[AkhirZaman.org] Beberapa waktu lalu seorang pilot Angkatan Udara Yordania, Letnan Muath Al-Kaseasbeh dibakar hidup-hidup dalam sangkar besi. Akibat peristiwa biadab ini tidak hanya memicu kemarahan di seluruh Timur Tengah, tapi juga sejumlah pertanyaan tentang nilai-nilai Islam dalam dunia modern dan apakah agama ini mengajarkan peperangan dalam doktrinnya sebagai bentuk pernyataan iman mereka kepada Allah.
Beberapa orang menyatakan pandangannya terhadap Islam akibat kejadian tersebut. Satu di antaranya adalah Hidah Hizam, yang menuangkan komentar pedas dalam surat kabar Aljazair, Al-Fadjr. “Jangan katakan Islam itu bersih, para psikopat dan orang gila yang menafsirkan semua ajaran dengan mentalitas mereka membuat Islam menjadi tidak bersih. Lalu ia mengatakan bahwa Islam perlu dibebaskan dari gagasan-gagasan ‘gila’. Bahkan surat kabar milik pemerintah Mesir, Al-Ahram, berkomentar lebih jauh dengan mengatakan kematian Letnan Al-Kaseasbeh menunjukkan kesalahpahaman tentang Islam.
Namun sesungguhnya tidak hanya Islam yang pantas dipertanyakan mengenai ajaran-ajarannya yang begitu banyak memiliki penafsiran. Sejak dari ribuan tahun silam kekristenan pun mengalami hal yang demikian. Masih ingatkah betapa orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang selalu bertentangan dengan Yesus.
Bahkan suatu kali Yesus begitu bertentangan dengan mereka dan dalam satu kesempatan menegur dengan begitu keras, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.” (Matius 23:25, 26). Atau juga perhatikan ketika Yesus di saat yang lain berkata, “Hai kamu keturunan ular beludak, bagaimanakah kamu dapat mengucapkan hal-hal yang baik, sedangkan kamu sendiri jahat? Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati.” (Matius 12:34).
Yesus meskipun sepanjang hidup-Nya adalah Seorang penyelidik dan pelajar Alkitab (Perjanjian Lama) yang tekun. Tindakan itulah yang ketika digabungkan dengan kebergantungan-Nya kepada Allah (Yohanes 15:1) yang menolong Dia untuk tidak berdosa sedikit pun (Ibrani 4:15).
Bagi Yesus, agama Alkitab adalah suatu kehidupan yang membawa para pelajarnya mengalami suatu perubahan hati dan pikiran serta mengalami kesucian karakter, sehingga akan menghasilkan perkataan dan perbuatan yang selaras dengan kehendak dan karakter Tuhan. Kehendak dan karakter-Nya adalah kehidupan yang suci dan benar seperti sifat hukum-Nya (Roma 7:12) dan itu memancarkan kasih sebagaimana “Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:8, 16).
Namun bagi orang Farisi dan para ahli Taurat bahwa kehidupan beragama adalah bentuk legalisme semata (usaha penurutan kepada hukum Allah dengan kekuatan sendiri), dan satu kesalahan oleh si pelaku pantas mendapatkan hukuman seberat-beratnya dan orang-orang yang tak mengerti hukum Tuhan maka adalah calon penghuni neraka.
Mari kita lihat pada saat peristiwa ketika seorang perempuan yang tertangkap berbuat zinah dibawa ke hadapan Yesus oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat (Yoh. 8:3). Bagi mereka perempuan sundal seperti ini (orang berdosa dan pelanggar hukum) pantas untuk dilempari batu hingga mati dan tak pantas mendapatkan kesempatan untuk mengalami pertobatan (ayat 5). Mereka tidak sadar bahwa diri mereka juga adalah orang-orang berdosa yang jika tanpa kasih karunia Allah juga pantas mendapatkan hukuman juga.
Namun bagaimana sikap Yesus ketika mereka bertanya, “Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?” (ayat 5). Yesus tahu bahwa apa yang mereka katakan tentang hukuman mati bagi wanita ini adalah benar seperti yang Musa katakan (Imamat 20:10; Ula. 22:22-24). Hukum yang Musa buat adalah berdasar apa yang Yesus sendiri ucapkan.
Namun Dia tahu betul bahwa orang berdosa perlu mendapat kesempatan untuk bertobat dan mereka harus diberi waktu dalam hidup-Nya untuk menerima keselamatan yang Dia tawarkan kepada setiap orang berdosa yang datang kepada-Nya (1 Tim. 1:15).
Yesus sangat mengetahui bahwa orang-orang Farisi dan ahli Taurat sedang mencobai Dia ketika membawa wanita ke hadapan-Nya (Yoh. 8:6). Mereka ingin menjebak Dia antara dua kesalahan, yaitu sebagai pembela hukum Allah namun tidak memiliki kasih yang mengampuni. Atau mengampuni wanita itu dan membebaskannya namun akan dituduh sebagai orang yang tidak mematuhi hukum Allah dan kudus, benar, dan adil.
Dia yang sanggup membaca niatan hati yang buruk dari musuh-musuh itu kemudian berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yoh. 8:7). Setelah mengucapkan itu Dia membungkuk dan menulis sesuatu di tanah (mungkin dosa-dosa dari orang-orang itu yang Dia ketahui dengan sangat jelas), dan tidak lama kemudian orang-orang yang tak berpengasihan itu pergi satu per satu mulai dari yang tertua (ayat 8).
Ketika tinggal wanita itu yang masih tertinggal Dia berkata kepadanya, “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? … Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (ayat 10, 11).
Mari kita cermati ucapan Yesus kepada wanita itu. Apakah Dia hanya membebaskan wanita itu tanpa menyatakan bahwa dia telah berbuat dosa? Tidak. Yesus mengampuni wanita itu dan tidak menghukumnya serta memberikan kesempatan kepadanya untuk bertobat, namun Dia perlu menyatakan bahwa wanita ini telah berzinah dan berbuat dosa ketika dikatakan-Nya, “…jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Bagi Yesus hukum dan kasih adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Jika Anda melihat ISIS, sesungguhnya mereka sama dengan orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang berpikir bahwa hukum Allah harus ditinggikan dan dosa harus dinyatakan. Namun satu hal yang mereka lupakan: Tuhan di sorga memandang orang berdosa dengan penuh pengasihan dan siap menyambut dan mengampuni setiap manusia yang datang kepada-Nya, sehingga mereka dapat menyadari dosa-dosanya, menyesali, dan bersiap meninggalkan semua itu dalam pertobatan yang sungguh.
Yesus mengatakan bahwa menjelang kedatangan-Nya kedua kali, “Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan (Terjemahan Lama: bertambah dosa), maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.” (Matius 24:12). Sungguh mudah mengenali bahwa dunia ini semakin akrab dengan dosa dan orang-orangnya menjadi durhaka, yaitu ketika kasih antar satu dengan yang lain sudah tidak ada lagi.
Namun banyak orang menganggap dirinya saleh dan beragama padahal orang di sekitarnya tidak merasakan damai bila berada di dekatnya. Saudara, perasaan sering menipu kita. Sering manusia merasa diri baik-baik saja hanya karena seminggu sekali rutin masuk gereja, memberi perpuluhan dan persembahan, turut aktif dalam pelayanan dan pekerjaan Tuhan; namun sesungguhnya mengalami degradasi moral dan kehilangan kasih. Jika Anda berpikir mana mungkin itu terjadi, maka orang-orang Farisi dan para ahli Taurat adalah buktinya.
Pertanyaannya adalah, apakah sekarang ada umat Allah yang masih mau melihat dan berpikir dosa sebagai dosa dan di saat bersamaan mengasihi orang yang berbuat salah serta menolong mereka keluar dari kesalahan dan membawa mereka kepada Allah yang membenci dosa namun mengasihi orang berdosa?
Tuhan rindu melihat umat-Nya yang seperti ini dan berbeda dari dunia yang tertarik kepada dua ekstrim yang berbeda. Ekstrim pertama menjunjung tinggi hukum Allah dan berusaha menurutinya dengan kemampuan manusia, sehingga ketika melihat orang lain jatuh dalam dosa maka akan menghakimi mereka. Ekstrim kedua adalah orang-orang yang mengatakan bahwa hukum Tuhan itu adalah perbuatan kasih. Yang perlu dilakukan adalah melayani dan membantu orang lain yang kesusahan. Merasa tidak perlu membuka dan mempelajari firman Tuhan dan nubuatan-nubuatan.
Namun Yesus bukan orang yang demikian. Alkitab mencatat, “Yesus pun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu.” (Matius 4:23).
Dia mengajar dan memberitakan Injil Kerajaan Allah. Dia adalah seorang pelajar Alkitab yang tekun sehingga Dia sanggup untuk mengajar orang lain dengan baik. Dalam suatu kesempatan “setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.” (Matius 7:28, 29).
Namun Alkitab mencatat bahwa Dia juga melayani orang lain dan orang-orang yang sakit disembuhkan-Nya. Ketika Dia mengajar pasti juga menegur dosa dan mengajak orang datang kepada-Nya dalam pertobatan. Dia bisa melakukan itu karena Dia sendiri terhubung dengan Bapa-Nya melalui doa dan pelajaran firman Tuhan. Tetapi Yesus juga adalah orang yang berpengasihan.
Saudara, mari kita jangan cuma melihat ISIS dengan kekejaman yang mereka lakukan. Jika hanya selalu melihat dunia maka Anda akan melihat diri Anda sebagai orang beragama yang saleh. Namun jika melihat Yesus dan belajar kehidupan-Nya, maka dalam suatu terang yang baru kita akan disadarkan bahwa kita mungkin tidak berbeda dengan dunia.
Tetapi Injil adalah kuasa yang luar biasa. Tidak hanya menyatakan dosa namun juga menolong orang berdosa untuk mengalami pembentukan karakter dalam kasih Tuhan.
Yesus rindu mengerjakan pembentukan tabiat dalam hidup kita supaya kita menjadi persembahan yang hidup dan layak untuk sorga. Mungkin Anda akan merasakan penderitaan, kesusahan, namun itu akan membuat Anda murni.
“Ia akan duduk seperti orang yang memurnikan dan mentahirkan perak; dan Ia mentahirkan orang Lewi, menyucikan mereka seperti emas dan seperti perak, supaya mereka menjadi orang-orang yang mempersembahkan korban yang benar kepada TUHAN. Maka persembahan Yehuda dan Yerusalem akan menyenangkan hati TUHAN seperti pada hari-hari dahulu kala dan seperti tahun-tahun yang sudah-sudah.” (Maleakhi 3:3, 4)