(dalam artikel sebelumnya telah kita pelajari seorang pembaharu Bohemia yang bernama John Huss. Pertentangan dihadapinya untuk mempertahankan imannya kepada Yesus. Dalam satu kali dia diundang untuk menghadiri konsili di Constance. Apa yang kemudian dia alami di konsili itu).
[AkhirZaman.org] Dalam perjalanannya, Huss melihat di mana-mana tanda-tanda tersebarnya ajaran-ajarannya, dan dukungan demi perkembangan ajaran itu. Orang-orang berduyun-duyun menemuinya, dan di beberapa kota pejabat-pejabat menyambutnya di jalan-jalan mereka.
Setelah tiba di Constance, Huss diberikan kebebasan penuh. Kepada surat jalan yang diberikan oleh kaisar telah ditambahkan jaminan perlindungan pribadi oleh paus. Tetapi pelanggaran kepada deklarasi yang sungguh-sungguh dan diulang-ulang ini, menyebabkan Pembaharu itu ditangkap dalam waktu singkat, atas perintah paus dan para kardinal, dan menjebloskannya ke dalam penjara bawah tanah yang menjijikkan. Kemudian dipindahkan ke kastil yang kokoh di seberang Rhine sebagai tawanan. Tidak berapa lama kemudian, paus, oleh karena pengkhianatannya telah dijebloskan ke dalam penjara yang sama. — Bonnechose, Vol. I, p. 247. Di hadapan konsili, ia (paus) telah terbukti melakukan kejahatan yang paling mendasar, di samping pembunuhan, memperjual-belikan kedudukan gereja dan perzinahan, “dosa-dosa yang tidak pantas disebut namanya.” Jadi konsili mengeluarkan pernyataan; dan demikianlah akhirnya mahkota dicopot dari padanya, dan ia dijebloskan kedalam penjara. Orang-orang yang anti paus juga dicopot dan paus baru pun dipilih.
Meskipun paus sendiri telah melakukan kesalahan yang lebih besar daripada yang pernah dituduhkan Huss kepada para imam, dan untuk itu ia (Huss) menuntut diadakan reformasi, namun konsili yang sama yang menurunkan martabat paus, juga meneruskan menumpas Pembaharu (Huss). Dengan dipenjarakannya Huss telah menimbulkan kemarahan di Bohemia. Kaum bangsawan yang berkuasa mengajukan protes keras kepada konsili menentang perbuatan biadab itu. Kaisar, yang tidak suka mengizinkan pelanggaran ini kepada surat jalan yang diberikannya, menentang tindakan yang dilakukan kepada Huss. Tetapi musuh-musuh Pembaharu begitu ganas dan bersikeras. Mereka memohon perhatian raja mengenai prasangkanya, ketakutannya dan semangatnya terhadap gereja. Mereka (gereja Roma Katolik) mengajukan argumentasi yang panjang lebar untuk membuktikan bahwa “iman tidak boleh dipelihara dengan bida’ah atau orang-orang yang dicurigai menganut kepercayaan yang menyimpang, walaupun mereka dilengkapi dengan surat-surat jalan dari kaisar atau raja-raja.” — Lenfant, “History of the Councils of Constance,” Vol. I, p. 516. Maka dengan demikian merekapun berhasil.
Dilemahkan oleh penyakit dan penahanannya di dalam penjara bawah tanah yang lembab dengan udara yang bau busuk, telah menyebabkan ia menderita demam yang nyaris mengakhiri hidupnya. Akhirnya Huss dihadapkan ke depan konsili. Dibebani dengan rantai-rantai, ia berdiri dihadapan kaisar yang mulia dan yang mempunyai iman yang baik, yang telah berjanji melindunginya. Selama pemeriksaannya yang memakan waktu lama, dengan teguh ia mempertahankan kebenaran, dan di hadapan perkumpulan para pejabat tinggi gereja dan negara ia mengeluarkan protes yang sungguh-sungguh dan jujur menentang kebejatan para hirarki.
Rahmat Allah mendukung dia. Selama minggu-minggu yang telah berlalu sebelum keputusan terakhirnya, damai Surga memenuhi jiwanya. “Saya menulis surat ini,” katanya kepada seorang temannya, “di dalam ruang penjara saya, dan dengan tangan saya yang terbelenggu, menanti pelaksanaan hukuman mati saya besok . . . . Bilamana, dengan pertolongan Yesus Kristus, kita kan bertemu lagi di kedamaian kehidupan yang akan datang, engkau akan tahu bagaimana Allah yang berbelas kasihan itu telah ditunjukkan-Nya sendiri kepadaku, dan betapa besar pertolongan-Nya kepadaku dalam pencobaan dan pengadilanku.” — Bonnechose, Vol. II, p. 67.
Di dalam kegelapan penjara ia melihat kemenangan iman yang benar. Dalam mimpi ia kembali ke kapel di Praha di mana ia mengkhotbahkan Injil, ia melihat paus dan para uskupnya menghapus gambar Kristus yang telah dilukisnya di dinding kapel itu. “Penglihatan ini menyusahkan hatinya, tetapi hari berikutnya ia melihat banyak pelukis melukis kembali gambar itu dalam jumlah yang lebih besar dan dengan warna yang lebih terang. Segera setelah tugas mereka selesai, para pelukis itu, yang telah dikelilingi oleh banyak sekali orang, berseru, ‘Sekarang biarlah para paus dan para uskup datang. Mereka tidak akan pernah lagi bisa menghapus gambar itu!’ ” Pembaharu itu berkata pada waktu ia menghubungkan mimpinya, “Saya merasa pasti, bahwa gambar Kristus tidak akan pernah dihapus. Mereka ingin memusnahkannya, tetapi akan dilukis baru di dalam semua hati oleh para pengkhotbah yang jauh lebih baik dari saya.” — D’Aubigne, b. 1, ch.6.
Untuk terakhir kalinya, Huss dibawa kembali ke hadapan konsili. Mahkamah kali ini adalah mahkamah yang brilian dan luas — dihadiri oleh kaisar, para pangeran kerajaan, para deputi kerajaan, para kardinal, uskup-uskup dan imam-imam; dan orang banyak yang datang sebagai penonton kejadian hari itu. Dari seluruh dunia Kekristenan telah berkumpul untuk menyaksikan korban besar yang pertama ini yang telah lama memperjuangkan kebebasan hati nurani.
Setelah dipanggil untuk mendengarkan keputusan terakhir, Huss menyatakan penolakannya untuk menyangkal keyakinannya, dan sambil menujukan pandangannya yang tajam kepada
kaisar yang kata-kata janjinya telah dilanggar dengan tidak mengenal malu, ia mengatakan, “Saya memutuskan atas kemauan saya sendiri, untuk hadir dihadapan konsili ini di bawah perlindungan umum dan jaminan keelamatan kaisar yang hadir di sini.” — Bonnechose, Vol. II, p. 84. Wajah kaisar Sigismund menjdi merah padam pada waktu semua mata orang yang hadir di mahkamah itu memandang kepadanya.
Keputusan telah diumumkan, upacara penurunan pangkatpun dimulai. Para uskup mengganti pakaiannya dan memakaikan pakaian keimamatan. Dan pada waktu ia mengenakan pakaian keimamatan itu, ia berkata, “Tuhan kita Yesus Kristus telah dibungkus dengan kain putih sebagai penghinaan, pada waktu Herodes memerintahkan menghadapkannya kepada Pilatus.” — Bonnechose, Vol. II, p. 86. Pada waktu sekali lagi ia diminta untuk menarik kembali pernyataannya, ia menjawab sambil berbalik kepada orang banyak, “Lalu dengan muka apa saya harus memandang Surga? Bagaimana saya melihat orang banyak itu kepada siapa saya sudah khotbahkan Injil yang sejati? Tidak. Saya lebih menghargai keselamatan mereka daripada tubuh saya yang hina ini, yang sekarang telah diputuskan untuk dibunuh.” Pakaiannya ditanggalkan satu persatu; setiap uskup mengatakan kata-kata kutukan sementara mereka melakukan tugasnya dalam upacara itu. Akhirnya, “mereka mengenakan di atas kepalanya sebuah topi atau semacam topi yang dipakai oleh uskup dalam upacara, yang berbentuk piramida dan terbuat dari kertas. Di kertas itu dilukiskan gambar-gambar Setan dengan kata-kata, ‘Kepala Bida’ah,’ dituliskan dengan menyolok di bagian depan. ‘Sangat senang’ kata Huss, ‘akan saya pakaikah mahkota yang memalukan ini demi Engkau, O, Yesus, yang telah mengenakan mahkota duri untukku?'”
Setelah itu, “para pejabat tinggi gereja berkata, ‘Sekarang kami serahkan jiwamu kepada Setan.’ ‘Dan aku,’ kata John Huss, dengan menengadah ke langit, ‘menyerahkan rohku ke dalam tangan-Mu, O, Tuhan Yesus, oleh karena Engkau telah menebus aku.'” — Wylie, b. 3, ch. 7.
Sekarang ia diserahkan kepada pejabat-pejabat pemerintah, dan dibawa ke tempat pelaksanaan hukuman mati. Suatu arak-arakan besar mengikuti dia, ratusan orang bersenjata, para imam dan para uskup dengan berpakaian yang mahal-mahal, dan penduduk kota Constance. Pada waktu ia diikat di tiang gantungan, dan semua sudah siap untuk menyalakan api, orang martir (mati syahid) ini sekali lagi dihimbau untuk menyelamatkan dirinya dengan meninggalkan kesalahannya. “Kesalahan apa,” kata Huss, “yang saya harus tinggalkan? Saya tahu saya tidak bersalah. Saya memohon Allah untuk menyaksikan bahwa semua yang saya telah tuliskan dan khotbahkan adalah demi penyelamatan jiwa-jiwa dari dosa dan kebinasaan. Dan oleh sebab itu, dengan sangat senang saya akan pastikan dengan darahku, kebenaran yang telah kutuliskan dan kukhotbahkan.” — Wylie, b. 3, ch. 7. Ketika api menyala disekelilingnya, ia mulai menyanyi, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku,” dan demikianlah seterusnya ia menyanyi sampai suaranya terdiam untuk selamanya.
Musuh-musuhnya sendiripun merasa terpukul melihat keperkasaannya. Seorang pengikut paus yang bersemangat, menerangkan kematian Huss dan Jerome, yang mati segera sesudah itu, demikian: “Keduanya mereka menetapkan hati pada waktu saat-saat terakhir datang menjelang. Mereka telah bersedia menghadapi api itu seperti mereka menghadapi pesta pernikahan. Mereka tidak mengeluh kesakitan. Ketika nyala api menjulang, mereka menyanyikan nyanyian puji-pujian. Dan kehebatan api tidak dapat menghentikan nyanyian mereka.” — Wylie, b.3, ch. 7.
Setelah tubuh Huss seluruhnya hangus terbakar, maka abunya bersama tanah tempat abu itu, dikumpulkan dan dibuangkan ke Sungai Rhine, yang kemudian dihanyutkan arus ke laut. Para penganiaya membayangkan bahwa mereka telah berhasil membasmi kebenaran yang telah dikhotbahkan Huss. Tidak terbayang bagi mereka bahwa abu jenazah yang dihanyutkan arus ke laut akan menjadi benih yang tersebar ke seluruh negeri di dunia ini. Dan bahwa negeri yang belum diketahui itu akan memberikan buah-buah yang limpah sebagai saksi kebenaran.
Kata-kata yang diucapkan di gedung konsili di Constance telah membahana, dan gaungnya akan terdengar sampai ke masa-masa yang akan datang. Huss tidak ada lagi, tetapi kebenaran yang diperjuangkannya dengan kematiannya tidak akan pernah binasa. Teladan iman dan ketetapan hatinya akan mendorong banyak orang untuk berdiri teguh demi kebenaran, dalam menghadapai siksaan dan kematian. Kematiannya telah membeberkan kepada seluruh dunia tentang kekejaman pengkhianatan Roma. Musuh-musuh kebenaran, meskipun mereka tidak menyadarinya, telah memajukan kebenaran itu, yang dengan sia-sia mereka berusaha memusnahkannya.
Satu lagi tiang gantungan pembakaran akan didirikan di kota Constance. Darah saksi yang lain harus menyaksikan kebenaran itu. Jerome, yang mengucapkan selamat jalan kepada Huss waktu ia pergi untuk menghadiri konsili, telah mendorong semangat dan menguatkan pendirian Huss. Jerome menyatakan akan datang menolongnya jika Huss harus menghadapi bahaya. Setelah mendengar penahanan Pembaharu itu, murid yang setia ini segera menyiapkan diri memenuhi janjinya. Tanpa surat jalan ia berangkat ke Constance dengan seorang teman. Setelah tiba di Constance ia merasa pasti bahwa ia hanya membuka dirinya kepada bahaya tanpa adanya kemungkinan bisa berbuat sesuatu untuk melepaskan Huss. Ia melarikan diri dari kota itu, tetapi tertangkap dalam perjalanan pulang. Ia dibawa kembali ke Constance dengan dirantai dan dengan pengawalan sepasukan tentera. Pada penampilan pertama di konsili, dalam usahanya menjawab tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya, telah disambut dengan teriakan, “Bakar dia! bakar dia!” — Bonnechose, Vol. I, p. 234. Ia dijebloskankan ke dalam penjara bawah tanah, dirantai dalam posisi yang menyebabkannya sangat menderita, dan diberi makan roti dan air saja. Setelah beberapa bulan kekejaman yang dilakukan kepada Jerome, ia menderita penyakit yang mengancam nyawanya. Musuh-musuhnya takut kalau-kalau ia melarikan diri, memperlakukannya tidak sekejam sebelumnya, meskipun ia tetap meringkuk dalam penjara selama setahun.
Kematian Huss tidak berakibat seperti yang diharapkan oleh pengikut-pengikut kepausan. Pelanggaran terhadap surat jalan telah membangkitkan badai kemarahan. Dan sebagai cara yang lebih aman, konsili memutuskan untuk memaksa Jerome, kalau mungkin, untuk menarik mundur pernyataannya, sebagai ganti membakarnya. Ia dibawa menghadap mahkamah, dan memberikan pilihan untuk menarik kembali pernyataannya, atau mati di tiang gantungan pembakaran. Kematian pada permulaan penahanannya adalah merupakan belas kasihan jika dibandingkan dengan penderitaan hebat yang telah dialaminya. Tetapi sekarang, setelah dilemahkan oleh penyakit, oleh kekakuan penjaranya, dan siksaan kecemasan dan ketegangan, dipisahkan dari teman-temannya, dan terpukul oleh kematian Huss, maka keteguhan hati Jeromepun luluhlah sudah. Dan ia setuju untuk menyerah kepada konsili. Ia berjanji kepada dirinya untuk mematuhi imam Katolik, dan menerima tindakan konsili dalam melarang ajaran-ajaran Wycliffe dan Huss, namun “kecuali kebenaran kudus,” yang mereka (imam Katolik) telah ajarkan. — Lihat Bonnechose, Vol. II, p. 141.
Dengan cara ini Jerome berusaha untuk mendiamkan suara hati nuraninya dan melepaskan diri dari kebinasannya. Akan tetapi di dalam keterasingannya di penjara bawah tanah ia melihat lebih jelas apa yang telah dilakukannya. Ia memikirkan keberanian dan kesetiaan Huss, bertolak belakang dengan penyangkalannya akan kebenaran itu. Ia memikirkan Tuhannya yang kepada-Nya ia telah berjanji untuk melayani, dan demi kepentingannya sendiri bersedia menanggung kematian di kayu salib. Sebelum menarik kembali pernyataannya ia memperoleh penghiburan atas semua penderitaannya, dan kepastian memperoleh kasih Allah. Tetapi sekarang, penyesalan yang dalam dan keragu-raguan menyiksa jiwanya. Ia tahu bahwa masih banyak penarikan pernyataan yang harus dilakukannya sebelum ia berdamai dengan Roma. Jalan yang sekarang ia lalui bisa berakhir hanya dengan kemurtadan penuh. Akhirnya ia membuat keputusan: ia tidak akan menyangkal Tuhannya hanya untuk kelepasan sementara dari penderitaan.
Kemudian ia dibawa kembali menghadap konsili. Penyerahannya belum memuaskan para hakimnya. Kehausan mereka akan darah yang dirangsang oleh kematian Huss, mendesak mereka untuk mendapatkan korban baru. Hanya dengan penyerahan tanpa syarat kebenaran itu Jerome dapat mempertahankan hidupnya. Tetapi ia telah menetapkan untuk berpegang pada imannya, dan mengikuti jejak saudara martirnya Huss ke pembakaran.
Ia membatalkan penarikan pernyataannya yang sebelumnya. Dan sebagai seorang yang sedang sekarat, dengan sungguh-sungguh ia memohon kesempatan untuk memberikan pembelaannya. Takut akan pengaruh kata-katanya, para pejabat tinggi gereja bertahan agar ia hanya menguatkan atau menolak kebenaran tuduhan yang dituduhkan kepadanya. Jerome memprotes perlakuan yang begitu kejam dan tidak adil. “Kamu telah menutup saya di penjara yang mengerikan selama tiga ratus empat puluh hari,” katanya, “di tengah-tengah kekotoran, di dalam ruangan yang pengap dan bau busuk, dan di mana sangat kekurangan segala sesuatu. Dan sekarang kamu membawa saya menghadap dan mendengarkan musuh-musuhku , tetapi kamu tidak mau mendengarkan aku . . . . Jikalau kamu benar-benar orang bijaksana dan terang dunia ini, hati-hatilah jangan berdosa kepada keadilan. Bagiku, aku hanya seorang manusia yang lemah. Hidupku tidak begitu penting. Dan bilamana saya menghimbau kamu agar jangan mengucapkan satupun kalimat yang tidak adil, saya bukan berkata-kata untuk diriku, tetapi untuk kamu.” — Bonnechose, Vol. II, pp. 146, 147.
Akhirnya permohonannya disetujui. Di hadapan hakimnya Jerome berlutut dan berdoa agar Roh ilahi dapat kiranya menguasai pikirannya dan kata-katanya, agar ia dapat berbicara dengan tidak bertentangan dengan kebenaran atau yang tidak menghormati Tuhannya. Baginya pada hari itu telah digenapi janji Allah kepada murid-murid yang pertama itu: “Karena Aku kamu akan digiring kemuka penguasa-penguasa dan raja-raja . . . . Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang kamu harus katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga. Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu; Dia yang berkata-kata di dalam kamu” (Matius 10:18-20).
Kata-kata Jerome menimbulkan keheranan dan kekaguman juga kepada musuh-musuhnya. Karena sepanjang tahun ia telah dikurung di dalam penjara bawah tanah, ia tidak bisa membaca bahkan melihat. Ia menanggung penderitaan fisik yang berat dan kecemasan mental. Namun argumen-argumennya disampaikan dengan begitu jelas dan dengan kuasa seolah-olah ia tidak pernah mengalami gangguan kesempatan belajar. Ia menunjukkan kepada para pendengarnya barisan panjang orang-orang kudus yang telah dihukum oleh hakim-hakim yang tidak adil. Hampir di setiap generasi terdapat orang-orang yang, sementara berusaha mengangkat derajat orang-orang pada zamannya, telah dipersalahkan dan dibuang, tetapi yang di kemudian hari ternyata berhak mendapat kehormatan. Kristus sendiri telah dihukum sebagai penjahat oleh pengadilan yang tidak adil.
Pada waktu Jerome menarik kembali pernyataannya, ia setuju dengan keputusan pengadilan yang menghukum mati Huss. Tetapi sekarang ia menyatakan pertobatannya, dan bersaksi mengenai ketidakbersalahan dan kesalehan orang yang mati syahid itu. “Saya mengenal dia sejak masa kanak-kanaknya,” katanya. “Ia adalah orang yang paling baik, jujur dan saleh. Ia telah dihukum walaupun ia tidak bersalah . . . . Saya juga, saya sudah sedia untuk mati. Saya tidak akan mundur menghadapi siksaan yang telah disediakan bagiku oleh musuh-musuhku dan para saksi palsu. Pada suatu hari kelak, mereka akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan tipuan mereka di hadirat Allah yang maha agung, yang tak seorangpun bisa menipu.” — Bonnechose, Vol. II, p. 151.
Dalam penyesalan dirinya sendiri karena menyangkal kebenaran, Jerome selanjutnya berkata, “Dari semua dosa yang aku lakukan sejak masa mudaku, tidak ada yang lebih berat membebani pikiranku dan yang menyebabkanku begitu sangat menyesal, daripada apa yang kulakukan di tempat celaka ini, pada waktu aku menyetujui keputusan yang tidak adil yang dijatuhkan kepada Wycliffe, dan kepada syuhada saleh John Huss, tuanku dan sahabatku. Ya! Aku mengakuinya dari dalam hatiku, dan menyatakan dengan kengerian bahwa aku merasa malu dan takut pada waktu saya mempersalahkan ajaran-ajaran mereka oleh karena takut mati. Oleh sebab itu, aku memohon . . . Allah Mahakuasa sudi mengampuni aku dari dosa-dosaku, terutama yang satu ini, yang paling mengerikan dari semua.” Sambil menunjuk kepada hakimnya, ia berkata dengan tegas, “Kamu telah mempersalahkan Wycliffe dan John Huss, bukan karena menggoncangkan doktrin gereja, tetapi hanya oleh karena mengutuk kejahatan yang dilakukan para pendeta — kesombongan dan keangkuhan mereka, dan semua kebusukan para pejabat tinggi gereja dan para imam. Hal-hal yang mereka sudah kuatkan, yang tidak dapat dibantah lagi, aku juga berpikir dan mengatakan demikian, seperti mereka.”
Kata-katanya disela. Para pejabat tinggi gereja gemetar dalam kemarahannya, dan berteriak, “Bukti-bukti apa lagi yang diperlukan? Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri seorang bida’ah yang keras kepala!”
Tanpa terpengaruh oleh keributan itu, Jerome menyerukan, “Apa? Apakah kamu menyangka aku takut mati? Kamu telah mengurung aku di penjara bawah tanah yang mengerikan setahun penuh, yang lebih mengerikan dari kematian itu sendiri. Kamu telah memperlakukan saya lebih buruk dari orang-orang Turki, Yahudi atau orang kafir. Dan dagingku sebenarnya telah membusuk dan terlepas dari tulang-tulangku selagi aku masih hidup. Namun begitu, saya tidak mengeluh, karena ratap tangis akan menyakitkan hati dan jiwa. Tetapi aku tak dapat mengutarakan keherananku atas kebiadaban besar seperti itu terhadap seorang Kristen.” — Bonnechose, Vo. II, pp. 151 -153.
Sekali lagi topan amarah menolak, dan Jerome dilarikan ke penjara. Namun ada beberapa orang di dalam mahkamah yang sangat terkesan dengan kata-kata Jerome, dan yang ingin untuk meyelamatkan nyawanya. Ia dikunjungi oleh para pejabat tinggi gereja dan mendorongnya untuk menyerahkan dirinya kepada konsili. Hari depan yang paling gemilang telah ditawarkan kepadanya sebagai imbalannya jika ia meninggalkan perlawanannya kepada Roma. Tetapi seperti Tuhannya pada waktu ditawarkan kemuliaan dunia, Jerome tetap teguh menolak.
“Buktikanlah kepadaku dari Alkitab bahwa aku ini salah,” katanya, “dan aku akan meninggalkannya untuk selama-lamanya.”
“Alkitab!” seru seorang yang mencobainya, “apakah semuanya harus diadili oleh Alkitab? Siapa yang bisa mengertinya sampai gereja menafsirkannya?
“Apakah tradisi manusia lebih layak untuk dipercaya daripada Injil Juru Selamat kita?” jawab Jerome. “Paulus tidak menasihatkan orang-orang yang dikirimi surat untuk mendengarkan tradisi manusia, tetapi katanya, ‘Selidiklah Alkitab.'”
“Bida’ah!” teriak seseorang, “Saya menyesal telah membujuk engkau begitu lama. Saya melihat bahwa engkau telah didorong oleh Setan.” — Wylie, b. 3, ch. 10.
Tidak lama kemudian keputusan hukuman mati dijatuhkan kepadanya. Ia dituntun ke tempat yang sama di mana Huss menyerahkan nyawanya. Sepanjang jalan ia menyanyi, wajahnya bercahaya penuh sukacita dan kedamaian. Pandangannya tertuju kepada Kristus, dan baginya kematian telah kehilangan kengeriannya. Pada waktu petugas, yang hampir menyalakan onggokan kayu api, berjalan dibelakangnya, syuhada itu berkata, “Majulah dengan berani, taruhlah api itu di wajahku. Kalau saya takut saya tidak akan berada di sini.”
Kata-katanya yang terakhir yang diucapkan sementara nyala api membesar di sekelilingnya adalah sebuah doa, “Tuhan Yang Mahakuasa,” katanya, “kasihanilah aku, dan ampunilah dosa-dosaku, karena Engkau tahu, aku selalu mencintai kebenaran-Mu.” — Bonnechose, Vol II, p. 168. Suaranya lenyap, tetapi bibirnya tetap komat-kamit berdoa. Setelah api membakar seluruh tubuhnya, abu syuhada itu bersama tanah tempatnya, dikumpulkan dan, seperti abu jenazah Huss, dibuangkan ke Sungai Rhine.
Demikianlah binasa para pembawa terang Allah yang setia. Tetapi terang kebenaran yang disiarkan mereka, – – terang teladan keperkasaan mereka – – tidak bisa dipadamkan. Bagaikan manusia yang paling kuat berusaha menahan peredaran matahari agar matahari fajar tidak menyingsing, tetapi bagaimanapun juga, fajar tetap terbit bagi dunia.