[AkhirZaman.org] Evolusi teistik? Kalau anda seorang Kristen yang saleh dan kebetulan berprofesi sebagai guru fisika di sekolah negeri atau sekolah umum, bagaimana anda hendak mengajar tentang penciptaan? Apakah anda akan menggunakan konsep ilmu pengetahuan standar atau konsep alkitabiah? Untuk mengajarkannya menurut doktrin Alkitab pasti anda akan dipersalahkan dan ditegur bahkan kemungkinan bakal terkena skors, sedangkan untuk mengajarkannya berdasarkan teori standar dari buku pelajaran akan menimbulkan rasa tidak nyaman terhadap hati nurani.
Banyak orang berpendapat bahwa untuk menghindari konflik ini maka pengajaran tentang penciptaan harus menggunakan pendekatan ganda, yaitu dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan sudut pandang kitab suci secara terpisah. Barangkali itu dapat dianggap sebagai gagasan yang arif. Tapi tampaknya, bagi sebagian orang, kontroversi ini–antara penciptaan alkitabiah bahwa Allah menciptakan “langit dan bumi” dalam enam hari dan penciptaan evolusioner dengan teori “Big Bang”–sudah menemukan solusi dalam apa yang disebut ajaran “evolusi teistik.” Dengan kata lain, doktrin Evolusi Teistik dianggap sebagai titik temu (middle ground) dari dua konsep penciptaan yang berlawanan tersebut.
Dalam menjelaskan tentang penciptaan, ada perbedaan antara “rumus ateis” dengan “rumus evolusi teistik.”
Rumus ateis adalah: Penciptaan=Materi+Faktor-faktor Evolusi+Waktu yang sangat lama.
Rumus evolusi teistik: Penciptaan=Materi+Faktor-faktor Evolusi+Waktu yang sangat lama+Tuhan.
Berdasarkan konsep evolusi teistik, Allah memang adalah Pencipta yang telah merancang alam semesta ini, namun bukan dengan cara berfirman dan juga bukan dalam waktu enam hari harfiah seperti tertulis dalam Alkitab. Tetapi Allah hanya menetapkan desain umum dan hukum alam, kemudian membiarkan alam itu berkembang secara bertahap dan lamban selama waktu yang diperlukan hingga akhirnya sampai pada keadaannya sekarang. Dengan demikian kisah penciptaan yang tertulis dalam kitab Kejadian itu, menurut pandangan evolusi teistik, harus dimaknai secara metaforal atau pengkiasan.
Evolusi teistik juga bersifat total, dalam arti semua bagian dan segmen di alam semesta ini berkembang secara evolusioner atau berlangsung tahap demi tahap dengan sangat lambat. Termasuk evolusi astronomis (pembentukan galaksi dan sistem tatasurya), evolusi geologis (pembentukan Bumi), evolusi biologis (perkembangan kehidupan), dan lain-lainnya. Jadi, Allah hanya berperan di bagian awal saja dan tidak menentukan secara detil apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi membiarkan kepada alam itu sendiri yang menentukan apa yang akan muncul di kemudian hari.
“Ini adalah tema umum di kalangan mereka yang mendukung berbagai bentuk ‘evolusi teistik.’ Namun, gagasan demikian tidak sesuai dengan Kitab suci atau dengan pemahaman kita tentang Penciptaan. Alam semesta tidak memiliki kehendak yang melekat pada dirinya sendiri. Penciptaan bukanlah sebuah entitas yang terpisah dari Allah, tapi sebaliknya adalah gelanggang yang Allah pilih di mana Dia dapat menyatakan kasih-Nya kepada makhluk-makhluk yang telah Dia ciptakan itu.”
Suatu kali para mahasiswa datang kepada Albert Einstein dan berkata kepadanya bahwa mereka cenderung berpendapat bahwa Allah itu tidak ada. Sang profesor bertanya kepada mereka, “Sebagai satu kelas, berapa persen dari seluruh pengetahuan di dunia ini yang telah kalian miliki secara kolektif.” Para mahasiswa itu kemudian berembug sejenak lalu menjawab bahwa mereka yakin telah menguasai 5% dari semua pengetahuan yang ada. Einstein menganggap bahwa angka yang disebutkan itu terlalu boros, tapi dia berkata kepada mereka: “Apakah ada kemungkinan kalau Allah itu ada dalam 95% pengetahuan yang kalian tidak tahu?” Kita manusia seringkali terlalu percaya diri dengan pengetahuan yang kita miliki, seolah-olah kita sudah tahu segalanya, lalu dengan yakin membuat sesuatu kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang sebenarnya masih terlalu sedikit itu.