwa dia atau orang lain mengancam untuk menahan suplai perlengkapan militer jika ada usaha kudeta” (George Lenczowski, The Arc of Crisis: It’s Central Sector. Foreign Affairs: Summer, 1979: page 810). Tidak ada kudeta kemudian yang dilakukan, dan Khomeini kemudian berkuasa sebagai Ayatollah Republik Islam Iran.
Dengan semakin meningkatnya ketegangan di kalangan rakyat Iran, Amerika Serikat mengirimkan “penasihat keamanan” ke Iran untuk menekan SAVAK (polisi rahasia) Shah melaksanakan “kebijakan penindasan yang semakin brutal, dengan pertimbangan untuk mengetahui batas maksimal antipati rakyat kepada Syah. “Pemerintahan Carter juga mulai secara terbuka mengkritik pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan rezim Syah” (F. William Engdahl, op cit., page 172). Pada tanggal 6 September 1978, Syah melarang rakyatnya melakukan demonstrasi, dan hari berikutnya, antara 700 sampai dengan 2000 orang demonstran ditembak mati, hal tersebut dilakukan mengikuti” nasihat dari Brzezinski supaya bertindak tegas” (Peter Dale Scott, op cit., page 81).
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Andrew Young, anggota Komisi Trilateral, mengatakan bahwa, “Khomeini akhirnya akan dipuji sebagai orang suci,” dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Iran, William Sullivan, mengatakan, “Khomeini adalah tokoh seperti Gandhi, “sementara penasihat Carter, James Bill mengatakan bahwa Khomeini adalah orang yang” tanpa cela integritas dan kejujurannya” (Michael D. Evans, Father of the Iranian revolution. The Jerusalem Post: June 20, 2007:
http://www.jpost.com/servlet/Satellite?cid=1181813077590&pagename=JPost/JPArticle/ShowFull).
Nelson Rockefeller
Syah sangat sakit pada akhir tahun 1978 dan awal 1979. Shah Iran melarikan diri pada bulan Januari 1979 ke Bahama, yang memungkinkan revolusi berlangsung di Iran. Dalam hal ini terutama menarik untuk memahami hubungan antara David Rockefeller dan Syah Iran. Asisten pribadi David Rockefeller, Joseph V. Reed, yang “ditugaskan untuk menangani keuangan Syah dan kebutuhan pribadinya; “Robert Armao, yang bekerja untuk Wakil Presiden Nelson Rockefeller, dikirim untuk “bertindak sebagai pelobi dan agen public relations Syah;” dan Benyamin H. Kean,” rekan lama ketua Chase Manhattan Bank, David Rockefeller,” dan “dokter pribadi David Rockefeller, “yang dikirim ke Meksiko ketika Syah berada di sana, dan memberitahukan bahwa ia “akan dirawat di sebuah rumah sakit Amerika” (Peter Dale Scott, op cit., page 83).
Penting untuk dicatat bahwa kepentingan Rockefeller adalah “mengarahkan kebijakan Amerika Serikat di Iran sejak kudeta CIA tahun 1953” (Ibid, page 84). Setelah penerbangan Shah dari Iran. Ada peningkatan tekanan di Amerika Serikat oleh segelintir orang kuat untuk mengakui Shah ke Amerika Serikat. Orang-orang tersebut adalah Zbigniew Brzezinski, mantan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, John J. McCloy, mantan negarawan dan anggota senior Grup Bilderberg, Komisi Trilateral dan Dewan Hubungan Luar Negeri, yang juga seorang pengacara untuk Chase Manhattan, dan tentu saja, David Rockefeller (Ibid, page 81).
Chase Manhattan Bank banyak kepentingannya di Iran dibandingkan dengan bank Amerika Serikat lainnya. Bahkan, Syah pada waktu itu “memerintahkan semua account operasional penting pemerintahnya disimpan di Chase dan surat-surat kredit untuk pembelian minyak harus ditangani secara eksklusif melalui Chase. Bank juga menjadi agen dan banyak yang menjadi lead manager untuk bantuan pinjaman kepada Iran. Singkatnya, Iran menjadi permata mahkota portofolio perbankan internasional Chase” (Ibid, pages 85-86).
Pemerintahan sementara Iran, dipimpin oleh Perdana Menteri Bazargan, jatuh pada bulan November tahun 1979, ketika penyandera Iran merebut Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran. Namun, ada banyak hal lagi kejadian daripada sekedar yang terlihat. Selama masa pemerintahan sementara (Februari, 1979 November, 1979), beberapa tindakan dilakukan yang mengancam beberapa kepentingan yang sangat kuat yang telah membantu Ayatollah ke dalam kekuasaan.
Chase Manhattan Bank menghadapi krisis likuiditas yang sudah miliaran pinjaman yang bermasalah ke Iran disalurkan melalui Chase (Ibid). Beberapa pinjaman yang diperoleh dari Chase “mungkin ilegal menurut konstitusi Iran.” (Ibid, page 87). Selanjutnya, pada bulan Pebruari 1979, setelah Pemerintah interim berkuasa, maka Iran mulai mengambil “langkah-langkah secara independen dari pasar minyak utama Barat”. Juga pemerintah interim “ingin agar Chase Manhattan mengembalikan aset Iran, yang pada tahun 1978 disediakan Rockefeller sebesar lebih dari US$ 1 miliar, meskipun beberapa perkiraan angkanya jauh lebih tinggi, “yang bisa” menciptakan krisis likuiditas untuk bank yang sedang mengatasi masalah keuangan.” (Ibid, pages 88-89).
Dengan adanya serangan terhadap Kedutaan Besar Amerika di Iran, Presiden Carter mengambil langkah-langkah untuk membekukan aset keuangan Iran. Seperti David Rockefeller menulis dalam bukunya, “Carter membekukan aset resmi pemerintah Iran melindungi kami” [Chase Manhattan), akan tetapi tidak seorang pun dari Chase berperan dalam meyakinkan pemerintah untuk melakukan hal tersebut” (Ibid).
Pada bulan Pebruari 1979, Iran mengambil “langkah-langkah secara independen untuk pasar minyaknya dari pasar minyak Barat. Pada tahun 1979, seperti pada tahun 1953, pembekuan aset Iran membuat tindakan ini menjadi lebih sulit.”(Ibid, pages 87-88). Ini merupakan temuan penting untuk Chase Manhattan bukan hanya karena kedekatan dewan pengurus dengan para perusahaan minyak, belum lagi Rockefeller sendiri, yang adalah bapak dari keluarga yang namanya identik dengan minyak, tetapi juga karena secara eksklusif Chase menangani semua surat kredit untuk pembelian minyak Iran (Ibid, page 85). Syah diterima ke Amerika Serikat, di bawah tekanan publik dari Henry Kissinger, Zbigniew Brzezinski dan David Rockefeller, mengendapkan krisis sandera yang terjadi pada 4 November. Sepuluh hari kemudian, Carter membekukan semua aset Iran di bank-bank Amerika Serikat, atas saran Menteri Keuangan, William Miller. Miller kebetulan memiliki hubungan dengan Chase Manhattan Bank (Ibid, page 86).
Meskipun Chase Manhattan langsung mendapatkan manfaat dari penyitaan aset Iran, alasan di balik penyitaan serta peristiwa yang menuju ke sana, seperti peran tersembunyi Anglo-Amerika di belakang Revolusi Iran, membawa Shah ke Amerika yang mengendapkan krisis sandera, tidak bisa hanya dilimpahkan keatas keuntungan pribadi Chase saja. Ada rancangan besar di balik krisis ini. Jadi, tahun 1979 krisis di Iran sama sekali tidak menjadi pemicu resiko terjadinya revolusi, melainkan harus dilihat sebagai tindakan cepat yang diambil pada kesempatan yang tepat. Namun peluang ini merupakan meningkatnya ketidak puasan di Iran kepada pihak Shah; tindakan cepat ini secara diam-diam mendorong terjadinya Revolusi di negara Iran.
Paul Volcker
Pada tahun 1979, “secara efektif membatasi akses Iran ke pasar minyak global, pembekukan aset Iran menjadi faktor utama dalam kenaikan harga minyak yang sangat besar tahun 1979 dan 1981” (Ibid, page 88). Selain itu, tahun 1979, British Petroleum membatalkan kontrak minyak utama untuk pasokan minyak, yang bersamaan dengan pembatalan yang dilakukan oleh Royal Shell Belanda, mendorong harga minyak naik lebih tinggi (F. William Engdahl, A Century of War: Anglo-American Oil Politics and the New World Order. London: Pluto Press, 2004: page 173).
Dengan kenaikan harga minyak besar pertama dalam 1973 (didorong oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger), Dunia Ketiga terpaksa meminjam dari bank Amerika Serikat dan Eropa untuk membiayai pembangunannya. Dengan guncangan harga minyak kedua 1979, US Federal Reserve, dengan Paul Volcker sebagai Ketua baru, (berkarir di bawah David Rockefeller di Chase Manhattan), secara dramatis menaikkan suku bunga dari 2% pada akhir 70-an sampai 18% di awal tahun 80-an. Negara-negara berkembang tidak mampu membayar bunga pinjaman, dengan demikian krisis utang tahun 1980-an tersebar di seluruh Dunia Ketiga, lalu IMF dan Bank Dunia datang untuk “menyelamatkan” dengan Program Penyesuaian Struktural, yang menjamin kontrol Barat di negara-negara berkembang” (Andrew Gavin Marshall, Controlling the Global Economy: Bilderberg, the Trilateral Commission and the Federal Reserve. Global Research: August 3, 2009:
http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=14614).
Hal tersebut di atas merupakan munculnya “strategi ketegangan” dalam “the Arc of Crisis,” khususnya, dan dukungan rahasia (baik dalam mempersenjatai, pelatihan, atau pembiayaan) unsur Islam radikal untuk memicu kekerasan dan konflik di suatu wilayah. Itu adalah taktik kekaisaran lama ‘pecah belah dan kuasai’: adu-domba orang-orang satu sama lain sehingga mereka tidak dapat bergabung dengan pasukannya melawan kekuasaan kekaisaran. Ini adalah kekerasan dan Islam radikal lebih lanjut akan memberikan alasan untuk kekaisaran Amerika Serikat dan sekutunya yang kemudian bisa terlibat dalam perang dan pendudukan di kawasan itu, sambil mengamankan kepentingan ekonomi yang luas dan strategis.
The “Arc of Crisis” di Afghanistan: Club Safari Beraksi
Nur Mohammad Taraki
Pada tahun 1978, pemerintah progresif Taraki di Afghanistan membuat marah Amerika Serikat karena “kebijakan egaliter dan kolektivis ekonomi”. Pemerintah Afghanistan. Digambarkan secara luas sebagai “Komunis” dengan demikian merupakan ancaman untuk keamanan nasional Amerika Serikat. (Michael Parenti, Afghanistan, Another Untold Story. Global Research: December 4, 2008:
http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=11279).
Pada tahun 1978, sewaktu pemerintahan yang baru berkuasa dinegara Afghanistan, dengan segera Amerika Serikat secara diam-diam mulai memberikan dana kepada pihak kelompok pemberontak melalui CIA (Oleg Kalugin, How We Invaded Afghanistan. Foreign Policy: December 11, 2009:
http://www.foreignpolicy.com/articles/2009/12/11/how_we_invaded_afghanistan). Pada tahun 1979, Zbigniew Brzezinski bekerja sama dengan bantuan Robert Gates dari CIA, (yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan), mengeser kebijakan Islam Presiden Carter. Seperti Brzezinski mengatakan dalam sebuah wawancara pada tahun 1998 dengan penerbitan Perancis:
Menurut ceritera versi resmi, bantuan CIA kepada Mujahidin dimulai pada tahun 1980, demikian dikatakan, setelah pasukan Sovyetmenyerbu Afganistan, 24 Desember 1979. Tapi kenyataan sebenarnya dirahasiakan sampai sekarang, sama-sekali sebaliknya: Memang hari itu tanggal 3 Juli 1979 saat Presiden Carter menandatangani pedoman pertama bantuan rahasia untuk para penentang rezim pro-Sovyet di Kabul. Dan hari itu saya menulis surat kepada presiden di mana saya menjelaskan kepadanya bahwa menurut pendapat saya bantuan ini akan menyebabkan sebuah intervensi militer Sovyet‘’ (Le Nouvel Observateur’ (France), Jan 15-21, 1998, p. 76:
http://www.ucc.ie/acad/appsoc/tmp_store/mia/Library/history/afghanistan/archive/brzezinski/1998/interview.htm).
Brzezinski menguraikan dan mengatakan bahwa dia “Dengan sadar meningkatkan kemungkinan bahwa [Sovyet] akan menyerbu,” dan ia teringat menulis kepada Carter pada hari invasi Soviet itu, “Kami sekarang memiliki kesempatan untuk memberikan Uni Sovyet perang Vietnam. Memang, selama hampir 10 tahun, Moskow harus melanjutkan perang yang tidak mendapat dukungan pemerintah, konflik yang membawa demoralisasi dan akhirnya pecahnya imperium Sovyet”. Ketika ditanya tentang dampak dukungan dalam mendorong kebangkitan fundamentalisme Islam, Brzezinski menjawab, “Apa yang paling penting dengan sejarah dunia? Taliban atau runtuhnya imperium Sovyet? Beberapa orang Islam yang ekstrim atau pembebasan Eropa Tengah dan berakhirnya perang dingin?” (Ibid).
Hafizullah Amin
Hafizullah Amin, seorang pejabat tinggi dalam pemerintahan Taraki, banyak yang percaya dia adalah aset CIA, mengatur kudeta pada September 1979, dan “mengeksekusi Taraki, menghentikan reformasi, dan membunuh, memenjara, atau mengasingkan ribuan pendukung Taraki yang saat itu ia sedang bergerak ke arah pembentukan sebuah negara Islam fundamentalis. Tapi dalam waktu dua bulan, ia digulingkan oleh sisa-sisa PDP termasuk elemen dalam militer” (Michael Parenti, Afghanistan, Another Untold Story. Global Research: December 4, 2008:
http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=11279). Sovyet juga melakukan intervensi untuk menggantikan Amin, yang dipandang sebagai orang “tidak dapat diduga dan ekstremis” dengan ” Barbak Karmal yang lebih moderat” (Peter Dale Scott, op cit., page 78).
Babrak Kamal
Invasi Sovyet memprovokasi keamanan nasional Amerika Serikat untuk melakukan operasi rahasia terbesar dalam sejarah. Ketika Ronald Reagan menggantikan Jimmy Carter pada tahun 1981, bantuan rahasia ke Mujahidin Afghanistan tidak hanya dilanjutkan sesuai arah yang ditetapkan oleh Brzezinski tapi dengan cepat berkembang, begitu pula strategi keseluruhan dalam “the Arc of Crisis”. Ketika Reagan menjadi Presiden, yang menjadi Wakil Presiden adalah George H W Bush, yang menjabat direktur CIA selama pemerintahan Ford, telah membantu membangun jaringan intelijen Club Safari dan Bank of Credit and Commerce International (BCCI) di Pakistan. Dalam “kampanye membantu para pemberontak Afghanistan … BCCI jelas muncul sebagai aset intelijen Amerika Serikat” dan Direktur CIA “Casey mulai menggunakan negara lain – Saudi, Pakistan, BCCI – untuk menjalankan apa yang mereka tidak bisa melalui di Kongres. [Presiden BCCI] Abedi punya uang untuk membantu”, dan direktur CIA telah “bertemu berulang-kali” dengan presiden BCCI (Ibid, page 116). Dengan demikian, pada tahun 1981, Direktur CIA Casey bekerjasama dengan Pangeran Saudi Turki bin Faisal yang menjalankan Badan Intelijen Saudi GID, dan ISI Pakistan “untuk menciptakan legiun asing jihad Muslim atau yang disebut Arab Afghan”. Ide ini “berasal dari elit Club Safari yang telah dibuat oleh Kepala Intelijen Perancis, Alexandre de Marenches” (Ibid, page 122).
Pada tahun 1986, CIA mendukung rencana ISI Pakistan “untuk merekrut orang-orang dari seluruh dunia untuk bergabung dengan jihad Afghanistan.” Selanjutnya:
Lebih dari 100.000 militan Islam dilatih di Pakistan antara tahun 1986 dan 1992, di kamp-kamp yang diawasi oleh CIA dan MI6, dengan SAS [Pasukan Khusus Inggris] melatih pejuang masa depan al-Qaida dan Taliban dalam pembuatan bom dan seni hitam lainnya. Para pemimpin mereka dilatih di sebuah kamp CIA di Virginia. Ini disebut Operation Cyclone dan berlangsung lama setelah Sovyet menarik mundur pasukannya pada tahun 1989 (Ibid, page 123).
Dana CIA untuk operasi “disalurkan melalui Jenderal Zia dan ISI di Pakistan” (Ibid). Yang menarik adalah Robert Gates, yang sebelumnya menjabat sebagai asisten Brzezinski dalam Dewan Keamanan Nasional, ybs dalam pemerintahan Reagan-Bush menjabat sebagai Asisten Eksekutif untuk direktur CIA, Casey, dan saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Zia-ul Haq
Di Pakistan pada tahun 1977, Jenderal Zia Ul Haq melakukan kudeta militer, “menerapkan hukum darurat militer yang keras,” dan mengeksekusi mantan Presiden Zulfikar Ali Bhutto (ayah Benazir Bhutto). Ketika Zia berkuasa, ISI Pakistan adalah “unit intelijen militer kecil,” tapi di bawah “saran dan bantuan CIA,” Jenderal Zia mengubah ISI “menjadi unit rahasia kuat dan membuatnya menjadi kekuatan bersenjata rezim hukum darurat perang Zia ul-Haq.” (Alfred W. McCoy, The Politics of Heroin: CIA Complicity in the Global Drug Trade. [Lawrence Hill Books: Chicago, 200], page 474).
Presiden Pakistan Zia-ul-Haq mengangkat Jenderal Fazle Haq sebagai Gubernur Militer Pakistan di Provinsi North-West Frontier (NWFP), dengan tugas a.l. melakukan “konsultasi dengan Brzezinski dalam mengembangkan program perlawanan Afghanistan,” dia juga merupakan aset CIA. Ketika Direktur CIA, Casey atau Wakil Presiden George HW Bush meninjau operasi CIA di Afganistan, mereka menemui Haq, yang pada tahun 1982 yang dianggap oleh Interpol sebagai pedagang narkotika internasional. Haq memindahkan uang narkotika yang banyak jumlahnya melalui BCCI (Peter Dale Scott, The Road to 9/11: Wealth, Empire, and the Future of America. University of California Press: 2007: page 73).
Pada bulan Mei tahun 1979, sebelum invasi Uni Sovyet ke Afghanistan pada bulan Desember, seorang utusan CIA bertemu dengan pemimpin perlawanan Afghanistan di sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh ISI. ISI “menawarkan kepada CIA seorang yang mewakili aliansi Afghanistan yaitu Gulbuddin Hekmatyar,” ia memimpin kelompok gerilya kecil. CIA menerimanya, dan selama dekade berikutnya dimana setengah bantuan dari CIA diberikan kepada gerilyawan Hekmatyar (Alfred W. McCoy, op cit., page 475). Hekmatyar menjadi bandar narkoba mujahidin Afghanistan terkemuka, dan mengembangkan “enam buah kompleks laboratorium heroin di daerah yang dikendalikan ISI, yaitu Baluchistan (Pakistan).” (Peter Dale Scott, op cit., page 74). Selama tahun 1980-an, kemudian Amerika Serikat bersama-sama dengan Arab Saudi, memberikan Hekmatyar lebih dari $1 miliar dalam bentuk senjata (Ibid, page 124).
Pada tahun 1980-an program yang dilaksanakan oleh Amerika Serikat adalah membiayai propaganda mujahidin dalam bentuk buku pelajaran bagi sekolah-sekolah Afghanistan. Amerika Serikat memberikan kepada Mujahidin sebesar U$43.000.000 dalam bentuk bantuan “non-lethal” untuk proyek buku pelajaran, yang diberikan oleh US-AID: “The US Agency for International Development [US-AID] bekerja sama dengan CIA, yang menjalankan program senjata,” dan” Pemerintah Amerika Serikat mengatakan kepada US-AID untuk membiarkan pemimpin perang Afghanistan memutuskan kurikulum sekolah dan isi buku pelajarannya” (Carol Off, Back to school in Afghanistan. CBC: May 6, 2002: http://www.cbc.ca/news/background/afghanistan/schools.html).
Dalam buku pelajaran “dimuat ilustrasi dengan gambar kekerasan dan ajaran Islam militan,” serta “dipenuhi dengan uraian tentang jihad dan menampilkan gambar-gambar senjata, peluru, tentara dan ranjau”. Bahkan sejak perang rahasia tahun 1980-an, “buku pelajaran sejak itu telah menjadi kurikulum inti sistem sekolah Afghanistan. Bahkan Taliban menggunakan buku produksi Amerika”. Buku-buku tersebut dikembangkan melalui hibah US-AID kepada “University of Nebraska-Omaha termasuk Center for Afghanistan Studies,” dan ketika buku-buku itu diselundupkan ke Afghanistan melalui para pemimpin militer daerah, “Anak-anak diajari menghitung dengan ilustrasi tank, rudal dan ranjau darat”. US-AID menghentikan pendanaan ini pada tahun 1994. (Joe Stephens and David B. Ottaway, From U.S., the ABC’s of Jihad. The Washington Post: March 23, 2002:
http://www.washingtonpost.com/ac2/wp-dyn/A5339-2002Mar22?language=printer)
Munculnya Taliban
Ketika Sovyet mundur dari Afghanistan pada tahun 1989, pertempuran lanjutan antara pemerintah Afghanistan yang didukung oleh Uni Sovyet dengan Mujahidin yang didukung oleh Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Pakistan. Ketika Uni Sovyet runtuh pada 1991, demikian pula bantuan kepada pemerintah Afghanistan, yang kemudin pemerintah Afghanistan digulingkan tahun 1992. Namun, hampir pecah pertempuran antara faksi yang bersaing berebut kekuasaan, termasuk Hekmatyar.
Pada awal 1990-an, sebuah kelompok yang tidak dikenal “rakyat dari dusun Pashtun” menjadi kekuatan militer dan politik yang kuat di Afghanistan, yang kemudian dikenal sebagai Taliban (Steve Coll, Ghost Wars: The Secret History of the CIA, Afghanistan, and Bin Laden, From the Soviet Invasion to September 10, 2001. Penguin Books, New York, 2004: Page 328).
Taliban “muncul sebagai kekuatan milisi kecil yang beroperasi di dekat kota Kandahar selama musim semi dan musim panas tahun 1994, melakukan serangan dan main hakim sendiri terhadap panglima perang kecil”. Ketika tumbuh ketidakpuasan terhadap para panglima perang, reputasi Taliban naik (Steve Coll, Ghost Wars: The Secret History of the CIA, Afghanistan, and Bin Laden, From the Soviet Invasion to September 11, 2001. (London: Penguin, 2005), page 285). Taliban menjalin aliansi dengan ISI pada tahun 1994, dan sepanjang 1995, hubungan antara Taliban dan ISI berjalan lancar dan “kian lama menjadi aliansi militer langsung. “Taliban akhirnya menjadi “aset dari ISI” dan “klien tentara Pakistan.” (Steve Coll, “Steve Coll” Interview with PBS Frontline. PBS Frontline: October 3, 2006: http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/taliban/interviews/coll.html).
Selanjutnya, “Antara tahun 1994 dan 1996, Amerika Serikat mendukung Taliban secara politik melalui sekutu-sekutunya Pakistan dan Arab Saudi, pada dasarnya karena Washington memandang Taliban sebagai anti-Iran, anti-Syiah, dan pro-Barat” (Robert Dreyfuss, Devil’s Game: How the United States Helped Unleash Fundamentalist Islam. (New York: Metropolitan Books, 2005), page 326).
Selig Harrison, seorang sarjana dari Woodrow Wilson International Centre for Scholars dan “seorang ahli Asia Selatan terkemuka dari Amerika Serikat,” berkata pada sebuah konferensi di India bahwa CIA bekerja dengan Pakistan untuk menciptakan Taliban. Harrison memiki “kontak ekstensif” dengan CIA, “ia juga mengadakan pertemuan dengan para pemimpin CIA pada saat pasukan Islam diperkuat di Afghanistan,” ia adalah seorang rekan senior dari Carnegie Endowment for International Peace. Ia lebih lanjut mengungkapkan pada tahun 2001, “CIA masih memiliki hubungan erat dengan ISI.” (ToI, “CIA worked in tandem with Pak to create Taliban”. The Times of India: March 7, 2001:
http://www.multiline.com.au/~johnm/taliban.htm).
Osama dan Al-Qaeda
Antara 1980 dan 1989, sekitar US$ 600.000.000 telah disalurkan melalui organisasi amal samaran Osama bin Laden, khususnya Maktab al-Khidamat (MAK), juga dikenal sebagai Al-Kifah. Uang itu sebagian besar berasal dari donatur kaya di Arab Saudi dan wilayah lainnya di Teluk Persia, dan disalurkan melalui badan amal samaran tersebut untuk persenjataan dan mendanai mujahidin di Afghanistan (Robert Dreyfuss, Devil’s Game: How the United States Helped Unleash Fundamentalist Islam. (New York: Metropolitan Books, 2005), pages 279-280).
Pada 1980-an, Pasukan Khusus Inggris the British Special Forces (SAS) melatih mujahidin di Afghanistan, serta di kamp-kamp rahasia di Skotlandia, dan SAS sebagian besar menerima perintah dari CIA. CIA juga secara tidak langsung mulai mempersenjatai Osama bin Laden (Simon Reeve, The New Jackals: Ramzi Yousef, Osama bin Laden, and the Future of Terrorism. (London: André Deutsch Ltd, 1999), page 168). Organisasi samaran amal Osama bin Laden, MAK, “dipelihara” oleh ISI Pakistan (Michael Moran, Bin Laden comes home to roost. MSNBC: August 24, 1998:
http://www.msnbc.msn.com/id/3340101/)
Osama bin Laden dilaporkan telah direkrut secara pribadi oleh CIA pada tahun 1979 di Istanbul. Dia mendapat dukungan dari Pangeran Turki bin Faisal, temannya dan Kepala Intelijen Saudi, dan juga memambangun hubungan dengan Hekmatyar di Afghanistan (Veronique Maurus and Marc Rock, The Most Dreaded Man of the United States, Controlled a Long Time by the CIA. Le Monde Diplomatique: September 14, 2001: http://www.wanttoknow.info/010914lemonde), keduanya merupakan tokoh-tokoh penting dalam jaringan CIA-Safari Club. Jenderal Akhtar Abdul Rahman, Kepala ISI Pakistan 1980-1987, bertemu secara teratur dengan Osama bin Laden di Pakistan, dan mereka membentuk kemitraan dalam menuntut pajak atas perdagangan opium dari panglima perang sehingga pada tahun 1985, Bin Laden dan ISI berbagi keuntungan lebih dari $100 juta per tahun (Gerald Posner, Why America Slept: The Failure to Prevent 9/11. (New York: Random House, 2003), page 29). Pada tahun 1985, saudara Osama bin Laden, Salem, menyatakan bahwa Osama adalah “penghubung antara Amerika Serikat, pemerintah Saudi, dan pemberontak Afghan” (Steve Coll, The Bin Ladens. (New York: Penguin, 2008), pages 7-9).
Tahun 1988, Osama bahas “pembentukan kelompok militer baru,” yang kemudian dikenal sebagai Al-Qaeda (AP, Al Qaeda Financing Documents Turn Up in Bosnia Raid. Fox News: February 19, 2003:
http://www.foxnews.com/story/0,2933,78937,00.html
Badan amal samaran Osama bin Laden, MAK, (akhirnya membentuk Al-Qaeda) mendirikan al -Kifah Center di Brooklyn, New York, untuk merekrut umat Islam untuk berjihad melawan Sovyet. Al-Kifah Center didirikan pada akhir 1980-an dengan dukungan pemerintah Amerika Serikat, yang memberikan visa bagi para teroris yang dikenal terkait dengan organisasi, termasuk Ali Mohamed, “syekh buta” Omar Abdel Rahman dan kemungkinan pemimpin pembajak 11 September, Mohamed Atta (Peter Dale Scott, The Road to 9/11: Wealth, Empire, and the Future of America. University of California Press: 2007: pages 140-141).
William Casey
Bertepatan dengan penciptaan Al-Qaeda, dimana al-Kifah Center merupakan sebuah front perekrutan. Prajurit Al-Qaeda “dikirim ke Amerika Serikat untuk pelatihan di bawah visa program khusus”. FBI mengawasi pelatihan teroris, namun “FBI menghentikan pengawasan ini pada musim gugur tahun 1989”. Pada tahun 1990, CIA memberikan Sheikh Omar Abdel Rahman visa untuk datang ke Amerika Serikat untuk mengelola Al-Kifah Center, yang dianggap sebagai “tak tersentuh” karena ia “dilindungi oleh tidak kurang dari tiga lembaga,” termasuk Departemen Luar Negeri, National Security Agency (NSA) dan CIA (Ibid, page 141).
Robin Cook, mantan British MP dan Menteri Luar Negeri menulis bahwa Al-Qaeda, yang “secara harfiah artinya ‘the database’, awalnya adalah file komputer dari ribuan mujahidin yang sengajah direkrut dan dilatih dengan bantuan dari CIA untuk maksud mengalahkan Rusia” (Robin Cook, The struggle against terrorism cannot be won by military means. The Guardian: July 8, 2005:
http://www.guardian.co.uk/uk/2005/jul/08/july7.development).
Jadi, “Al-Qaeda” didirikan sebagai alat dari badan intelijen Barat. Laporan al-Qaeda ini semakin dikuatkan oleh mantan agen intelijen militer Perancis, yang menyatakan bahwa, “Pada pertengahan 1980-an, Al Qaeda adalah sebuah database,” dan bahwa hal itu tetap seperti itu hingga tahun 1990-an. Dia berpendapat bahwa, “Al Qaeda bukanlah kelompok teroris maupun properti pribadi Osama bin Laden,” dan ia selanjutnya mengatakan:
Yang sebenarnya adalah, tidak ada tentara Islam atau kelompok teroris yang disebut Al Qaeda. Dan semua petugas intelijen manapun mengetahui hal ini. Tapi ada kampanye propaganda untuk membuat publik menjadii percaya pada keberadaan entitas yang diidentifikasi mewakili ‘setan’ hanya untuk membuat ‘penonton TV’ menerima kepemimpinan internasional bersatu untuk melakukan perang melawan terorisme. Negara di belakang propaganda ini adalah Amerika Serikat dan para pelobi Amerika Serikat untuk perang melawan terorisme hanya tertarik dalam membuat uang (Pierre-Henri Bunel, Al Qaeda — the Database. Global Research: November 20, 2005: http://www.globalresearch.ca/index.php?context=viewArticle&code=BUN20051120&articleId=1291)
Penciptaan Al-Qaeda difasilitasi oleh CIA dan jaringan intelijen sekutu, tujuannya adalah untuk menjaga “database ” ini dari Mujahidin yang akan digunakan sebagai aset intelijen untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat, sepanjang Perang Dingin, dan ke era pasca Perang Dingin dari ‘Tatanan Dunia Baru’.
Amerika merancang strategi geopolitik baru pada akhir Perang Dingin melalui pengujian, untuk mempertahankan kontrol atas sumber daya alam dunia dan mencegah munculnya kekuatan kompetitif. Diam-diam, “database” (al-Qaeda) menjadi penting bagi proses ini, digunakan untuk memajukan tujuan kekaisaran di berbagai wilayah, seperti untuk memecah-belah Yugoslavia. Kemudian , “database” Al-Qaeda menyebar secara internasional sehingga mengguncang berbagai wilayah, dan dengan demikian memberikan pembenaran untuk melakukan intervensi atau bahkan perang. Semua yang diperlukan adalah operasi intelijen yang ditempatkan untuk mengontrol posisi kunci kepemimpinan dalam organisasi teroris ini.
Andrew Gavin Marshall is a Research Associate with the Centre for Research on Globalization (CRG). He is co-editor, with Michel Chossudovsky, of the recent book, “The Global Economic Crisis: The Great Depression of the XXI Century,” available to order at Globalresearch.ca: www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=20907. Diterjemahkan oleh: akhirzaman.info
Analisa Akurat Mengapa Terjadi Serangan WTC 11 September 2001
Oleh: Z.A. Maulani
(Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/KABAKIN)
Dalih Perang Membasmi Terorisme
Afghanistan, negeri muslim yang miskin, diratakan jadi arang dengan “carpet bombing”, karena dosa Afghanistan “menampung kelompok teroris Al Qaidah”. Publik dipaksa untuk melupakan kenyataan bahwa yang mendukung Al Qaidah, melatih dan membiayai, dan menempatkan mereka di Afghanistan sejak tahun 1979, adalah Amerika Serikat sendiri, persisnya Central Intelligence Agency (CIA), dalam rangka memerangi Uni Sovyet di negeri miskin tersebut.
Tony Blair
Sesudah Afghanistan, kemudian Iraq menyusul dihabisi dan dijajah dengan dalih Iraq mengembangkan dan menyimpan “senjata-pemusnah-massal”, berdiri di belakang serangan 11 September 2001, dan mendukung serta melindungi Al- Qaidah. Pada tanggal 28 Januari 2002, di depan Kongres Amerika Serikat, presiden Bush melaporkan, “The British government has learned that Saddam Husein recently sought significant quantities of uranium from Africa” (Pemerintah Inggris telah berhasil mengetahui bahwa Saddam Hussein baru-baru ini telah mengusahakan (untuk mendapatkan) sejumlah besar uranium dari Afrika). Enambelas butir kata yang kini menjadi gunjingan orang banyak itu kini ternyata didasarkan pada dokumen yang palsu, atau dipalsukan, yang digunakan sebagai dalih untuk mengelabui rakyat dan Kongres Amerika Serikat untuk mendapatkan persetujuan melibas Iraq.
Saddam Husein
Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam pidatonya di depan Parlemen Westminster sebelum serangan ke Iraq dilancarkan pada medio Maret 2003, bahkan mengintimidasi, bahwa “dalam tempo 45 jam setelah perintah Saddam Hussein dikeluarkan Iraq akan mampu melancarkan serangan dengan senjata-senjata nuklir, kuman dan biologis”. Kalau sekiranya tuduhan itu benar, maka serangan terhadap Iraq memang harus segera dilaksanakan, sebagaimana alasan Bush, “sebelum Iraq dapat menyerang kita”. Hanya saja pernyataan itu terbukti fitnah yang digunakan sebagai dalih untuk menyerang Iraq.
George Tenet
Sebenarnya direktur CIA, George Tenet, empat bulan sebelumnya pada bulan Oktober 2003, secara pribadi pernah dua kali mengirimkan memo kepada Gedung Putih agar menghapus “16-kata” itu dari konsep pidato Presiden Bush yang menuduh Iraq telah mengusahakan untuk “membeli lima ratus ton uranium-oksida” dari Niger. Ketika usaha Tenet itu gagal, CIA menyatakan tidak ikut bertanggung jawab dengan “informasi intelijen” itu, karena diketahui didasarkan pada dokumen dan informasi palsu. Tetapi para pembantu dekat presiden Bush tetap menekan CIA agar mengeluarkan analisis yang nadanya mendukung “temuan” Presiden Bush itu. (‘The Amazing Stories of Condoleezza Rice’, http://www.buzzflash.com, July 3, 2003).
Condolezza Rice
Dewan Keamanan PBB, ketika mendengar laporan menteri luar-negeri Collin Powell, menolak informasi tentang upaya Iraq membeli uranium-oksida itu, karena diketahui isi dokumen itu memuat banyak ketidakcermatan yang mencurigakan. Antara lain sebagai contoh, presiden Niger yang disebut-sebut dalam dokumen intelijen presiden Bush itu ternyata adalah tokoh yang telah lama meninggal dunia. Tidak heran kalau dokumen semacam itu ditolak mentah-mentah oleh duta-besar Niger di PBB (Ibid.)
Collin Powell
Karena kecaman yang bertubi-tubi terhadap kesemberonoan Presiden Bush menggunakan intelijen yang tidak akurat, maka untuk mengatasi serangan itu pada bulan Mei 2003, menjelang dinyatakan berakhirnya operasi di Iraq, kembali Bush mengumbar kebohongan, “We’ve found the weapons of mass destruction. You know, we found biological laboratories. And we’ll find more weapons as time goes on. But for those who say we haven’t found the banned manufacturing devices or banned weapons, they’re wrong. We found them” (Kita telah menemukan senjata senjata pemusnah massal itu. Kita telah menemukan laboratorium senjata-senjata kimia. Dan kita akan menemukan lebih banyak lagi senjata dengan berjalannya waktu. Mereka yang mengatakan kita belum menemukan pabrik alat-alat atau senjata terlarang itu, mereka keliru. Kita telah menemukannya). Sampai hari ini nyatanya pasukan Amerika dan Inggris di Iraq belum juga berhasil menemukannya (The Independent Institute, ‘Preemptive War Strategy: A New US Empire?’, http://www.independent.org , July 26, 2003).
Dari lembaga resmi militer Amerika Serikat, The Armed Forces Institute of Pathology (AFIP), berdasarkan hasil pemeriksaan mereka atas daftar manifes penumpang pesawat, yang konon “dibajak oleh 19 orang teroris Arab”, dan dari hasil otopsi pada tanggal 16 Nopember 2001 terhadap 189 korban para penumpang pesawat, ternyata baik dari daftar manifes penumpang maupun dari otopsi jenazah para korban, AFIP menyatakan tidak menemukan satu pun nama orang Arab, atau jenazah orang Arab. Satu-satunya yang ada kaitannya dengan orang Arab, mereka adalah kambing-hitam pemerintah Amerika Serikat (The Prince George’s Journal, Maryland, ‘Operation 911: No Suicide Pilots’, edisi September 18, 2001, dikutip oleh http://www.serendipity.li/wtc.html, July 14, 2003)
(FBI photos of the 19 Terrorists hijackers (16 of 19 had Saudi Passports)
Cerita tentang 19 orang “teroris Islam” Al-Qaidah yang oleh intelijen Amerika Serikat disebut-sebut berhasil menyusup dan menguasai pesawat dan menghunjamkannya ke gedung-kembar WTC itu, hanyalah cerita isapan jempol, yang digunakan untuk menghasut kecurigaan terhadap kaum muslimin sedunia tanpa kecuali, termasuk terhadap kaum muslimin di Indonesia. Nama Muhammad Atta, Marwan Al-Sehhi, dan Hani Hanjour, yang konon dikatakan sebagai para pilot berkebangsaan Saudi yang berhasil membajak, kemudian mengemudikan dan menabrakkan pesawat-pesawat Boeing 767 ke gedung-kembar WTC di New York dan Pentagon di Washington DC., menurut Marcel Bernard, instruktur pada pusat pendidikan penerbangan dimana ketiga “pilot” itu pernah menjalani latihan mereka, konon dikatakan, jangankan menerbangkan pesawat jet berbadan lebar dan canggih seperti Boeing-767, mereka itu untuk menerbangkan pesawat kecil tipe Cessna 172 saja secara solo, oleh para instukturnya dinilai tidak mampu (“… they had received pilot training . with courtesy of the CIA (?) . but were considered by their flying instructors to be incompetent to fly even light single-engine planes”) (Ibid.)
Para analis yang meneliti kasus peristiwa serangan dan hancurnya gedung kembar WTC itu mencurigai pesawat-pesawat nahas itu kemungkinan dikemudikan dengan alat ‘remote control’ dan diledakkan secara otomatis dengan alat yang memang telah terpasang pada setiap pesawat komersial oleh aparat keamanan penerbangan federal sebagai tindakan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan kontinjensi bilamana sewaktu-waktu pesawat dibajak.
Hal itu makin memperkuat analisis bahwa serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC., melibatkan “orang dalam”, yang mencakup personel angkatan udara Amerika Serikat, Pentagon, CIA, dan Mossad.
Bersamaan dengan itu para ahli demolisi Amerika juga menengarai gedung WTC New York tersebut tidak mungkin akan runtuh sedemikian rapi tanpa merusak gedung-gedung di sekitarnya sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah Amerika Serikat, yaitu disebabkan oleh tabrakan pesawat. Bila hanya oleh tabrakan pesawat, para ahli demolisi itu menyimpulkan gedung-kembar WTC itu sebagian masih akan tersisa, meskipun mereka mempercayai gedung-kembar berlantai 110 setinggi 415 meter itu telah didesain dan dibangun oleh para arsitek Minoru Yamasaki, John Skilling, dan Leslie Robertson sebagai bangunan tahan gempa, tahan tornado, dan diilhami novel Tom Clancy yang mengisahkan hancurnya sebuah gedung pencakar langit karena ditabrak oleh sebuah pesawat teroris, maka ketiga arsitek kondang itu mendesain gedung-kembar WTC juga tahan tabrakan pesawat.
Menurut para ahli demolisi itu, cara runtuhnya dan habisnya gedung-kembar WTC itu memperlihatkan ciri-ciri, apa yang mereka sebut ‘controlled demolition’ dari dalam, oleh orang-orang yang paham benar tentang konstruksi bangunan WTC, dengan memakai teknik yang digunakan untuk menghancurkan gedung-gedung tua tanpa perlu membahayakan lingkungan di sekitarnya. Gedung Pentagon yang konon disebut-sebut ditabrak pesawat Boeing 767 juga tidak memperlihatkan adanya puing-puing pesawat, atau isi perut pesawat yang berserakan berupa barang-barang penumpang dan sebagainya sebagaimana layaknya bila ada pesawat yang jatuh. Pendek kata, cerita tentang ulah teroris Arab itu, “too good to be true” (Ibid.)
Hasil dari Komisi Penyelidikan Gabungan Kongres (Joint Congress Inguiry) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Juli 2003 baru-baru ini menyatakan, penyelidikan mereka tiba pada kesimpulan . “tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan Al Qaidah, dan tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan peristiwa serangan tanggal 11 September 2001”. Nasi telah menjadi bubur Iraq sejak 19 Maret 2003 telah menjadi negeri jajahan Amerika.
Richard Perle
Dan tentang fitnah keempat, tuduhan Washington bahwa Iraq memiliki seabreg senjata-pemusnah-massal yang menjadi dasar alasan invasi Amerika menghabisi Iraq, ketika Richard Perle, tokoh Yahudi dan mantan ketua dan masih menjadi anggota dari the Defense Policy Board Pentagon, bersama tokoh Yahudi lain, Paul Wolfowitz, deputi menteri pertahanan, keduanya disebut-sebut berdiri di belakang pencetus keputusan untuk menyerang Iraq ketika ditanya pers tentang senjata-senjata Iraq itu pada 24 Juli 2003, dengan enteng menjawab, “Well, kami tidak tahu kemana mencarinya, dan tidak akan pernah tahu dimana barang itu.” (William Pitt, ‘Though Heavens Fall’, July 25, 2003)
Dick Cheney
Perhatian besar tengah disorotkan kepada pertanyaan, mengapa Amerika Serikat melancarkan perang terhadap Iraq, dan pertanyaan itu juga ditujukan kepada Inggris. Penjelasan resmi selama ini ialah bahwa setelah gedung-kembar World Trade Center di New York dihantam dan dihancurkan oleh dua buah pesawat bunuh-diri pada 11 September 2001, maka tindak balasan terhadap Al Qaidah yang berpangkalan di Afghanistan merupakan langkah pertama yang dinilai wajar dalam rangka perang global membasmi terorisme. Kemudian, karena Saddam Hussein oleh Amerika Serikat dan Inggris dituduh menyimpan senjata-pemusnah-massal (WMD), maka perang tentu saja harus diperluas ke Iraq. Namun teori tersebut tidak cocok dengan kenyataan yang ada. Kebenaran barangkali akan jauh lebih kelam.
Jeb Bush
Masyarakat dunia kini telah mengetahui bahwa sebuah cetak-biru untuk pembentukan Pax Americana yang mengglobal telah disiapkan untuk (waktu itu) menteri pertahanan Dick Cheney (sekarang wakil presiden), Donald Rumsfeld (sekarang menteri pertahanan), Paul Wolfowitz (deputi menteri pertahanan), Jeb Bush (adik Presiden Bush), dan Libby Lewis (kepala staf wakil presiden). Dokumen itu, yang diberi judul ‘Membangun Kembali Pertahanan Amerika’, selesai ditulis pada bulan September 2000 (satu tahun sebelum peristiwa 11 September 2001) oleh kelompok think-tank neo-kon, Project for the New American Century (PNAC).
Paul Wolfowitz
Rencana dalam dokumen itu memperlihatkan niat dari kabinet Bush untuk menguasai kawasan Teluk secara militer tidak penting apakah Saddam Hussein masih berkuasa atau tidak. Dokumen itu menyatakan “sementara konflik di Iraq yang tak terselesaikan memberikan pembenaran, kebutuhan akan kehadiran dengan kekuatan yang memadai dari pasukan Amerika di kawasan Teluk melahirkan persoalan tentang rezim Saddam Hussein”.
Cetak-biru dari PNAC itu mendukung dokumen sebelumnya yang dipersiapkan oleh Paul Wolfowitz dan Libby Lewis, ‘To Rebuild America’s Defense’, yang menyatakan, Amerika Serikat harus “mencegah negara-negara industri maju sampai menantang kepemimpinan kita atau bahkan mencita-citakan untuk menjalankan peran regional atau global yang lebih besar”. Dokumen itu menjelaskan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dunia “menuntut kepemimpinan politik Amerika Serikat ketimbang kepemimpinan PBB”.
Libby Lewis
Dokumen itu selanjutnya menyatakan “bahkan kalaupun Saddam Hussein tidak lagi berperan di arena”, pangkalan-pangkalan militer di Saudi Arabia dan Kuwait harus tetap dipelihara … karena “Iran akan menjadi ancaman besar terhadap kepentingan Amerika Serikat seperti yang pernah dilakukan oleh Iraq”. Dokumen itu juga menyoroti Cina untuk dilakukan “perubahan rezim”, dengan menyatakan bahwa “sekarang sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran militer Amerika Serikat di Asia Tenggara”, yang kemudian menjadi dasar untuk membuka apa yang disebut oleh Presiden Bush “front kedua perang membasmi terorisme di Asia Tenggara”, yang menjadi pretext untuk masuk ke Asia Tenggara. Dalih “front kedua” itu disebutkan untuk menghancurkan organisasi teroris regional Jama’ah Islamiyyah. Guna memperkuat tuduhan itu lalu “Bom Bali” dipasang, seperti halnya modus serangan WTC New York oleh “teroris”.
Dokumen itu juga menyerukan perlunya pembentukan “kekuatan ruang angkasa” untuk mendominasi ruang-angkasa, dan penguasaan mutlak atas ruang-cybernet dalam rangka mencegah “musuh-musuh Amerika” memanfaatkan internet terhadap kepentingan Amerika Serikat. Dokumen itu kemudian menyarankan agar Amerika Serikat mempertimbangkan untuk mengembangkan senjata kuman “yang dapat menyerang sasaran jenis gen tertentu (dan) barangkali dapat mengubah peperangan kuman dari senjata teror menjadi alat politik yang bermanfaat”.
Akhirnya, dokumen yang disiapkan setahun sebelum peristiwa 11 September 2001, menunjuk Korea Utara, Suriah, dan Iran, sebagai rezim yang berbahaya . ‘axis of evil’ . dan menyatakan adanya rezim-rezim itu membenarkan akan kebutuhan “sistem komando dan kendali yang mendunia”. Dokumen itu benar-benar memuat cetak-biru penguasaan dunia oleh Amerika Serikat. Dokumen itu secara jelas menjadi sumber keterangan yang baik tentang apa sebenarnya yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah 11 September 2001 tentang thesis perang global terhadap terorisme yang digembar-gemborkan selama ini. Hal ini akan terlihat dengan gamblang dalam beberapa tahun mendatang ini.
Pertama, sudah jelas para pejabat berwenang Amerika Serikat sama sekali, atau tidak banyak bertindak, untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001. Telah diketahui paling tidak ada 11 negara yang pernah memberikan peringatan dini kepada pemerintah Amerika Serikat tentang akan adanya serangan pada tanggal 11 September 2001.
Yang lebih aneh lagi dilihat dari kaca-mata perang terhadap terorisme pada hari dimana terjadi serangan 11 September 2001 itu, tampak reaksi yang sedemikian lambannya dari pemerintah dan pejabat berwenang Amerika Serikat. Pembajakan pesawat pertama diduga terjadi pada pukul 08.20 pagi, dan pesawat bajakan terakhir yang jatuh di Pennsylvania pada pukul 10.06 pagi. Terhadap kenyataan tersebut tidak satu pun pesawat buru-sergap yang menyambang dari pangkalan angkatan udara Andrews, yang jauhnya hanya 15 kilometer dari ibukota Washington DC., sampai pesawat ketiga menabrak Pentagon pada pukul 09.38 pagi. Mengapa tidak pernah ada reaksi? Ada prosedur standar dari FAA (Federal Aviation Agency, Badan Penerbangan Federal AS) keharusan menyergap setiap pesawat yang dibajak. Antara bulan September 2000 sampai dengan bulan Juni 2001 saja tidak kurang dari 67 kali pesawat-pesawat buru-sergap dari NORAD (Komando Pertahanan Udara Amerika Utara) menyergap dan menggiring pesawat-pesawat yang mencurigakan, atau terbang melenceng dari jalur terbang yang telah ditetapkan. (AP, August 13, 2002)
Apakah kelambanan itu hanya karena ada tokoh-tokoh kunci yang mengabaikan, atau bersikap masa bodoh ? Atau apakah operasi pertahanan udara Amerika Serikat secara sengaja lengah pada tanggal 11 September 2001 itu ? Kalau demikian halnya, mengapa dan atas perintah siapa ?
Mantan jaksa federal Amerika Serikat, John Loftus, mengatakan, “Informasi yang disampaikan oleh badan-badan intelijen Eropa sebelum tanggal 11 September 2001 demikian luasnya, sehingga sebenarnya tidak mungkin FBI atau pun CIA berlindung di belakang dalih bahwa hal itu sampai bisa terjadi karena ketidak-mampuan mereka”.
Juga tanggapan pemerintah Amerika Serikat terhadap peristiwa 11 September 2001 tidaklah lebih baik. Tidak terlihat ada usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah Amerika Serikat untuk menangkap Osamah bin Ladin. Pada akhir bulan September atau awal Oktober 2001 pimpinan dari dua partai Islam Pakistan telah merundingkan ekstradisi Osamah bin Ladin ke Pakistan untuk diadili sehubungan dengan kasus 11 September 2001. Namun seorang pejabat pemerintah Amerika Serikat dengan ketus berucap, “Tindakan sembrono dapat menimbulkan resiko buyarnya usaha internasional sekiranya Osamah bin Ladin sampai tertangkap”.
Jenderal Myers
Ketua Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat, Jenderal Myers, berkata lebih lanjut, “tujuan kita bukan untuk menangkap Osama bin Ladin” (AP, April 5, 2002). Pernyataan itu dikuatkan oleh seorang agen FBI dalam wawancara dengan teve ABC News, bahwa “FBI headquarters wanted no arrests” (FBI tidak berniat untuk menangkap siapa pun) (ABC News, December 19, 2002).
Dan pada bulan November 2001 angkatan udara Amerika Serikat mengeluh mereka telah 10 kali menemukan tempat bersembunyi pimpinan Taliban dan AI-Qaidah, tetapi mereka tidak bisa melakukan serangan karena izin untuk itu tidak dapat diperoleh pada waktunya (Majalah TIME, May 13, 2002).
Daftar bukti itu sesuai benar dengan cetak-biru dari PNAC. Dari gambaran di atas tadi nampaknya apa yang disebut “perang membasmi terorisme” itu digunakan sebagian besar hanya sebagai dalih untuk menutup-nutupi tujuan strategis geopolitik Amerika Serikat yang sesungguhnya. Tony Blair sendiri tentang hal itu mengisyaratkan ketika ia memberikan kesaksian di depan Komisi Hubungan Majelis Rendah Inggris, “Sejujurnya saja, kita tidak akan mungkin memperoleh persetujuan rakyat secara mendadak untuk melancarkan kampanye militer di Afghanistan, terkecuali dengan mengkaitkan alasannya dengan apa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001” (Sk. The Times, London, Juli 17, 2002).
Donald Rumsfeld
Menteri pertahanan Donald Rumsfeld sama gigihnya mencari-cari alasan tentang invasi ke Iraq, sehingga pada 10 kali peristiwa terpisah meminta kepada CIA untuk menemukan bukti yang dapat menghubungkan Iraq dengan perisitwa 11 September 2001. CIA kembali setiap kali dengan tangan hampa (Majalah TIME, May 13, 2002).
Peristiwa 11 September 2001 menciptakan dalih yang sangat pas bagi pelaksanaan rencana PNAC. Bukti yang kini terungkap sangat jelas bahwa rencana tindakan militer atas Afghanistan dan Iraq, bahkan negara-negara di Timur Tengah lainnya, telah dirancang jauh sebelum terjadi peristiwa 11 September 2001. Sebuah laporan yang disiapkan untuk pemerintah Amerika Serikat oleh Baker Institute of Public Policy yang diterbitkan pada bulan April 2001 menyatakan, “Amerika Serikat terperangkap oleh dilemma enerjinya. Iraq menjadi faktor yang berpengaruh mendestabilisasi … aliran minyak ke pasar-pasar internasional dari Timur Tengah”.
Dokumen itu diserahkan kepada kelompok tugas untuk penanggulangan enerji pada kantor wakil presiden Dick Cheney, laporan itu merekomendasikan, bahwa bila aliran minyak itu sampai terganggu, maka hal itu akan dapat menjadi resiko yang tidak bisa dipikul oleh pemerintah Amerika Serikat, karena itu “intervensi militer” adalah sesuatu yang diperlukan (Tabloid Sunday Herald, October 6, 2002).
Niaz Niak
Bukti lainnya sehubungan dengan rencana invasi ke Afghanistan juga ada. BBC melaporkan (September 18, 2001) bahwa Niaz Niak, mantan menteri luar-negeri Pakistan dibisiki oleh seorang pejabat Amerika Serikat dalam sebuah pertemuan di Berlin pada medio-Juli 2001 (dua bulan sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001) bahwa “tindakan militer terhadap Afghanistan akan dilakukan pada medio- Oktober”. Sampai dengan bulan Juli 2001 pemerintah Amerika Serikat masih memandang Taliban sebagai sumber stabilitas di Asia Tengah yang memungkinkan untuk membangun jalur pipa hidro-karbon dari ladang-ladang minyak dan gas bumi di Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakhstan, melalui Afghanistan dan Pakistan, menuju pantai Lautan Hindia. Tetapi ketika Taliban menolak syarat-syarat yang disorongkan, wakil Amerika Serikat dalam perundingan itu mengancam dengan angkuh, “atau anda menerima tawaran kami berupa karpet emas, atau kami akan kubur anda dengan karpet bom” (Inter Press Service, November 15, 2001).
Dengan latar-belakang semacam ini, tidaklah mengagetkan bila beberapa kalangan memahami mengapa Amerika Serikat tidak terlalu bergairah mencegah terjadinya peristiwa 11 Septeber 2001 yang memang diciptakan sebagai dalih yang dianggapnya paling pas untuk menghukum Afghanistan dalam sebuah perang yang telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya.
Franklin-D.Roosevelt
Sebenarnya telah ada preseden sebelum ini. Arsip nasional Amerika Serikat mengungkapkan bahwa Presiden Franklin D. Roosevelt pernah menggunakan pendekatan persis seperti ini dalam hubungan dengan peristiwa Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Beberapa peringatan pendahuluan akan adanya serangan terhadap Pearl Harbor telah diterima oleh pemerintah di Washington, tetapi informasi itu tidak pernah diteruskan kepada armada Amerika Serikat di Pasifik. Kemarahan nasional yang timbul akibat peristiwa tersebut berhasil menggerakkan rakyat Amerika yang sebelumnya enggan terjun ke dalam Perang Dunia ke-2 yang terjadi di Eropa.
Cetak-biru PNAC yang disiapkan pada bulan September 2000 menegaskan bahwa proses mentranformasi Amerika Serikat menjadi “kekuatan masa depan yang dominan” hanya bisa terjadi dalam tempo yang lama, kecuali bilamana ada “suatu bencana dan peristiwa yang menjadi katalisator layaknya sebuah Pearl Harbour yang baru”. Serangan pada 11 September 2001 memungkinkan pemerintah Amerika Serikat menekan tombol “go” melaksanakan strategi sesuai agenda PNAC yang secara politik yang normal mustahil bisa diimplementasikan.
Kesimpulan dari seluruh analisis yang diangkat dari artikel tulisan mantan Menteri Lingkungan Hidup Inggris Michael Meacher di atas ialah bahwa apa yang disebut sebagai “perang global untuk menghabisi terorisme” mengusung ciri-ciri sebuah mitos politik yang diprogandakan untuk melicinkan jalan bagi sebuah agenda yang lain sama sekali yakni, aspirasi Amerika Serikat untuk membangun dominasi dunia, dilakukan dengan cara kekerasan dalam rangka menguasai segenap pasokan minyak dan gas bumi yang dibutuhkan sebagai penunjang rencana globalisasinya itu. (Michael Meacher, ‘This War on Terrorism is Bogus’, kolom yang ditulisnya dalam koran The Guardian, London, edisi September 6, 2003)
Presiden Bush Mengakui Merancang Invasi ke Afghanistan dan Iraq Jauh Sebelum Peristiwa 9/11
Mantan Menteri Keuangan dan Ketua Tim Ekonomi pemerintahan Bush, Paul O’Neill, pada awal tahun 2004 menulis sebuah buku memoar, ‘The Price of Loyalty’, tentang masa jabatannya dalam pemerintahan George W. Bush. Tidak terlalu mengejutkan ketika ia menyebut bahwa Presiden Bush telah mengeluarkan berbagai perintah kepada anggota dewan keamanan nasionalnya nyaris begitu ia dilantik pada bulan Januari 2001 (kurang lebih delapan bulan sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001 yang dijadikan alasan untuk menghancurkan Afghanistan dan menjajah Iraq) agar mengambil apa yang disebutnya “tindakan” yang perlu.
Ternyata perintah itulah yang kemudian dijual kepada publik Amerika dan dunia sebagai “tindakan balasan” terhadap para “teroris” dan “negara-negara yang membahayakan” keamanan nasional Amerika. Dalam kesempatan wawancara Paul O’Neill dengan koresponden teve CBS, Lesley Stahl, dalam acara 60 Minutes pada tanggal 11 Januari 2004 mengulang kembali pernyataannya berkenaan dengan perintah Presiden Bush untuk menggulingkan Saddam Hussein sebagai prioritas pertama kebijakan nasional Amerika jauh sebelum peristiwa 11 September 2001.
Menurut Paul O’Neill, dalam sidang tersebut Bush menyatakan, “Dari awal kita meyakini Saddam Hussein itu orangnya jahat, karenanya ia harus dienyahkan”. Presiden Bush selanjutnya menegaskan, “Bagi saya, berdasarkan pemahaman tentang tindakan pre-emptif, Amerika Serikat memiliki hak unilateral untuk memutuskan apa saja yang dianggap perlu, hal itu merupakan lompatan besar”.
Juru-bicara Presiden Bush, Scott McClellan, menyanggah laporan dan — kecaman O’Neill, katanya, “Presiden telah berusaha mencari segala jalan yang mungkin untuk memecahkan situsi di Iraq secara damai. Tetapi …” kata McClellan selanjutnya, “Saddam Hussein memang orang berbahaya sejak lama”.
Vincente Fox
Ternyata atas tuduhan yang dicoba diredam oleh para pejabat Gedung Putih, oleh Presiden Bush malah diakui sendiri ketika bertemu dengan Presiden Mexico Vincente Fox pada tanggal 12 Januari 2004. Kata Bush, “Seperti halnya pemerintahan sebelum saya, kami memang bertekad untuk menggulingkan rezim (Saddam Hussein)… Kami hanya menyempurnakan kebijakan sebelumnya, dan kemudian peristiwa 11 September terjadi, dan sebagai Presiden Amerika Serikat, kewajiban saya yang paling mulia adalah bagaimana melindungi keamanan bagi rakyat Amerika. Saya memikul tugas itu dengan sangat sungguh-sungguh dan kami bukan hanya berurusan dengan Taliban, kami bekerja-sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan masyarakat internasional, dan membuat jelas Saddam Hussein harus dilucuti”. Ketika ia ditanya bahwa Amerika Serikat justru melucuti Saddam tanpa menggubris peringatan dari dunia internasional, Bush menjawab, “Bukankah sekarang ia sudah tidak lagi berkuasa dan dunia kini merasa lebih aman”.
Paul O’Neill menyamakan sidang kabinet Presiden Bush laksana “orang tuli dalam ruangan yang penuh dengan orang tuli”. Kecaman Paul O’Neill memang membuat kaget Washington yang selama ini menyangka orang-orang dekat Bush terdiri dari mereka yang kesetiaannya kepada Bush tidak diragukan. O’Neill diberhentikan pada bulan Desember 2002 sebagai dalam rangka reshuffle tim ekonomi yang berbeda pendapat mengenai kebijakan ekonomi yang dijalankan Presiden Bush (Margaret Neighbour, ‘Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11 September’, The Scotsman, January 13, 2004).
Artikel ditulis oleh ZA Maulani dalam bedah buku Stranger than Fiction, Independent Investigation of 9-11 and The War on Terrorism karya DR. Albert D. Pastore, Ph.D. pada tanggal 8 April 2004 di musholla Al Barokah Gd. Cyber. Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 1271018: http://www.albarokah.or.id
Apokalipse 2012: Teori Konspirasi Dengan Jesse Ventura
Jesse Ventura dan sebuah tim peneliti ahli berada dalam sebuah misi untuk membahas beberapa tuduhan konspirasi yang paling menakutkan dan misterius dewasa ini. Mereka memeriksa bukti-bukti bukti-bukti yang ada serta berbicara dengan para ahli dan saksi mata untuk mempelajari lebih lanjut tentang topik seperti pemanasan global, mungkin 9/11 cover-up, senjata rahasia pemerintah dan nubuat nubuat apokaliptik. “Ini adalah perjalanan pribadi saya,” Ventura mengatakan, “untuk membuktikan bahwa ada lebih banyak cerita-cerita daripada yang Anda tahu.”
Dipercaya bahwa dunia ini sedang menuju kepada sesuatu yang BESAR pada tahun 2012 (di perkirakan Perang Nuklir Dunia?) Dan pemerintah Amerika Serikat sedang mempersiapkan untuk menyimpan dan melindungi the elit – sementara meninggalkan kita semua dan kita menjaga diri kita sendiri. Jesse Ventura mengungkapkan bukti, dan bunker Sangat Rahasia bawah tanah yang dibangun di tempat-tempat yang dimulai dari gurun Nevada ke Gedung Putih, termasuk yang terbesar, sekarang sedang dibangun di bawah tanah di sebuah bandara utama metropolitan.
http://www.pakalertpress.com/2010/07/26/apocalypse-2012-conspiracy-theory-with-jesse-ventura/
Diterjemahkan oleh: akhirzaman.info